Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAPA lama lagi kita harus bersabar; berapa lama lagi kita harus cemas. Bahwa konflik antara penganut Ahmadiyah dan warga muslim lainnya mestinya tidak diselesaikan dengan cara kekerasan. Bahwa kebebasan menjalankan keyakinan beragama harus dilindungi oleh undang-undang—seberbeda apa pun kepercayaan itu dengan keyakinan ”resmi” yang dianut mayoritas umat.
Tapi yang terjadi di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dua pekan lalu, jauh dari harapan. Di sana warga Ahmadiyah diserbu oleh muslim lainnya. Sang penyerbu meminta lima masjid Ahmadiyah ditutup. Tiga masjid akhirnya disegel aparat dengan alasan menghindari bentrokan. Massa yang belum puas terus merangsek. Rusuh tak terhindarkan. Sejumlah orang terluka.
Ini kekerasan yang kesekian kalinya terhadap warga Ahmadiyah. Di Manislor, beberapa tahun terakhir penganut Ahmadiyah hidup tak aman.
Berkembang di desa itu sejak 1956, Ahmadiyah tumbuh pesat di sana. Pada masanya, tiga dari empat warga Manislor adalah penganut Ahmadiyah. Pada 1970-an, jabatan kepala desa umumnya dipegang oleh penganut aliran itu. Tapi Ahmadiyah dianggap sesat, antara lain karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir. Ajaran itu lalu dilarang.
Pemerintah Kuningan, misalnya, pernah mengeluarkan surat keputusan bersama yang melarang Ahmadiyah di tempat itu. Keputusan itu diteken antara lain oleh bupati, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Kejaksaan Negeri, Komandan Kodim, Kepala Polres Kepala Kantor Departemen Agama, dan Ketua Majelis Ulama.
Karena surat keputusan bersama itu, keberingasan terhadap Ahmadiyah menjadi-jadi. Dua tahun lalu, delapan masjid dan sebuah madrasah Ahmadiyah di Manislor ditutup paksa. Massa menilai penganut Ahmadiyah telah melanggar surat keputusan tadi. Tim Kejaksaan setempat pernah meminta agar camat dan Kepala Kantor Urusan Agama tak menikahkan warga Ahmadiyah. Birokrasi desa bahkan diminta mempersulit pembuatan kartu tanda penduduk bagi mereka.
Berapa lama lagi kita harus bersabar; berapa lama lagi kita harus cemas. Bahwa Islam tak jadi kecil karena ada tafsir yang berbeda atas ajaran yang menawarkan kedamaian tersebut. Allah dan Muhammad rasul-Nya tidak akan terhina karena ada ”rasul” lain yang dipercayai warga Ahmadiyah. Bahkan jika semua manusia berpaling dan tak menyembah Allah, demikian bunyi sebuah ayat dalam Al-Quran, Sang Khalik tak kemudian jadi kehilangan muka.
Karena itu, Majelis Ulama Indonesia mestinya berhenti mengeluarkan fatwa sesat terhadap suatu ajaran—sesuatu yang kemudian dijadikan sandaran oleh warga untuk menyerang mereka yang berbeda keyakinan. Pemerintah, dalam hal ini kejaksaan, tak perlu repot-repot melarang ajaran ini dan itu. Sejauh tak melakukan tindakan anarkistis, misalnya seperti yang dilakukan sekte yang mengajak umatnya bunuh diri bersama, tak ada alasan bagi kejaksaan untuk main beslah.
Karenanya, pasal penistaan agama dalam kitab hukum kita adalah frase yang absurd jika dikenakan kepada orang yang salat dengan dua bahasa atau seorang ibu yang mengaku merupakan penjelmaan Mariam, ibu Nabi Isa.
Agama, juga iman, pada akhirnya harus dipandang sebagai lentera yang memberikan terang dalam menemukan kebenaran—sesuatu yang mungkin ada di tempat yang tak disangka-sangka. Agama tidak boleh menjadi benteng kaku yang menutup pemeluknya dari kebenaran di tempat lain. Di Manislor, rupanya, benteng kaku itulah yang dibangun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo