Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBACAAN putusan gugatan itu mulur dari jadwal. Mestinya, majelis hakim Mahkamah Agung membacakan putusan sengketa pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan pada pukul 10 pagi, Rabu dua pekan lalu. Apalagi kelima hakim agung sudah sampai di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Setengah jam kemudian, serombongan polisi masuk, membentuk ”pagar” manusia membatasi ruangan sidang. ”Saya kaget,” kata Elsa Syarief, kuasa hukum pemohon, pasangan ”Asmara” alias Amin Syam dan Mansyur Ramli. ”Ini tidak seperti biasanya.” Di luar gedung, massa pendukung pasangan ”Sayang” alias Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang sedang menggelar orasi.
Lima anggota majelis, Paulus Effendi Lotulung, Djoko Sarwoko, Mansur Kartayasa, Abdul Manan, dan M. Hakim Nyak Pha, memasuki ruangan dengan penjagaan ketat. Dua di antara kelima hakim itu, yakni Paulus dan Djoko, merupakan ketua muda di lingkungan Mahkamah Agung yang ”turun gunung” menjadi pengadil perkara antara dua pasangan pejabat aktif, alias incumbent, yang dimulai sejak 7 Desember lalu.
Amin Syam dan Syahrul Yasin adalah gubernur dan wakil gubernur aktif di Sulawesi Selatan saat ini. Amin juga Ketua Partai Golkar Sulawesi Selatan, sedangkan Syahrul sekretaris. Amin didukung koalisi Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera. Syahrul diunggulkan PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Damai Sejahtera, dan Partai Demokrasi Kebangsaan.
Putusan perkara pemilihan kepala daerah—biasa disebut pilkada—yang rutin masuk ke pengadilan sejak 2005, memang selalu panas di ujung. Perkara di Sulawesi Selatan berawal dari permohonan pasangan Amin Syam dan Mansyur Ramli ke Pengadilan Tinggi Makassar pada 16 November lalu. Mereka menggugat Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulawesi Selatan atas penetapan hasil pencoblosan pada 5 November.
Penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan, pada 14 November, memenangkan pasangan ”Sayang”, dengan perolehan suara 1.432.572 (39,53 persen). Kubu ”Asmara” memperoleh 1.404.792 suara (38,73 persen). Beda tipis, memang. Sisanya diraih pasangan ”Asmub” (Abdul Aziz Qahhar Mudzakar-Mubyl Handaling) dengan 786.792 suara (21,71 persen). Dua hari kemudian, Komisi menetapkan pasangan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013.
Kembali ke ruang sidang Mahkamah Agung, putusan setebal 152 halaman tampak ditenteng rapi jali. Tapi, ”Supaya cepat, majelis hanya akan membacakan fakta-fakta dan pertimbangan hukum saja,” kata Paulus Effendi Lotulung, ketua majelis. Putusan itu dibuat hanya dalam waktu sehari oleh majelis karena, sesuai dengan ketentuan, perkara harus selesai dalam dua pekan.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pengadilan pilkada merupakan sidang menyangkut akurat-tidaknya penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah. Namun majelis malah membuat keputusan lain. ”Mengabulkan permohonan subsider termohon dan memerintahkan termohon untuk mengulang pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan untuk daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja,” Paulus berseru. Termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulawesi Selatan, diberi waktu tiga-enam bulan untuk menggelar pemilihan ulang itu.
Dalam pertimbangannya, setelah menilai fakta, hakim menyatakan telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013. ”Pelaksanaan pilkada telah melanggar asas-asas dasar pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil,” kata Abdul Manan, anggota majelis.
Menurut hakim agung itu, kecurangan mempunyai sebab-akibat dengan hasil perhitungan suara. Misalnya dugaan penggelembungan suara dan pencoblosan lebih dari satu kertas suara oleh pemilih. Majelis berpendapat, meski menyangkal, secara implisit Komisi Pemilihan Sulawesi Selatan sebagai termohon membenarkannya. ”Jawaban yang diberikan formalistis dan legalistis,” ujar Abdul Manan. ”Padahal fungsi KPUD adalah evaluasi dan melaporkan proses pemilihan.”
Pilkada ulang diperlukan lantaran selisih suara mereka sekitar 27 ribu atau 0,7 persen. ”Untuk menentukan pemenangnya, pemilihan suara ulang dilakukan di bawah pengawasan tim,” ujar hakim anggota Mansur Kartayasa. Putusan memang tidak ”bulat”. Dua anggota majelis, yakni Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko, menyatakan dissenting opinion.
”Kewenangan Mahkamah Agung adalah penghitungan ulang, bukan pemilihan ulang,” kata Djoko Sarwoko, yang juga Ketua Muda Pengawasan MA. Namun keduanya sepakat menerima bukti-bukti kecurangan pasangan ”Sayang”.
Menurut Djoko Sarwoko, meski ia memilih berbeda pendapat, keputusan akhir majelis tetap menggelar pilkada ulang. ”Pilkada harus diulang dari tahapan awal,” katanya kepada Tempo. ”Mereka juga harus melakukan kampanye ulang.” Majelis, kata dia, berusaha menegakkan keadilan hukum sejati, yang memang tidak ditemukan aturan dan sanksinya. ”Ini adalah upaya hakim membuat hukum atau judge made law.”
Menurut majelis, kecurangan pasangan ”Sayang” dilakukan secara sistematis dan melibatkan Komisi Pemilihan. Misalnya, terungkap di persidangan adanya keputusan dari Mappinawang, Ketua KPUD Sulawesi Selatan, pada 26 Oktober 2007, yang melarang panitia pemungutan suara memberikan salinan berita acara penghitungan suara kepada para saksi calon pasangan. Padahal, menurut ketentuan pemerintah, salinan berita acara penghitungan suara wajib diberikan kepada para saksi dan pemantau pemilu.
Larangan itu ternyata dikuatkan oleh beberapa komisi pemilihan kabupaten, misalnya Kabupaten Gowa. Akibatnya, praktek penggelembungan suara, lewat penggandaan daftar pemilih atau pencoblosan ganda, leluasa dilakukan. ”Protes saksi kami atas rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan, bahkan sampai provinsi, ditolak karena tidak sah,” kata Elsa Syarief.
Mobilisasi dukungan juga terungkap dilakukan oleh pejabat daerah. Misalnya oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, yang tak lain adik kandung Syahrul, dan Bupati Bantaeng Azikin Solthan, teman dekat Syahrul, dengan menggunakan fasilitas dinas dan aparat daerah. Azikin, misalnya, selalu memberikan uang Rp 500 ribu kepada warga agar mencoblos nomor 3, nomor pasangan ”Sayang”.
Keputusan majelis tentu saja disambut kecewa pengacara KPUD Sulawesi Selatan, Bambang Widjojanto. ”Amar itu melampaui batas kewenangan,” katanya. Pilkada ulang sama sekali tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hakim telah menggeneralisasi pelanggaran suara di beberapa tempat pencoblosan menjadi pelanggaran umum.
Pilkada ulang sulit pula dilaksanakan karena perlu biaya tinggi dan akan memicu konflik antarpendukung pasangan. ”Putusan itu terlalu mahal dan berisiko tinggi,” kata Bambang, yang kini sedang menyiapkan upaya hukum peninjauan kembali.
Ketua KPUD Sulawesi Selatan, Mappinawang, juga menyatakan sulit melaksanakan keputusan yang langsung bersifat tetap itu. ”Pemilihan ulang itu tidak mudah, sementara waktu yang diberikan amat singkat,” katanya. Pada 20 Januari nanti, masa jabatan gubernur Amin Syam dan Syahril Yasin Limpo selesai. Usia jabatan KPUD sendiri tak lama lagi berakhir.
Komisi Pemilihan sendiri sudah tidak memiliki dana untuk menggelar pemilu ulang. ”Dana Rp 88 miliar yang dianggarkan sudah habis untuk pilkada di 23 kabupaten,” kata mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum itu. Setidaknya dibutuhkan Rp 23 miliar untuk menggelar pilkada ulang di empat kabupaten.
Sebaliknya, Hidayat Rasul, juru bicara pasangan ”Asmara”, menerima baik putusan hakim. ”Ini langkah awal demokrasi di Sulawesi Selatan,” katanya seusai sidang sambil terisak.
Arif A. Kuswardono, Purborini, M. Iqbal Muhtarom, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo