Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga sedan supermewah itu dibiarkan teronggok berselimut debu. Lamborghini yang nilainya ditaksir Rp 3,8 miliar, Ferrari seharga Rp 2 miliar, dan Rolls Royce Phanotom berbanderol Rp 6 miliar. Sudah beberapa pekan ketiganya diparkir di halaman belakang gudang kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tak jauh dari sana, berderet mobil Isuzu OZ pick-up yang dipesan TNI-AD untuk dipakai sebagai ambulans.
Mobil-mobil itu sejak awal November lalu ditahan aparat Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, bercampur dengan rupa-rupa barang sitaan lainnya dari 82 peti kemas. Semuanya dibeslah karena tidak memenuhi ketentuan yang berlaku dan merugikan negara. ”Dari tiga mobil itu saja negara merugi Rp 9,3 miliar. Mereka memakai fasilitas diplomat,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi.
Penyimpangan di Pelabuhan Tanjung Priok hanya satu dari sekian keruwetan yang sedang diurai Anwar Suprijadi. Sejak memimpin instansi Bea dan Cukai hampir dua tahun lalu, ia bertekad mengubah wajah buram aparat duane. Tanpa ditemani staf, ia kerap melakukan inspeksi mendadak ke berbagai gerbang lalu lintas barang seperti Batam, Merak, dan Semarang untuk melihat langsung kinerja aparatnya.
Anwar sendiri memberikan contoh kerja keras. Tiap hari, pukul 05.00, ia sudah meninggalkan rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tatkala kebanyakan pegawainya baru bangkit dari peraduan, ia sudah memelototi agenda kerja dan melahap berbagai dokumen di kantor. Dan biasanya ia baru pulang ke rumah ketika matahari sudah lama tenggelam.
Dalam suasana pagi yang diselimuti hujan rintik-rintik, Rabu pekan lalu, Anwar menerima Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, dan Arti Ekawati dari Tempo. Ia sendiri yang membuka pintu dan menyambut Tempo di kantornya di Jalan Ahmad Yani, Jakarta Timur. Dari jendela kantornya, pelataran parkir Bea dan Cukai masih terlihat lengang.
Bagaimana cerita penyitaan mobil mewah selundupan itu?
Penyelundupan mobil seperti ini sudah berlangsung lama, sejak 30 tahun yang lalu. Modus operandinya, mobil-mobil itu dibeli warga negara Indonesia melalui fasilitas tertentu. Temuan itu bukan karena ada informasi, tapi hanya melihat data. Kok, perusahaan pemasok mobil dari Singapura dan pengurus jasa kepabeanannya, perusahaan yang itu-itu saja. Fasilitas itu juga selalu diberikan oleh negara-negara yang sama. Ini tidak logis.
Apakah tak ada hambatan ketika hendak melakukan penindakan?
Prosedur ini terlihat rapi. Tapi kita kan juga harus punya insting. Yang mengherankan, setiap ada rapat intern di kantor ini, selalu bocor ke pemain. Saya lalu mencoba mengurangi orang yang saya ajak rapat. Makin sedikit, hingga akhirnya tinggal satu tim kecil. Dan ternyata, seperti yang kita temukan. Yang semula tidak mungkin menjadi mungkin. Ini masalah keberanian birokrasi saja. Jadi sebenarnya kita bermain logika. Lainnya, modal saya cuma moral, kok.
Ketahuan siapa orang dalam yang terlibat?
Ya, ada saja. Selain itu, ada sistem yang menyebabkan mereka berbuat seperti itu. Misalnya, nilai pabeannya terlalu murah. Ini tidak logis. Kenapa enggak diatur saja sedemikian rupa sehingga dinaikkan nilai pabeannya.
Menilik modus ini sudah berlangsung 30 tahun, seberapa besar sindikat itu?
Cukup kuat dan melibatkan beberapa instansi. Hanya, problem kami, kalau mengungkap sesuatu kan terus diungkap juga dosa masa lalu. Ini jadi ruwet. Kami harus memulai dari mana? Karena itu saya kadang-kadang berkonsultasi dengan Menteri Keuangan.
Proses hukumnya kabarnya mentok pada soal kekebalan diplomatik?
Itu menjadi domain Menteri Luar Negeri. Kami sudah bertemu dan beliau memberikan komitmen akan mengatasi. Domain kami hanya surveillance dan melakukan penyelidikan. Soal korps diplomatik, termasuk mengeluarkan edaran diplomatik, beliau membantu sepenuhnya.
Apa sanksi terhadap orang dalam yang terlibat?
Sekarang masih dalam penyelidikan. Yang terpenting, sejak itu kami terus melakukan perbaikan sistem. Di Tanjung Priok, misalnya, kami sedang mengembangkan kantor pelayanan utama. Sewaktu berdiskusi dengan para senior di Ditjen Bea Cukai, mereka mengatakan Tanjung Priok sebaiknya jangan diganggu karena ekonomi bisa stagnan. Soalnya, 60 persen ekspor dari sana. Tapi, buat saya justru sebaliknya. Feeling saya, kalau bisa dibenahi, kondisi negeri ini bisa jauh lebih baik.
Temuan barang selundupan semakin meningkat. Apakah Bea dan Cukai selama ini sering kecolongan?
Tergantung dari sisi mana kita melihat. Jangan-jangan dulu enggak ada temuan karena diperiksa pun enggak. Sekarang kan kita periksa dan benar banyak temuan. Biar masyarakat yang menilai. Yang terang, saya melihat Menteri Perindustrian senang karena industri dalam negeri mulai tumbuh. Tekstil, elektronik sudah mulai bangkit. Teman-teman dari asosiasi pengusaha juga menyampaikan terima kasih.
Tapi serbuan barang dari Cina masih membeludak….
Serbuan barang dari Cina bukan hanya karena penyelundupan. Kebijakan kita juga tidak logis. Kenapa produk dari Cina dikenai bea masuk nol persen? Kebijakan nasional kita soal free trade agreement kadang-kadang konyol juga.
Bagaimana dengan kawasan perdagangan bebas seperti Batam...
Di Bea dan Cukai, saya melihat kecenderungan setiap fasilitas yang diberikan bukan dipakai kompetisi, tetapi untuk menjebol negara, melakukan penyelundupan dan penyimpangan. Inilah yang harus ditata kembali.
Pada era otonomi ini, banyak daerah ingin pelabuhannya menjadi pelabuhan bebas. Bagaimana mengawasinya?
Saya tidak keberatan ada pelabuhan bebas asalkan untuk kepentingan perekonomian kita. Jangan untuk meruntuhkan industri dalam negeri yang baru berkembang. Tiga minggu lalu kami minta ke Menteri Perhubungan untuk menata beberapa pelabuhan, sekaligus ditetapkan mana pelabuhan khusus, mana yang umum. Jika tidak segera ditata, kami bisa repot. Selain itu, kami sedang menyiapkan peraturan pemerintah untuk mengawasi barang di kawasan perdagangan bebas. Aturan ini menindaklanjuti Undang-Undang Kepabeanan.
Anda dinilai berani menahan helikopter kepunyaan perusahaan Wakil Presiden dan mobil yang diimpor TNI-AD....
Yang saya lakukan sebenarnya biasa saja. Hanya karena negeri kita lagi sakit, dianggap sesuatu yang luar biasa. Sebenarnya, target saya tahun 2006 dan 2007 itu pemanasan saja. Justru konsentrasi pada 2008 dan 2009 karena menjelang pemilu biasanya tekanannya kuat sekali. Pengalaman pejabat sebelum saya, menjelang pemilu banyak yang jebol. Seperti kasus gula dan beras. Biasalah, pemilu kan butuh dana. Karena itu, jika dua tahun ini kami berani menghadapi instansi yang dianggap kuat, insya Allah, 2008 dan 2009 anak buah saya makin percaya diri.
Terlalu percaya diri juga bisa membuat lengah….
Kadang-kadang saking semangatnya mereka suka lupa prosedur. Misalnya staf saya menyurati pimpinan yang lebih tinggi. Saya bilang, jangan sampai direpotkan masalah kode etik, tata krama birokrasi, saking semangatnya. Makanya kami harus me-manage mereka. Jangan sampai menghilangkan kepercayaan diri mereka dan mereka juga jangan merepotkan kita dengan hal-hal kecil.
Kreativitas dan keberanian anak buah Anda masih perlu diuji?
Pada akhirnya begitu. Kami memang harus sensitif dengan kondisi. Misalnya sekarang ini harga BBM sedang naik tinggi. Secara logika saja, pasti banyak penyelundupan BBM. Saya sudah mengerahkan anak buah. Dan hasilnya, minggu lalu kami berhasil menangkap solar yang hendak diselundupkan. Jadi, kalau mau sensitif terhadap keadaan, pasti dapat. Jangan berpikir monoton, karena modus operandi para penyelundup itu luar biasa.
Sebagai orang luar, bagaimana Anda beradaptasi dengan lingkungan Bea dan Cukai?
Saya ini tak pernah bermimpi menjadi Dirjen Bea dan Cukai. Sewaktu ditawari Menteri Keuangan, saya sudah menyampaikan agar beliau tidak membebani saya dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan. Jadi, kalau ada titipan, saya mendingan enggak saja.
Ada arahan khusus dari Presiden?
Bu Menteri, saya, dan Dirjen Pajak pernah dipanggil Presiden ke Cikeas. Beliau berpesan agar kami tetap konsisten pada aturan. Saya pegang teguh amanat itu. Bagaimana melakukan yang terbaik untuk negeri ini dengan tidak menyimpang dari aturan.
Arahan resmi biasanya begitu. Realisasinya, ada juga kan yang datang membawa nama pejabat tinggi.…
Biasanya saya sampaikan bahwa saya hanya melaksanakan aturan. Itu saja. Kadang-kadang saya melakukan rekonfirmasi langsung ke pejabatnya. Kebiasaan merekonfirmasi ini kan jarang dilakukan. Biasanya mereka takut karena pimpinannya kan level tinggi dan takut jabatannya hilang. Kalau saya dibuat enak saja. Lebih baik menjadi repot ketimbang menyimpang dari aturan.
Sering kali bukan cuma membawa nama, tapi yang datang adalah keluarga pejabat tinggi itu sendiri.…
Sejak awal Presiden juga berpesan, kalau ada keluarga yang datang, harus dikonfirmasi dan disampaikan apa adanya, bahwa aturannya begini. Sewaktu kasus helikopter dari kantor Wakil Presiden, kami kan tetap konsisten. Akhirnya mereka mau membayar juga. Berbuat baik itu harus siap berkorban, termasuk berbeda pendapat dengan sahabat. Yang dulu akrab, kini bisa berubah menjadi kaku. Ya, itu risiko.
Gebrakan Anda sejauh ini, apa sudah terlihat hasilnya?
Yang terang, target penerimaan bea masuk tahun ini sudah tercapai. Dari Rp 14,4 triliun sudah tercapai Rp 15,2 triliun pada November silam. Untuk cukai, dari target Rp 42 triliun, baru tercapai Rp 41,6 triliun. Target pungutan ekspor Rp 3,04 triliun sudah tercapai Rp 3,5 triliun. Kinerja juga membaik. Ada perbaikan pelayanan, peningkatan sanksi hukum, termasuk memberhentikan pegawai yang sudah keterlaluan. Dulu yang seperti ini tak pernah terungkap. Kepercayaan diri sekarang juga membaik. Dulu ada perasaan takut menghadapi tembok berat seperti kekuasaan, sekarang tidak lagi.
Anda sudah mereformasi birokrasi dan menaikkan gaji. Kenapa masih ada oknum Bea dan Cukai yang terlibat kasus penyelundupan narkoba?
Sebenarnya masalahnya sepele, yaitu kebiasaan mereka bermain dengan perusahaan jasa kepabeanan kaki lima. Mereka dimintai tolong memindai dokumen dengan diberi uang yang tak seberapa. Mereka tidak tahu bahwa barang itu isinya narkoba. Saya bilang kepada teman-teman, ”Itu ketololan Anda.”
Bagaimana dengan basis rekrutmen pegawai?
Sekarang saya buka penuh. Di Pelabuhan Tanjung Priok yang mendaftar 4.000 orang, yang lulus 1.700 orang. Sebetulnya sekarang saya tawarkan juga untuk Pelabuhan Surabaya, Bandara Soekarno-Hatta, juga KPU Cukai di Malang, dan Kudus. Sekarang sedang dilakukan tes. Peminat ada anak STAN yang bagus, sarjana yang bagus, ada pula karyawan karier. Kami tak terlalu membedakan sumbernya.
Bagaimana dengan kaderisasi calon pemimpin?
Kami butuh regenerasi. Soal ini juga tidak mudah. Untuk promosi harus melalui Baperjakat. Di sana biasanya melihat senoritas. Saya ditanya kenapa memilih orang yang sangat muda. Saya jawab saya memilih orang yang punya integritas dan tidak ada conflict of interest. Kalau bisa, dosa masa lalunya minim. Kalau banyak, belum apa-apa sudah diungkit-ungkit.
Apakah Anda sudah puas dengan pencapaian Bea dan Cukai saat ini?
Saya belum puas. Konsep saya still improvement. Kalau terlalu revolusioner, malah kontraproduktif.
Apa penyimpangan yang paling besar di Bea dan Cukai?
Saya meneliti beberapa aturan yang menyebabkan terjadinya inefisiensi. Misalnya tentang nilai pabean, ada sistem borongan kontainer 20 feet dihargai Rp 20 juta, yang 40 feet Rp 40 juta. Itu kan nggak benar. Mestinya kan diuji. Kalau klien memang orang yang patuh, selama sekian tahun nilai pabean dengan nilai transaksinya benar, kami layani mereka. Kalau mereka kacau, menyimpangnya di bawah 20 persen, ya kita uji lagi.
Apakah kenakalan dalam pemeriksaan barang sudah hilang?
Dulu barang memang acap tidak dibuka dan diperiksa. Ada yang namanya sistem potong bebek. (Barang yang ada dalam peti kemas harus diperiksa di jalur merah. Segel dibuka tapi barang tidak diperiksa. Setelah itu diberi tanda bahwa barang telah diperiksa karena importir atau agennya telah menyuap petugas—Red.) Sekarang tak mungkin lagi karena diperiksa dengan benar. Klien yang baik kami layani dengan baik. Klien yang berisiko tinggi, ya, kami periksa dengan benar.
Masih sering melakukan inspeksi mendadak?
Sering, dalam rangka pembinaan. Saya berpesan agar pegawai Bea Cukai tak merepotkan instansinya. Saya nanti kalau pensiun juga enggak mau merepotkan. Menikmati hari tua saja.
Apakah ada pengusaha yang datang mengiming-imingi sesuatu kepada Anda?
Ada. Itu kita diuji. Saya kadang-kadang dengan keluarga juga berantem. Sebelum saya masuk, ada keponakan saya kerja di pelabuhan. Begitu saya masuk, kan repot juga. Saya bilang, ”Sudah, kerja di luar saja.” Dengan keluarga dan teman kadang-kadang enggak enak juga hanya karena mempertahankan prinsip. Terus terang, kerja di sini sebetulnya enggak happy, ha-ha-ha.
Anwar Suprijadi
Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 23 Desember 1948
Pendidikan:
- Sarjana Ekonomi Perusahaan, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 1972
- Pascasarjana Transportasi, Institut Teknologi Bandung, 1983
Karier:
- Direktur Utama Perusahaan Kereta Api, 1991-1995
- Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Departemen Koperasi dan UKM, 1995 -1998
- Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan, 1998-2001
- Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 2001
- Kepala Lembaga Administrasi Negara, 2003-2006
- Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan, 2006-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo