Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Simpang-Siur Kulakan Arca

Jual-beli benda purbakala sulit dicegah. Polisi berencana memeriksa keluarga keraton.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-cita Hashim Djojohadikusumo memiliki satu set gamelan kuno koleksi Raja Surakarta Hadiningrat Pakubuwono X, yang bertakhta pada 1919-1939, gagal sudah. Begitu pula rencana pengusaha itu membeli keris bertatahkan berlian 40 karat senilai Rp 500 juta. Pedagang benda purbakala yang menawarkan gamelan dan keris itu, Heru Suryanto, kini bermukim di tahanan polisi. Heru diduga ”menyutradarai” pencurian lima arca bersejarah dari Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah.

Selain menangkap Heru Suryanto, polisi juga membekuk kepala museum, KRH Darmodipuro alias Mbah Hadi; petugas keamanan museum, Gatot; dan bagian kunci, Jarwadi. Merekalah yang dicurigai dalam permainan patgulipat benda purbakala ini. Kasus ini berawal dari laporan Ambarwati, bekas pegawai honorer Museum Radya Pustaka. Ambar mencurigai patung Agastya, Siwa Mahadewa, Mahakala, dan dua patung Durga Mahesa Suramadini telah dipalsukan. Bentuk dan warna batunya berubah.

Hashim, putra ekonom Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) itu pun terseret dalam pusaran kasus ini. Pada Senin pekan lalu ia diperiksa selama delapan jam di Markas Kepolisian Kota Besar Surakarta. Hashim tersangkut perkara ini lantaran lima arca buatan abad ke-4 itu dipergoki di rumahnya di Kemang, Jakarta Selatan. Sebelumnya, benda itu dipajang di kantornya di Mid Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Menurut Hermawan Pamungkas, kuasa hukum Hashim, kliennya membeli kelima arca itu dari Hugo E. Kreijger, warga Belanda. ”Pak Hashim membeli dengan tujuan mencegah benda itu keluar dari Indonesia,” kata Hermawan kepada Tempo. ”Pak Hashim percaya reputasi Hugo Kreijger sebagai ahli benda purbakala.”

Ketika diperiksa polisi, Hashim memang memperlihatkan sejumlah surat. Ada surat berkepala ”Karaton Kasunanan Surakarta” yang berisi pernyataan Pakubuwono XIII Hangabehi, yang menjelaskan penyerahan patung kepada Hugo E. Kreijger sebagai tamu kehormatan raja. ”Jika surat ini ternyata palsu, kami akan menggugat Pak Hugo Kreijger,” kata Hermawan.

Ada juga surat berkepala ”Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Provinsi Jawa Tengah”. Pada lembar pertama tertulis Pelaksana Harian Kepala BP3, Sri Ediningsih, yang menyatakan bahwa arca yang dihadiahkan kepada Hugo E. Kreijger bukan merupakan cagar budaya. Dengan demikian, benda tersebut bebas dipindahtangankan, dan bebas pula dibawa ke luar wilayah Indonesia.

Alasan inilah yang menjadi dalih kuasa hukum Hashim. Ia merasa tak perlu melaporkan pembelian arca setelah 14 hari dari waktu transaksi, sebagaimana diatur Undang-Undang No. 5/1992 tentang Cagar Budaya. ”Saat itu kami berpegang pada BP3, bahwa surat tersebut benar adanya,” Hermawan menambahkan.

Belakangan, keaslian surat dari keraton dan Kepala BP3 Jawa Tengah dibantah Heru Suryanto. Kepada polisi ia mengaku telah memalsukan surat-surat itu. Alasannya, supaya transaksi dengan Hugo Kreijger cepat selesai, dan ia segera menerima pembayaran.

Sri Ediningsih, Kepala Sub-bagian Tata Usaha Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, memastikan surat atas nama dirinya palsu. ”Saya tidak pernah menerbitkan surat tentang arca,” katanya. Dalam surat itu pun terdapat kesalahan mencolok. Misalnya, BP3 dicantumkan di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Padahal, ketika itu BP3 berada di bawah Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya.

Ketika Tempo menghubungi Hugo E. Kreijger, makelar benda purbakala itu menyatakan memperoleh arca tersebut dari Heru Suryanto, pedagang barang antik yang tinggal di Gentan, Sukoharjo. Ia kemudian menjualnya ke Hashim dengan harga sekitar Rp 1 miliar. (Lihat ”Hugo E. Kreijger: Saya Bersumpah Surat itu Asli”.)

Kuasa hukum Heru Suryanto, Rusman Sakiri, memang mengakui kliennya sudah kenal lama dengan Kreijger. Keduanya bertemu di Christie’s Amsterdam, Belanda. ”Dalam pertemuan itu, Kreijger mengutarakan maksudnya akan ke Indonesia,” kata Rusman.

Di Indonesia, mereka berkeliling ke berbagai tempat di Solo, termasuk ke Museum Radya Pustaka. Heru diminta memotret sejumlah arca. ”Lima arca itu atas permintaan Kreijger,” kata Rusman. Tugas Heru selanjutnya adalah membujuk kepala museum, Mbah Hadi, agar setuju mempertukarkan arca itu dengan patung tiruan.

Rusman mengungkapkan, adalah Kreijger yang memaksa Heru membuat surat keterangan seolah-olah arca itu hadiah dari Pakubuwono XIII Hangabehi. Rusman malah mengaku heran atas sikap Hashim yang begitu percaya pada Kreijger. ”Mestinya Hashim menanyakan mengapa Kreijger bisa memperoleh hadiah dari raja,” katanya.

Hanya, kata Rusman, kasusnya menjadi tidak benderang karena hanya berhenti pada jual-beli antara Heru dan para pegawai museum. ”Kesaksian Kreijger tidak akan meringankan atau memberatkan klien saya,” katanya. ”Tapi keterangan Kreijger bisa memperjelas kasus ini.”

Kepala Kepolisian Kota Besar Solo, Komisaris Besar Lutfi Luhbianto, menyatakan selain mencari Kreijger, polisi berencana memeriksa keluarga keraton. Tapi adik ipar Pakubuwono XIII Hangabehi, yaitu Edy Wirabumi, yang diangkat menjadi ketua lembaga hukum keraton, mengatakan pengakuan Heru sudah cukup. ”Kalau belum, polisi bisa membandingkan dengan surat asli yang ditandatangani raja,” katanya.

Mooryati Soedibyo, keturunan Pakubuwono X, merasa prihatin atas ”prahara” Keraton Surakarta ini. Hilangnya benda purbakala, katanya, tak lepas dari kemelut internal keluarga keraton. ”Yayasan Radya Pustaka didirikan oleh eyang saya,” ujar pengusaha jamu tradisional Mustika Ratu itu.

Menurut Mooryati, sepeninggal Pakubuwono X, pengelolaan Keraton Solo semrawut. ”Pada masa saya dulu tidak pernah ada penjualan barang milik keraton,” kata Mooryati. Benda keraton termasuk cagar budaya yang dilindungi. ”Polisi harus mengusut kasus ini,” katanya, setelah menjenguk Mbah Hadi di ruang tahanan Kepolisian Kota Besar Solo.

Menurut Direktur Jenderal Pelestarian Peninggalan Benda Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Soeroso, pencurian kemudian memalsu benda kuno termasuk upaya penghapusan artefak sejarah. Benda purbakala dapat dialihkan kepada orang lain, katanya, jika jumlahnya banyak. Misalnya, ada 500 ribu keramik kuno, yang tak mungkin dikuasai pemerintah semuanya. ”Sebagian boleh dialihkan.”

Untuk benda bersejarah yang jumlahnya sedikit, kepemilikannya boleh oleh siapa saja, asal dilaporkan kepada pemerintah. ”Kami tidak mengatur masalah jual-beli,” kata Soeroso. ”Yang diatur adalah masalah kepemilikan dan pemindahan.” Menurut guru besar arkeologi Universitas Indonesia, Mundarjito, meski wilayah keraton memiliki otoritas sendiri, pengurusan cagar budaya tetap tunduk pada undang-undang tentang cagar budaya. ”Artinya, semua benda purbakala yang dialihkan atau dipindahkan harus dilaporkan ke pemerintah.”

Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Purbakala memang mengatur perlindungan atas barang bersejarah dan bernilai tinggi. Bagi yang merusak, memindahkan, sampai memperdagangkannya secara ilegal, ada ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Elik Susanto, Widi Nugroho, Imron Rosyid (Solo), Asmayani Kusrini (Brussels)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus