Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAFSIAH Mboi, 72 tahun, dilantik menjadi Menteri Kesehatan pertengahan Juni lalu. Ia menggantikan Endang Sedyaningsih, yang meninggal saat masih menjabat. Nama Nafsiah telah berulang kali beredar di bursa calon menteri. Banyak yang menganggapnya layak menjadi menteri. Termasuk kami, yang memasukkannya ke kabinet pilihan Tempo tahun 2009.
Bagi Nafsiah, menjadi Menteri Kesehatan ibarat pulang ke rumah yang telah dihuninya selama 35 tahun. Ya, dokter spesialis anak ini menjadi pegawai negeri sipil di departemen itu sejak 1964 sampai pensiun pada 1998. "Ternyata nenek-nenek bisa juga jadi menteri," kata Menteri Kesehatan tertua sedunia itu, tertawa.
Dia pernah menjadi Direktur Departemen Gender dan Kesehatan Perempuan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan terakhir sebagai Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Namun tugas-tugas Menteri Kesehatan tak pelak membuatnya lebih disorot publik. Hari-hari pertama menjabat, ia sudah "diomeli" banyak orang. Kantornya pun digeruduk demonstran. Mereka menghujat pernyataan Nafsiah soal kondom untuk generasi muda. Niat Bu Menteri memang mengurangi penularan human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) dan penyakit menular lain. Namun banyak kelompok agama dan pendidik yang menuduh Nafsiah mendukung seks bebas. Salah satu spanduk demonstran bahkan menyebutnya "menteri cabul".
Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan Nafsiah, wartawan Tempo Andari Karina Anom dan Dwi Wiyana mewawancarainya selama dua jam lebih di kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menjawab semua pertanyaan dengan berapi-api layaknya seorang aktivis, tapi tetap berhati-hati. Terutama menyangkut soal sensitif, seperti agama.
Rencana Anda memberikan kondom untuk anak muda menuai kontroversi karena dianggap mendukung seks bebas.
Apa yang kami lakukan adalah membela kesehatan masyarakat. Walaupun di hulu kita sudah memberikan informasi, pendidikan moral, agama, dan ketahanan keluarga, nyatanya mereka tetap melakukan seks berisiko. Maka, untuk mengurangi dampak buruknya, ada pilihan: kau berhenti melakukannya atau kau melakukan tapi pakai kondom. Pernyataan ini kemudian diinterpretasikan bahwa saya kasih kondom kepada generasi muda. Meski ada generasi muda yang perilaku seksnya berisiko, tindakan pertama kami jelas bukan memberikan kondom.
Jadi, apa tindakan awal mencegah seks berisiko?
Di Kementerian Kesehatan, ada yang disebut ABAT, Aku Bangga Aku Tahu. Itu kampanye untuk meningkatkan pengetahuan. Namun pengetahuan saja tidak cukup. Tetap harus terus-menerus dilakukan pendidikan agama, moral, dan kesehatan reproduksi. Tapi semua itu ada di hulu dan bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, melainkan tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Kok, seperti saling lempar tanggung jawab?
Kami bekerja sama. Kaum agamawan, pendidik, dan orang yang peduli terhadap generasi muda, bekerjalah lebih keras di hulu. Kuatkan iman rakyat, terutama generasi muda, juga kuatkan ketahanan keluarga. Kalau semua orang suci, ya alhamdulillah, aku enggak ngomong kondom lagi. Makin sedikit generasi muda yang perilakunya berisiko, alhamdulillah. Namun, kenyataannya, kita tahu ada generasi muda yang perilaku seksnya berisiko. Dalam urusan inilah kami harus memberikan layanan pencegahan.
Kerap muncul perbedaan pandangan soal penggunaan kondom dari sisi agama dan kesehatan. Solusi Anda?
Kondom bukan barang haram atau terlarang. Kondom sudah dipakai sejak 30 tahun lalu dalam program Keluarga Berencana Nasional. Penggunaan kondom sudah diterima, termasuk oleh tokoh-tokoh agama Islam waktu itu. Yang dulu tidak menerima hanya tokoh agama Katolik. Namun, dengan adanya fungsi ganda kondom, yakni untuk alat Keluarga Berencana dan pencegahan penyakit, kok, sekarang muslim menolak. Sebaliknya, tokoh Katolik malah mengatakan, "Kalau itu untuk pencegahan penyakit atau untuk menyelamatkan jiwa, boleh pakai kondom."
Anda secara khusus mendekati kalangan agama untuk menjelaskan soal kondom ini?
Saya pernah menghadiri pertemuan lintas sektoral, dan di situ saya ditentang. Saya bilang, "Kalau mau, di semua tempat pelacuran, taruh ayat-ayat Al-Quran atau Bibel, yang menerangkan bahwa perbuatan itu dosa." Yang bereaksi justru seorang ibu, kebetulan tokoh agama. Dia bilang, "Itu omong kosong. Kalau laki-laki sudah datang ke situ, jangan kita datang dengan ayat-ayat Al-Quran. Dalam Islam juga sudah dikatakan bahwa kita harus membantu orang untuk mengurangi mudarat. Nah, memberikan kondom itu mengurangi mudarat." Dalam istilah kami, itu harm reductÂion. Kenyataannya, HIV/AIDS itu menular di mana-mana.
Ada data terbaru penularan HIV/AIDS di Indonesia?
Kemarin, saya ke Aceh. Ternyata hampir setiap kabupaten/kota di sana melaporkan adanya HIV. Bayangkan, ini Serambi Mekah, lo. Saya senang sekali dengan keterbukaan ini. Dulu, para bupati/wali kota tidak mau melaporkan (kasus HIV/AIDS) karena merasa kita semua orang suci, kok. Ternyata, di Aceh, mereka punya keberanian. Tinggal dua kabupaten yang tidak melapor. Kalau kita tutup-tutupi, penyakit ini akan menyebar terus. Sedangkan kalau kita jujur, kita bisa membendung persebaran itu.
Membendung dengan cara apa, misalnya?
Sekarang, kita punya PMTS Paripurna (Pencegahan Melalui Transmisi Seksual yang Paripurna). Pesan ini kita tujukan kepada laki-laki. Kenapa? Sebab, laki-laki punya pilihan: memegang teguh agamanya atau tidak. Nah, kalau tidak teguh pada agamanya, dia bisa memilih perilaku seks aman atau tidak. Dengan kata lain, kalau dia mau bikin dosa, setidaknya dia menjaga agar tidak tertular dan tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
Bagaimana dengan kaum perempuan?
Sementara laki-laki punya pilihan, tidak demikian dengan kaum perempuan. Semua pekerja seks perempuan, kalau kita tanya, jawabnya mereka ingin sehat. Mereka juga ingin kawin baik-baik dan memiliki anak yang sehat. Tapi mereka berada dalam posisi tawar yang sangat rendah. Mereka ini dilacurkan. Untuk itu, kami bekerja sama dengan beberapa lembaga, seperti Kementerian Sosial, untuk bisa mengeluarkan mereka dari sana, terutama pekerja seks yang masih anak-anak. Kalau kita lihat, 40 persen pekerja seks perempuan itu berusia 15-24 tahun.
Bagaimana dengan lokalisasi?
Persoalan muncul jika lokalisasi dibubarkan atau ditutup. Itu berarti para pekerja seks perempuan, termasuk yang masuk kategori anak-anak, tersebar di masyarakat. Bagaimana kita bisa menjangkau mereka? Bagaimana pula kita bisa melindungi mereka dari eksploitasi para muncikari, termasuk muncikari yang punya pelanggan yang suka mencari perawan? Karena itu, saya katakan kepada para tokoh agama, "Tolonglah perbaiki mental laki-laki yang suka jajan atau suka mencari anak perempuan muda."
Menurut data Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia, ada 350 ribu orang positif HIV di Indonesia, tapi hanya 70 ribu yang sudah ditangani. Bagaimana dengan 280 ribu penderita yang masih potensial menyebarkannya kepada orang lain?
Sebenarnya sudah ada kemajuan. Sewaktu saya mulai jadi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS, hanya 6,7 persen yang mengetahui dirinya positif. Tahun lalu, Juni 2011, meningkat menjadi 51 persen.
Kelompok mana yang paling sulit dijangkau?
Yang sulit karena tidak ada organisasinya adalah laki-laki berisiko tinggi. Namun kami sudah melakukan pemetaan, di mana kelompok ini paling banyak berada: pelabuhan, terminal, dan proyek pembangunan. Proyek pembangunan itu menarik jutaan laki-laki muda usia produktif untuk mencari nafkah. Waktu kerja ya kerja. Waktu tidak bekerja, otaknya ke mana? Ya, ke sekslah. Ini yang kemudian dimanfaatkan sebagian orang dengan membawa perempuan ke sana. Kami sudah tahu mobilitasnya. Karena itu, kami bekerja sama dengan Menteri Perhubungan, Menteri Pertambangan, Menteri Pekerjaan Umum, dan sebagainya.
Selain soal HIV/AIDS, apa program kesehatan yang menjadi prioritas Anda dalam masa dua tahun ini?
Presiden meminta saya menyelesaikan tugas-tugas Ibu Endang (Sedyaningsih). Sebelum pelantikan, saya juga menandatangani kontrak kerja yang sama dengan yang ditandatangani Ibu Endang. Beliau telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh dengan melaksanakan Reformasi Pembangunan Kesehatan 2010-2014. Salah satunya, agar pada 2014 ada mekanisme asuransi sosial untuk seluruh rakyat.
Apa yang akan terjadi dengan jaminan kesehatan pada 2014?
Kami bercita-cita pada 1 Januari 2014 sudah ada jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Sasaran program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) tahun 2014 adalah masyarakat miskin dan tak mampu, yang berjumlah 63,05 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jadi, kalau rakyat yang sakit, mereka tidak lagi mikir biaya. Kami kembangkan struktur, manajemen, dan lain-lain, sehingga setiap penduduk mempunyai jaminan kesehatan bermutu kapan pun dia membutuhkannya.
Konsepnya sangat bagus di atas kertas, tapi bagaimana prakteknya? Nyatanya, masih banyak orang miskin yang ditolak rumah sakit.
Memang harus ada sosialisasi. Rakyat tahu ada haknya yang bisa dipakai. Petugas kesehatan pun harus melayani tanpa diskriminasi. Memang dalam evaluasi banyak kendala. Misalnya, dokter memperlakukan dia dengan tidak baik atau perawatnya cemberut.
Bagaimana dengan mereka yang tak punya kartu tanda penduduk atau surat keterangan miskin?
Ada sasaran program Jamkesmas nonkartu, yaitu gelandangan, pengemis, anak telantar, masyarakat miskin penghuni penjara, dan sebagainya. Di luar sasaran tersebut, apabila ditemukan masih ada masyarakat miskin lainnya, itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui program Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Sekarang sedang diusahakan sistem by name by address. Yang berhak menggunakan hanya yang namanya tersebut di situ.
Artinya, Anda menjamin mulai 1 Januari 2014 orang miskin yang sakit tinggal datang ke rumah sakit, kemudian beres?
Nanti, pada 2014, semua sudah menyatu, universal coverage. Artinya, setiap penduduk tidak lagi dibedakan kaya-miskin. Tanpa diskriminasi, semua akan masuk salah satu sistem asuransi, sehingga pengobatan bisa dilaksanakan. Untuk sementara memang masih harus pakai surat miskin. Ini kan menyangkut uang. Sebenarnya jaminan kesehatan ini sama dengan asuransi. Kalau saya pegawai negeri sipil, gaji dipotong setiap bulan untuk membayar asuransi. Karena rakyat miskin tidak bisa seperti itu, preminya dibayari pemerintah.
Tugas lain Kementerian Kesehatan adalah menangani dampak rokok. Terbukti dari alotnya pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Dampak Tembakau. Apa kesulitannya?
Kewajiban kami memberitahukan dan mengatur bahwa di dalam tembakau ada hal-hal yang mengganggu kesehatan. Kami mengatur jangan sampai kepentingan bisnis merugikan kesehatan masyarakat. Itulah tujuan dan isi RPP itu, jadi bukan melarang orang merokok. Kami hanya bilang, "Kamu merokok, ada risiko penyakit ini dan itu." Kami menuntut industri rokok memberi tahu masyarakat.
Mereka yang antirokok, termasuk Kementerian Kesehatan, dituduh membawa kepentingan asing yang ingin mematikan petani tembakau lokal….
Industri rokok di Indonesia dikuasai enam perusahaan rokok terbesar, dan di antara mereka sebenarnya ada yang sudah dibeli perusahaan rokok asing. Jadi, kalau dibilang Kementerian Kesehatan membikin RPP ini karena mendapat dana dari Barat, tak usah ye. Kami mau melindungi rakyat, kok. Perusahaan asing datang ke Indonesia karena rokok sudah dilarang di negaranya. Salahnya kita kenapa mau dibodohi.
Tapi para petani tembakau lokal juga mendemo RPP yang dianggap merugikan mereka….
Di Indonesia sebenarnya tembakau banyak diimpor. Kalau mau menguntungkan petani tembakau, biaya impor harus dinaikkan. Petani tembakau mengeluh penghasilan mereka kecil banget karena sangat bergantung pada tengkulak. Maka pemerintah melalui Menteri Perdagangan dan lain-lain harus memikirkan bagaimana supaya menguntungkan petani.
Jadi, solusi Anda soal mengendalikan peredaran rokok di Indonesia?
Banyak pemerintah di dunia yang hidupnya dari cukai rokok. Kalau begitu, berikanlah cukai setinggi-tingginya sehingga harga rokok mahal dan rakyat miskin tidak beli. Ini kan uang yang dibakar. Pertama, harus ada harga minimum yang ditetapkan pemerintah. Kedua, impor tembakau harus dilarang.
Bagaimana sikap pemerintah terhadap gerakan antivaksinasi yang belakangan berkembang karena vaksin diisukan mengandung babi?
Itulah yang sangat menyedihkan. Gerakan ini bisa membunuh banyak orang. Kita sudah pernah membuktikan Indonesia bebas polio atau bebas campak karena sistem imunisasi kita begitu bagus. Kenapa sekarang hendak dirusak dengan menyebarkan gerakan seperti itu? Kementerian pernah mengundang Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak. Menurut mereka, agama Islam itu luar biasa fleksibelnya. Misalnya, jika di suatu tempat hanya ada daging babi sebagai makanan satu-satunya, daging itu tidak haram dan boleh dimakan oleh seorang muslim. Apalagi soal vaksin. Enzim babi itu hanya katalisator, tidak bersentuhan. Mosok anak-anak ini akan dikorbankan? Sama sekali tidak masuk akal.
Dr Nafsiah Mboi, SPA, MPH
Pendidikan
Pengalaman
Tempat dan tanggal lahir: Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo