Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CORIOLANUS
Sutradara: Ralph Fiennes
Skenario: John Logan Diangkat dari drama karya William Shakespeare
Pemain: Ralph Fiennes, Gerard Butler, Vanessa Redgrave, James Nesbitt, Brian Cox
Dari kegelapan, sepercik cahaya memperlihatkan sepasang tangan perkasa yang tengah mengasah sebilah pisau belati berukir. Sepasang tangan itu milik Tullus Aufidius (Gerard Butler), komandan Volscian dari Corioles, musuh bebuyutan komandan militer Roma terkemuka, Caius Martius Coriolanus (Ralph Fiennes). Cahaya yang berkelebat itu datang dari pesawat televisi yang tengah menayangkan kerusuhan dan demonstrasi rakyat akibat kekurangan makanan.
Dengan musik yang keras, dentam perkusi yang menggedor layar, film ini memberi satu isyarat yang jelas: perang! Penduduk Roma yang kelaparan dengan garang melontarkan batang kayu dan piring kosong kepada pasukan tentara yang menghadang mereka. Warga Roma menyalahkan komandan Martius, yang dianggap membatasi jatah makanan pokok. Dan Martius memang memandang remeh rakyat sipil, yang dianggap enggan mengangkat senjata membela Kota Roma. Sedangkan polisi berderap menghalangi penduduk Roma yang semakin merangsek dengan ganas.
Sesungguhnya, pemimpin pasukan militer Roma, Caius Martius Coriolanus, yang dikenal berani, telah menaklukkan berbagai serangan ke dalam kota, termasuk Aufidius dan pasukannya. Sayang sekali, ketangguhannya itu hanya dihargai oleh ibunya, Volumnia (Vanessa Redgrave), dan istrinya yang jelita, Virgilia (Jessica Chastain). Rakyat Roma membencinya karena Martius terkenal dingin, arogan, dan memandang rakyat jelata bak barisan kutu busuk yang tak penting dalam hidupnya. Itu pula yang menyebabkan, betapapun perkasanya Martius, sang ibu mendorong (atau lebih tepatnya memaksa) Martius mencalonkan diri menjadi anggota Senat. Meski dunia politik bukanlah sesuatu yang menarik hati Martius—terutama karena dia merasa harus ”mengemis kekuasaan dari rakyat”—ia mematuhi dorongan sang ibu.
Semula, kampanye Martius cukup menarik perhatian rakyat Roma, meski dia tetap terlihat angkuh dan arogan. Tapi Tribune Brutus (James Nesbitt) dan Tribune Sicinius (Paul Jesson) mengkhianatinya. Rakyat Roma dibakar oleh hasutan kedua politikus itu. Martius diusir keluar dari Roma.
Drama tragedi Coriolanus karya William Shakespeare ini bukanlah naskahnya yang terkemuka. Hanya beberapa ahli sastra Shakespeare yang bersedia memasukkannya sebagai tragedi Shakespeare terbaik berdampingan dengan Hamlet, Macbeth, dan King Lear. Bahan naskah drama itu jelas diambil dari Life of Coriolanus yang diterjemahkan Thomas North dari Lives of the Noble Greeks and Romans yang ditulis Plutarch (1579).
Penyair T.S. Eliot memuja adaptasi Shakespeare tentang Coriolanus dan bahkan menyebut naskah drama tragedi Shakespeare ini jauh lebih superior daripada Hamlet. Di dalam puisi berjudul Coriolan, T.S. Eliot menulis larik ”Revive for a moment a broken Coriolanus”.
Yang membedakan Coriolanus dengan drama tragedi khas Shakespeare, Martius Coriolanus adalah karakter arogan dan dingin hingga mengisolasi diri dari sentuhan siapa pun, termasuk dari penonton. Jika kita sudah terbiasa dengan adegan solilokui tokoh-tokoh tragis Shakespeare seperti Hamlet dan Macbeth, yang lazimnya mendekatkan tokoh utama dengan penonton, Martius terasa sebagai sosok yang berjarak dan nyaris menjadi antihero. Martius lebih sering digambarkan berdebat atau meraung dengan lawan bicaranya. Ralph Fiennes tidak hanya berhasil menampilkan Martius sebagai seorang jenderal dingin bermata biru yang sulit mendapat simpati penonton, tapi juga dengan kompleksitas karakternya yang sulit diterka.
Kelebihan lain dari film ini adalah kemampuan penulis skenario John Logan memampatkan naskah drama panjang itu menjadi film berdurasi 122 menit yang bergelora. Terlebih lagi, Ralph Fiennes sebagai sutradara menyajikan debutnya ini dengan sentuhan modern tanpa mengkhianati puitisasi Shakespeare. Meski kita melihat seluruh perangkat modern abad ke-21, John Logan dan Ralph Fiennes berhasil meniupkan roh William Shakespeare di abad ke-17 yang tetap bergaung hingga kini.
Semua pemain tampil cemerlang. Tapi Vanessa Redgrave-lah yang mampu membuat kita menahan napas setiap kali dia tampil menguasai layar dan merenggut seluruh perhatian penonton. Sebagai ibu yang ambisius dan obsesif, Vanessa memperlihatkan Ibu Volumnia yang penuh cinta, manipulatif, sekaligus ibu yang menjalin hubungan tak sehat dengan anaknya, yang nyaris ke garis inses (jiwa).
Dari film pertama yang disutradarainya ini, Ralph Fiennes memberi harapan bagi kehidupan adaptasi naskah teater yang bersinar di layar lebar.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo