Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Obat Piatu buat Si Langka

Penyakit langka bermunculan di Tanah Air. Obat khusus bisa diadakan lewat skema akses khusus, tapi pemerintah belum punya daftarnya.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat dielakkan. Begitulah nasib Muhammad Fauzan, anak bungsu pasangan Abdul Djalil-Nyonya Hartini, warga Nanggung, Bogor. Lahir dengan berat 5,5 kilogram, bocah ini mengalami hiperinsulinemia-hipoglikemia (tinggi insulin, rendah gula darah), yang obatnya tak ada di Indonesia. Lantaran gejalanya terlambat diketahui dan telah menimbulkan komplikasi, Fauzan harus bolak-balik rawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

"Besok Fauzan boleh pulang, Mas," kata Abdul Djalil kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu. Untuk mendongkrak kadar gula darahnya, bayi yang kini berbobot 14,4 kilogram itu harus rutin minum obat diazoxide, yang didatangkan khusus dari Malaysia. Beruntung, pemerintah, melalui skema akses khusus (special access scheme), siap mendatangkan obat ini karena kasus yang dialami Fauzan terbilang langka.

Kisah yang dialami bayi Malika Putri Humaira lain lagi. Anak pasangan Marina-Tubagus Uliarto yang lahir pada 20 Juni lalu ini mengidap kelainan metabolisme bawaan yang disebut maple syrup urine disease. Ciri khasnya, air pipis Malika bercampur bau manis, seperti sirop maple. Ciri lain, beberapa hari setelah Malika lahir, bisa tiga atau empat hari ia ogah minum air susu ibunya.

Menurut dokter yang merawatnya di Rumah Sakit Hermina Jatinegara, Jakarta Timur, penolakan itu terjadi karena secara alamiah tubuh si bayi merasakan adanya ketidakberesan dari air susu ibunya. Dalam urusan ini, ternyata tubuh si orok tak mampu memecah komponen protein tertentu yang ada dalam air susu ibu, yakni leusin, isoleusin, dan valin.

Nah, untuk mengatasi penyakit kelainan genetis yang langka ini, Malika butuh susu formula khusus yang tidak mengandung ketiga protein itu. Susu itu harus diimpor dari Inggris. Sekaleng susu berukuran 400 gram harganya Rp 435 ribu. Sayang, meski susu yang dimasukkan ke Indonesia lewat skema akses khusus itu bisa didapatkan, beberapa bulan kemudian nyawa bocah mungil tersebut tak bisa diselamatkan. "Pada 3 Oktober lalu, Malika menghadap Allah," kata Uliarto.

Akses khusus untuk mendapatkan obat-obatan khusus itu bisa diperoleh setelah Pusat Rujukan Obat Nasional (PRON), yang bermarkas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengeluarkan keputusan. Lembaga ini memang ditunjuk pemerintah untuk menggodok permintaan obat dan makanan kesehatan buat penderita penyakit serius dan langka (orphan disease). Sebelum masuk ke PRON, permintaan yang berasal dari daerah bisa disalurkan lewat Pusat Rujukan Obat Spesialistik, yang berlokasi di 10 rumah sakit pendidikan di Indonesia.

Aturan main soal orphan drugs tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1379 Tahun 2002. Selain obat dan makanan, skema akses khusus bisa diajukan untuk pengadaan alat kesehatan bagi pasien dengan penyakit langka. Jika PRON sudah setuju, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan, menugasi PT Kimia Farma untuk mendatangkan pesanan tersebut.

"Kebijakan ini sudah berlangsung sekian tahun dan terlaksana dengan baik," kata Profesor Armen Mukhtar, Sekretaris PRON, di kantornya. Pengakuan serupa diungkapkan Kepala BPOM Kustantinah dan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Sri Indrawati.

Namanya untuk penyakit langka, Kustantinah menjelaskan, obat dan makanan khusus tersebut tidak terdaftar di BPOM. Namun lantaran pasiennya ada, juga ada dokter yang bertanggung jawab untuk penggunaannya, mau tak mau obat dan makanan itu harus diadakan. Jalannya, tak ada cara lain, harus lewat skema akses khusus. "Proses pengadaannya sangat cepat, bisa 1-2 hari, kadang cuma butuh waktu setengah hari," kata Sri Indrawati. "Kami berikan kemudahan akses agar pengobatan pasien tak terganggu."

l l l

Orphan drugs diperkenalkan di dunia oleh pemerintah Amerika Serikat pada Januari 1983 lewat The Orphan Drugs Act. Di negara itu, suatu penyakit masuk kategori langka (orphan disease) jika prevalensinya kurang dari 200 ribu penduduk atau kurang dari 7,5 per 100 ribu penduduk. Pada 1983, cuma ada 38 macam obat yang masuk kategori ini, tapi angkanya meroket hingga 353 jenis pada Mei 2010.

Kebijakan serupa mulai diberlakukan pada 2000 di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Belakangan orphan drugs juga diimplementasikan oleh Jepang, Singapura, dan Australia. Di negara-negara itu, warga dan kalangan medis bisa dengan gampang mengetahui daftar obat yang masuk kategori orphan drugs sehingga pesanan bisa segera disampaikan jika ditemukan kasus penyakit langka.

Bagaimana dengan Indonesia? Aslinya kebijakan orphan drugs sudah ada sejak 2002. Patokan penyakit langka sama dengan yang dianut Amerika Serikat, yakni kurang dari 200 ribu penderita di seluruh Tanah Air. Masuk juga kategori orphan drugs jika pasiennya lebih dari 200 ribu, tapi obat tersebut tidak mempunyai nilai komersial sehingga tidak ada produsen yang berminat membuatnya. Pengelompokan yang sama dipakai untuk alat kesehatan dan makanan kesehatan khusus, termasuk susu.

"Intinya, orphan drugs itu seperti obat yatim piatu, tak ada yang mengurus karena pengadaannya tidak menguntungkan. Ya, pemerintah yang harus turun tangan," kata Bahdar J. Hamid, Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan. Untuk mempercepat pengadaan orphan drugs, sejak setahun terakhir komite medik rumah sakit yang mengajukan bisa menjalin kerja sama dengan pihak lain, tanpa harus melalui Kimia Farma. Asalkan keterangan skema akses khusus sudah ada di tangan mereka, kata Badar, "Mau membeli lewat mana, silakan!"

Meski kebijakan itu sudah berlangsung hampir 10 tahun, ternyata pemerintah belum punya daftar obat yang masuk kategori orphan drugs, seperti yang dimiliki Amerika dan Uni Eropa, yang bisa dijadikan sebagai pegangan. Walhasil, dokter dan pasien penyakit langka tak bisa cepat mendapatkan informasi obat yang dibutuhkan.

"Daftar itulah yang harus dirintis. BPOM dan Kementerian Kesehatan harus mengambil inisiatif," kata Armen, yang juga seorang farmakolog. Sebagai langkah awal, bulan ini PRON, BPOM, dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian akan membahas beberapa permintaan obat, dan akan diputuskan termasuk orphan drugs atau bukan.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian mengakui belum memiliki daftar orphan drugs. "Tapi ada beberapa obat yang pernah dikeluarkan izinnya dengan skema akses khusus," kata Liza Fitrisiani, Kepala Seksi Sediaan Farmasi Khusus Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian. Obat-obatan itu adalah fluphenazine decanoat (obat skizofrenia), immunine (pembeku darah faktor IX), darplex (obat malaria), serta efavirens, lamivuddin, dan stavudin (ketiganya antivirus untuk penyakit perontok kekebalan tubuh/HIV).

Senyampang belum ada daftar, BPOM maupun Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian sangat terbuka menerima masukan jika ada kasus penyakit langka yang butuh "obat piatu". Yang penting syarat-syaratnya dipenuhi: permohonan dinyatakan oleh dokter yang merawat pasien, didasarkan pada kebutuhan medis, dan terdapat alasan yang menunjukkan bahwa keadaan pasien tak dapat ditangani dengan obat di pasar. Setelah PRON menyetujui dan akses skema khusus keluar, Indrawati meyakinkan pihak bea dan cukai akan meloloskan impor obat tersebut meski tak terdaftar di Indonesia.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus