Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOSE Manuel Ramos Horta kembali berkunjung ke Indonesia pekan lalu. Misi utama Presiden Timor Leste itu: bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Konferensi Tingkat Tinggi Ke-19 ASEAN di Nusa Dua, Bali. Horta meminta dukungan Yudhoyono agar Timor Leste dapat diterima sebagai anggota ASEAN. Pria 61 tahun itu mengemban pula "misi" lain: kongko dengan teman-teman lamanya di Jakarta, seperti Adnan Buyung, Goenawan Mohamad, dan Sabam Siagian. "Ada yang sudah saya kenal sejak 40 tahun lalu," katanya.
Setelah Timor Leste berpisah dari Indonesia pada 1999, sejumlah problem masih mengganjal di antara kedua negara, dari masalah perbatasan, aset-aset, hingga penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tapi kedua jiran terbilang rukun. Mengutip Horta kepada Tempo: "Kami membuktikan konflik bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan niat baik."
Januari nanti, dia akan mengumumkan keputusannya—kembali maju atau tidak—dalam pemilihan presiden. Dia mengaku menaruh hormat pada calon-calon yang sudah menyatakan diri akan bertarung, seperti Taur Matan Ruak. "Dia sosok pemberani yang amat layak jadi presiden," Horta memuji.
Tim wartawan Tempo menemuinya di Hotel Borobudur, Jakarta, pekan lalu. Horta memberi wawancara selama 90 menit. Perbincangan berlangsung hangat dan terbuka, diselingi gelak tawa di sana-sini.
Bagaimana perkembangan rencana Timor Leste menjadi anggota ASEAN?
Semua negara ASEAN setuju, kecuali Singapura. Sebuah negara bisa bergabung dengan organisasi regional karena dia bagian dari kawasan tersebut. Kami ada di Asia Tenggara, maka sudah semestinya kami otomatis bergabung.
Seperti apa dukungan Indonesia?
Sangat mendukung! Indonesia adalah negara besar secara populasi dan ekonomi, pendiri ASEAN, maju dalam demokrasi, dan berbatasan dengan Timor Leste. Ada sejarah panjang di antara kedua negara. Karena itu, ketika Indonesia menyatakan mendukung, semestinya negara Asia Tenggara lain turut serta. Saya berharap (kami bisa menjadi anggota ASEAN) sebelum 2014. Kalau menunggu sampai 2015, kami bisa-bisa terlupakan oleh kesibukan ASEAN Community. Kalau ada yang bilang sekarang kami tak siap, kami bisa lebih tak siap setelah 2015.
Apa reaksi Anda terhadap penolakan Singapura?
Kami terkejut. Sebab, secara ekonomi, kami kini sudah independen. Kami memang kecil, tapi berkembang. Banyak warga Singapura tinggal di Timor Leste. Anak muda Singapura banyak yang datang berwisata atau bekerja sukarela di sana. Hubungan kami amat baik.
Apa alasan resmi mereka?
Alasan resminya: ASEAN tidak siap menyerap anggota baru karena menghadapi banyak tantangan menghadapi ASEAN Community 2015. Timor Leste dikhawatirkan mengacaukan persiapan menuju 2015. Well, saya tidak tahu kalau Timor Leste begitu kuat sampai bisa mengacaukan ASEAN. Ini seperti mengatakan Islandia mampu mengacaukan Uni Eropa.
Cina amat agresif mendekati Timor Leste. Bagaimana hubungan kedua negara?
Cina menunjukkan perhatian yang besar di sumber daya mineral dan hasil laut kami. Kami memiliki banyak mineral yang belum diekspor, seperti marmer. Kami punya jutaan kubik marmer. Hubungan kami dengan Cina baik sekali, seperti halnya dengan negara-negara Asia lain. India juga meningkat perhatiannya kepada kami. Mereka mungkin akan membuka kedutaan di Timor Leste.
Apa tidak curiga dengan begitu banyak bantuan Cina, antara lain untuk pembangunan kementerian luar negeri dan kantor Anda?
Begini, Amerika Serikat memberikan bantuan ke berbagai negara. Pertama, karena memang ada keinginan membantu. Banyak orang di Washington yang ingin membantu. Tapi ada juga yang disebut soft power diplomacy. Sekarang Cina memiliki likuiditas cukup untuk lebih aktif memainkan soft power diplomacy. Mereka membantu membangun istana kepresidenan, kementerian luar negeri, kementerian pertahanan, markas militer, dan perumahan militer. Mereka memiliki banyak aktivitas budaya dan membantu dokter di Timor Leste. Tapi bukan hanya Cina. Angkatan Laut Amerika juga rutin datang ke Timor Leste untuk melakukan latihan militer bersama. Kami menyambut mereka semua dengan baik.
Apa saja problem Timor Leste menyambut pemilihan umum mendatang?
Problem dengan demokrasi kami adalah terlalu banyak partai. Ini memalukan: ada 22 partai dan 600 ribu pemilih. Saya bilang dalam pidato, "Penduduk Indonesia ada 230 juta, partainya di parlemen hanya lima, dan mereka sudah merasa ini terlalu banyak." Kami cuma satu juta penduduk dan punya 22 partai. Di parlemen kami ada sembilan partai. Saya bilang ke mereka: jangan memilih terlalu banyak partai, karena itu berarti tak ada satu partai mayoritas.
Anda akan maju sebagai calon presiden?
Saya belum membuat keputusan. Saya akan menentukannya pada Desember-Januari. Namun banyak yang menyarankan saya maju.
Sejumlah nama calon lain pun sudah muncul. Komentar Anda?
Mereka amat saya hormati, terutama Taur Matan Ruak. Dia mantan jenderal yang 20 tahun bertahan, amat pemberani, dan amat layak menjadi presiden.
Di bawah Anda dan Xanana Gusmao, Indonesia dan Timor Leste memiliki hubungan baik. Anda optimistis situasi yang sama terjaga jika berganti presiden?
Ya, hubungan kedua negara akan selalu baik. Ada satu artikel di The Economist sekitar setahun lalu. Mereka menangkap dengan baik sentimen di Timor Leste. Menurut mereka, aneh karena orang Timor Leste sulit bersabar menghadapi Australia, seolah-olah pernah berperang dengan Australia. Sebaliknya, orang Timor Leste sangat pemaaf terhadap Indonesia. Kecenderungan ini terjadi di semua kalangan. Karena itu, saya tak melihat kemungkinan ada presiden yang berbuat sebaliknya.
Usia Anda dan Xanana sudah lebih dari 60 tahun. Apa ada persiapan regenerasi kepemimpinan ke yang lebih muda?
Well, Xanana baru 64 tahun, bukan 80 tahun. Dia masih amat kuat bekerja, bangun pagi hari, jogging, energinya luar biasa. Kalau bicara orang muda, lebih dari 80 persen anggota parlemen adalah generasi baru yang berusia 30-40 tahun. Mereka menghabiskan 75 persen hidupnya di Indonesia, bukan Portugal atau Australia. Dan 100 persen anggota parlemen berbicara dalam bahasa Indonesia. Kalau di pemerintahan, hanya dua orang yang tak bisa.
Apa isu bilateral yang masih tersisa antara Indonesia dan Timor Leste?
Pertama, masalah perbatasan, tapi bukan masalah besar, hanya beberapa ribu meter lahan perbatasan yang perlu diklarifikasi. Memang, ada perselisihan, tapi tidak besar, hanya pertanyaan tentang batas demarkasi. Saya harap Mei tahun depan kami bisa menuntaskan urusan perbatasan dan demarkasi. Kedua, masalah aset-aset. Namun masalah ini tak menjadi halangan, pelan-pelan bisa diselesaikan.
Apa penyelesaian bagi masalah aset?
Dalam pandangan saya, Timor Leste dan Indonesia harus melihat masalah ini secara pragmatis. Sebagian besar orang Indonesia yang memiliki aset di Timor Leste bukan orang kaya. Mereka datang dengan meminjam uang di bank untuk membeli lahan atau rumah atau untuk menjalankan usaha. Ketika pada 1999 Timor Leste menjadi negara sendiri, mereka kehilangan harta. Karena itu, baik Timor Leste maupun Indonesia harus menemukan cara bijaksana bagi kedua pihak. Yang terpenting, uangnya akan masuk kembali ke kedua negara, bukan lari ke Cina atau Amerika.
Tanggapan Indonesia?
Sudah saya sampaikan tiga tahun lalu dan mereka mulai membahasnya. Intinya, bagaimana warga kedua negara diuntungkan dari perdagangan bebas. Salah satu perkembangan hubungan kedua negara adalah pemegang paspor Timor Leste tak membutuhkan visa on arrival untuk masuk ke Indonesia. Biaya masuk ini kecil untuk kalangan menengah Indonesia, tapi besar bagi orang miskin di perbatasan. Jadi, kami sedang mengusahakan mereka membayar secara simbolis saja untuk melewati perbatasan.
Soal insiden Santa Cruz, masih banyak yang berbicara tentang keadilan buat korban. Bagaimana sebetulnya sikap pemerintah Timor?
Itu lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kami melihat ke depan, tidak ke belakang. Ratusan ribu orang telah menjadi korban. Banyak orang, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga swadaya masyarakat, yang berdebat dengan kami, mendesak adanya pengadilan. Kami, termasuk Xanana, Mari Alkatiri, dan Taur Matan Ruak, tidak setuju. Kami merdeka karena ada perubahan di Indonesia. Kemerdekaan kami dapat karena ada perubahan di Jakarta pada 1998. Tanpa itu, kami mungkin masih terus berjuang seperti Palestina. Negara akan mengurus para korban di pihak Timor Leste, memberikan bantuan keuangan. Kami tak menyebutnya kompensasi karena, kalau berbicara tentang perjuangan kemerdekaan, kita tidak menandatangani surat kontrak: kalau saya cedera, Anda harus membayar kompensasi. Jadi, kami menolak menyebut kompensasi. Kami membantu. Itu yang kami jelaskan kepada rakyat kami.
Apa rencana Anda kalau nanti tak lagi jadi presiden?
Saya akan menetap di Timor Leste, dan dengan senang hati membantu presiden dan pemerintah baru, terutama untuk mengkonsolidasikan institusi-institusi perdamaian serta melanjutkan reformasi polisi, angkatan bersenjata, dan lainnya. Jika ada negara lain yang membutuhkan saya karena pengalaman bersama kami dengan Indonesia, saya juga dengan senang hati membantu. Indonesia dan Timor Leste bisa menunjukkan kepada orang-orang di Burma, Filipina, Kamboja, dan lain-lain bahwa konflik bisa diselesaikan dengan kepala dingin, pragmatis, dan niat baik.
Tidak ada program untuk mencari first lady?
Saya pria paling tak populer di dunia karena tidak ada yang mau menikah dengan saya. Jadi, kemungkinan adanya first lady tampaknya kecil sekali. Setiap kali saya menjalin hubungan, saya selalu dicampakkan. Saya pria paling tak beruntung di dunia.
Ha-ha-ha…. Anda tak mau melirik ke Indonesia?
Saya tidak mau menambah masalah dengan Indonesia, karena baru-baru ini ada pengusaha Timor Leste yang mencuri penyanyi terkenal Indonesia, ha-ha-ha….
José Manuel Ramos Horta Tempat dan tanggal lahir: Dili, Timor Leste, 26 Desember 1949 Pendidikan: S-1 Hukum Internasional Publik di Akademi Hukum Internasional Den Haag (1983) l S-2 Studi Perdamaian di Universitas Antioch, Amerika Serikat (1984) l Pendidikan Hukum Hak Asasi Manusia di Institut Internasional Hak-hak Asasi Manusia di Strasbourg, Prancis (1983) l Kelas Pascasarjana Kebijakan Luar Negeri Amerika di Universitas Columbia, New York (1983) Karier: Juru bicara perlawanan Timor Leste (1975-1999) l Menteri Luar Negeri Timor Leste (2002-2006) l Perdana Menteri Timor Leste (8 Juli 2006-20 Mei 2007 l Presiden Timor Leste (sejak 20 Mei 2007) Penghargaan: Nobel Perdamaian 1996 (bersama Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo