Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azhari Aiyub*
Pada akhir abad ke-16, Kesultanan Aceh menawan sebuah bahtera Belanda. Dari salah seorang tawanan yang malang lahir sebuah cikal bakal kamus Melayu pertama.
Dalam bukunya, Kerajaan Aceh, Denys Lombard memberikan perincian bahwa setelah Cornelis de Houtman—nakhoda kapal yang gemar membuat onar di bandar-bandar penting di rantau itu—mati dengan pedang di tangan. Ia tewas dalam sebuah perkelahian dengan orang Aceh, sementara saudaranya, Frederick, dikurung di Pedir. Selama dua tahun di penjara Frederick mengoleksi kata-kata Melayu yang disertai dengan pedoman pengucapan dalam kalimat. Kitab Frederick tersebut, menurut Lombard, yang mengutip A. Marre, khusus ditujukan sebagai panduan bagi para pelaut yang ingin menjelajahi lautan Hindia Timur.
Hingga tiga abad kemudian kita tidak pernah mendengar lagi sebuah kamus Melayu—kecuali sebuah glosarium Aceh-Melayu-Belanda, susunan P. Arriëns, yang terbit pada 1880—lahir di bandar raya tersebut, tapi justru beberapa kamus bahasa Aceh-Belanda.
Boleh jadi hal ini ada hubungannya dengan kemajuan dan kemakmuran yang telah lama pergi dari bandar tersebut, sementara kemunduran menguatkan prasangka tentang para bajak laut yang kerap menciptakan kerawanan di perairan serta menghantui kapal niaga yang melintasi Selat Melaka sehingga dijadikan dalih bagi Hindia Belanda untuk menyerang kesultanan tua tersebut pada Maret 1873. Woordenboek der Atjehsche taal (1889) karangan K.F.H. van Langen merupakan kamus bahasa Aceh pertama. Kamus ini disusun berdasarkan urutan dalam aksara hijaiyah yang diikuti oleh huruf Latin. Alif bukan hanya untuk huruf a, juga sebagai suatu konsekuensi pelafalan untuk menampung huruf hidup lainnya (e, i, u, o).
J. Kreemer, seorang arsiparis di Atjeh Institute, menganggap kamus Langen kurang praktis serta ada banyak kekeliruan dalam memahami suara Aceh sehingga tidak mudah digunakan. Dia lantas berusaha menjernihkannya dengan menyusun sebuah kamus baru, kamus Aceh-Belanda (Atjëhsch Handwoordenboek), yang terbit pada 1931, setelah bertahun-tahun dia menyerap cara bicara yang disebutnya sebagai "teka-teki Aceh".
Sebelumnya, teka-teki seperti itu menantang Snouck Hurgronje dalam rupa yang berbeda. Dia sampai pada wilayah yang keramat dan tertutup untuk orang asing, yakni dia ingin mengerti bagaimana suara-suara Ilahi telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap berlarut-larutnya perang serta menjadi alasan untuk membenci si kafir. Konon, untuk kerja ini, dia menyamar sebagai muslim.
Tidak mengherankan apabila Hurgronje telah mengambil tempat yang begitu penting dalam kenangan rakyat Aceh dan bahkan suara-suara yang menyatakan hati mereka telah begitu dilukai oleh sang sarjana masih bergaung hingga sekarang, dibanding misalnya ingatan bangsa itu tentang Jenderal Van Heutsz. Jenderal Van Heutsz dalam pandangan generasi kini mungkin hanya seorang yang tangannya berdarah. Tapi seorang pencemar agama seperti Hurgronje tidak mudah dilupakan dan, yang agak menakjubkan, kesumat ini jarang sekali berhadapan langsung dengan magnum opus-nya tentang Aceh yang ditulisnya dengan nada penuh kebencian, De Atjehers—dia melengkapinya dengan ortografi terhadap bahasa Aceh demi mengatasi perbedaan bunyi vokal di mana sistem itu dipakai hingga sekarang.
Fana adalah takrif yang penting dalam perang Aceh, terutama dalam hubungannya dengan jihad. Dalam perang melawan Belanda, banyak orang Aceh meninggalkan kefanaan duniawi menuju keabadian surgawi. Dalam sebuah traktat politik yang ditulis Tgk. Chik Kuta Karang, Tazkirat ar Rakidin (Peringatan bagi yang Lalai), hinaan ditujukan bagi ulama yang mencintai kefanaan, bersenang-senang, dan melupakan penindasan. Tidak ada lema f dalam kamus J. Kreemer, sehingga tidak ada tempat bagi kata fana, dan tidak juga pada lema p (phana). Hoesein Djajadiningrat dapat dikatakan lebih teliti dalam memandang makna kata fana sebagai suatu konsep, dalam kamus Atjëhsch-Nederlandsch Woordenboek (1934) dia memberi tempat bagi kata phana. Dia juga menerangkan kalimat-kalimat yang dipakai dalam hikayat.
Tidak adanya f pada kamus Kreemer, sementara hanya ada tiga lema dalam kamus Hoesein, menerangkan kepada kita bahwa koloni tersebut tidak bersentuhan dengan fotografi, teknologi yang digunakan dalam perang di sana. Kemajuan adalah sebuah tema yang sangat ingin diberikan oleh Hindia Belanda waktu itu kepada Aceh sebagaimana hasrat J. Kreemer dalam pengantar kamusnya yang menandaskan dengan murung bahwa bangsa tersebut belum begitu diberkahi keadilan dibanding koloni yang lain di Hindia Belanda. Kecuali bahwa fotografi telah menciptakan satu efek yang mengerikan di Kuta Reh. Dalam foto-foto penyerangan Belanda ke Gayo-Alas pada permulaan abad ke-20 kita dapat melihat para serdadu menginjak timbunan mayat orang-orang Kuta Reh. Kuta Reh tidak terdapat dalam kamus-kamus Aceh-Belanda yang telah saya sebutkan. Namun potret-potret di sana merupakan ingatan lain lagi untuk menolak kefanaan.
*) Sastrawan, tinggal di Banda Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo