Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya ada dua hal yang mengejutkan orang saat Prijanto mengundurkan diri dari kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Desember lalu. Pertama, masa jabatannya akan berakhir beberapa bulan lagi. Kedua, selama ini tak terdengar ada masalah antara dia dan Gubernur Fauzi Bowo. Berbagai spekulasi pun muncul. Untuk mendapat kepastian, kami memutuskan mewawancarainya.
Prijanto setuju menerima Tempo pada Rabu siang pekan lalu. Tapi, saat ditemui di rumahnya di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur, dia menolak berbicara. Mantan perwira itu menutup mulutnya dengan masker. "Saya tak boleh bicara oleh dokter," katanya. Suaranya serak, hampir tak terdengar. Wajahnya memerah karena demam.
Sebagai gantinya, dia memberi jawaban tertulis. Prijanto menyuruh ajudannya membacakan jawaban-jawaban itu. Dia juga meminta kami membaca bukunya, Andaikan Aku atau Anda Gubernur Kepala Daerah—jika jawabannya dirasa kurang komplet. "Semua lengkap di sana," ujarnya tentang buku itu. Saat dimintai konfirmasi tentang isu korupsi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dia menjawab, "Sak karepmu" ("terserah kamulah").
Prijanto mengaku tak ingin membuka detail alasan pengunduran dirinya sebelum memberikan penjelasan resmi kepada DPRD. Yang dia kemukakan adalah soal perbedaan visi. Namun beredar pula kabar—setelah dia mundur—bahwa Gubernur Fauzi Bowo atau Foke sudah lama tak akur dengan Prijanto. Bahkan ada yang mengaku mendengar keduanya sengit berdebat tentang kenaikan tarif parkir yang tak disetujui Prijanto. Spekulasi lain, Prijanto mengundurkan diri karena ingin bersaing dengan Foke dalam pemilihan gubernur tahun ini.
Hal-hal ini tentu tak cukup dia jawab dengan tertulis—lebih-lebih setelah berulang kali ditanyakan. Dengan suara lirih—masih dengan masker di mulut—dia setuju berbicara kepada Istiqomatul Hayati, Purwani Diyah Prabandari, Amandra Mustika Megarani, Qaris Tajudin, dan juru foto Yoseph Arkian dari Tempo.
Apa alasan Anda mundur?
Hati nurani saya. Dan saya yakin hati nurani saya didukung Allah. Bukan bisikan setan.
Tapi kok baru sekarang mendapat bisikan dari hati nurani?
Sudah beberapa kali saya punya keinginan ini. Pernah saya sampaikan ke Panglima TNI dan dia bilang, "Masih banyak yang bisa kamu perbuat. Pikirkan dengan cermat dan arif." Oke, saya pikirkan, tapi akhirnya saya harus mundur. Masyarakat sudah haus terhadap budaya politik yang berlandaskan moral dan etika. Jadi pejabat itu kalau sudah tidak dapat berbuat apa-apa—apakah karena situasi, kompetensi, atau kemampuan—sebaiknya mundur. Itu lebih mulia. Pejabat yang melakukan kesalahan, melanggar aturan, mundur. Itulah jiwa samurai sejati.
Setelah empat tahun berhasil meredam keinginan mundur, kenapa akhirnya mundur juga?
Ada suatu peristiwa yang membuat saya berpikir, wah, enggak bisa ditolerir lagi.
Peristiwa apa itu? Apa perdebatan soal kenaikan tarif parkir yang tidak Anda setujui?
Banyak. Parkir itu salah satunya. Hasil parkir itu ada dua. Kalau di gedung, masuknya ke pajak (pemerintah pusat). Sedangkan yang di jalanan itu retribusi (ke kas pemerintah daerah). Kalau tarif parkir di jalan (retribusi), saya enggak setuju dinaikkan. Padahal beberapa hari sebelumnya ada saran semua tarif parkir dinaikkan lima sampai sepuluh kali lipat. Beliau (Gubernur Fauzi Bowo) setuju parkir dinaikkan segitu. Kan, ini berlawanan antara pendapat saya dan beliau. Masing-masing punya argumen. Di rapat pimpinan, satu jam kami berdebat. Pak Foke dengan para deputi dan asisten di satu pihak, saya sendirian.
Kenapa Anda tidak setuju?
Saya bilang, "Anda percaya parkir di jalan raya itu setahun cuma bisa menyumbang retribusi sebesar Rp 15-20 miliar?" Aneh, Jakarta yang luas dengan parkir banyak hanya menghasilkan segitu. Enggak masuk logika. Orang goblok saja sudah ngerti terjadi kebocoran yang enggak keruan. Kenapa? Karena semua enggak berdisiplin. Yang punya mobil enggak pernah minta karcis, juru parkir enggak pernah kasih karcis. Lha, kalau dinaikkan berlipat-lipat, dan yang masuk ke kas pemerintah tetap segitu, siapa yang untung? Rakyat yang kecepit.
Ada alasan lain lagi?
Pelimpahan tugas yang menurut saya terlampau sering dan tidak tepat.
Misalnya?
Ada acara PDI Perjuangan, saya datang, tapi sambutan Gubernur justru diberikan dan dibacakan oleh salah satu deputi Gubernur. Ada pelantikan Panitia Pengawas Pemilihan Umum di Balai Kota, sambutan dibacakan Sekretaris Daerah.
Sejak kapan Anda merasa tidak sevisi lagi dengan Gubernur?
Kalau boleh jujur, awal 2008 saja sudah ada perbedaan prinsip.
Boleh beri contoh kasus?
Saya memberikan pertimbangan kepada Gubernur mengenai ketidaksetujuan saya tentang adanya perpanjangan jabatan salah satu direktur utama badan usaha milik daerah. Ada tiga alasan yang terkait dengan kinerja, kepekaan terhadap korupsi, dan etika birokrasi—dan saya sampaikan dengan fakta. Tapi si pejabat tetap bertahan hingga periode kedua tanpa dilengkapi keputusan Gubernur.
Apa respons Gubernur terhadap nota dinas Anda?
Tidak ada sama sekali. Ngomong-ngomong saja tidak.
Kan, Anda berdua satu visi sewaktu mencalonkan diri?
Visi kami sama: "Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua". Yang berbeda itu penerapannya. Perbedaan itu kadang-kadang amat prinsip, umpamanya aturan tidak boleh dilanggar. Uang rakyat itu harus dikelola dengan transparan, tepat guna, berdaya guna, dan akuntabel.
Andai dikelompokkan, perbedaan visi tersebut menyangkut apa saja?
Penegakan aturan, pengelolaan keuangan, dan etika birokrasi.
Sejauh apa upaya mengkomunikasikan kebuntuan?
Komunikasi gimana? Empat tahun ini, omongan dia dan saya di luar rapat, kalau direkam, durasinya tidak lebih panjang daripada lagu Bengawan Solo.
Lebaran juga enggak bicara?
Yo minal aidin wal faizin. Sudah.
Telepon-teleponan?
Paling ajudan. Kalau ada missed call dari saya, enggak pernah dibalas.
Lo, kalau tidak pernah bicara, siapa yang merumuskan kontrak politik saat paket pencalonan Foke-Prijanto?
Fauzi Bowo Center. Saya ini fungsinya cuma perekat.
Wah, jadi Anda hanya duduk, tidak bekerja apa-apa?
Tentu saja tidak. Saya punya tanggung jawab untuk bekerja. Kanal banjir timur tembus itu (pembebasan lahannya) sama saya. Setelah tembus, masuk di National Geographic. Tapi, sejak awal sampai akhir, apa ada nama Wakil Gubernur (di tulisan National Geographic)? Ora ono (tidak ada)!
Tapi kan Anda berdua dipilih dalam satu paket?
Partner pemilihan kepala daerah satu paket harus sampai tuntas itu cuma pepesan kosong.
Jadi, ada rivalitas di antara Anda berdua?
Dulu, baru dua-tiga bulan kami menjabat, ada media yang menulis, "Prijanto calon gubernur dari PDI Perjuangan Jakarta" dan "Prijanto akan mendongkel kepemimpinan Foke." Gila ini. Kalau di tentara, enggak ada yang seperti ini. Maka saya menghadap beliau. "Pak, jangan risau dengan berita-berita itu. Saya ini tentara profesional. Saya tahu pemilik kewenangan, kebijakan, dan tanggung jawab itu Bapak. Saya ini pembantu Bapak."
Tapi kami dengar Anda mundur karena ingin maju sendiri dalam pemilihan gubernur tahun ini?
Saya mundur tidak ada kaitannya dengan pemilihan kepala daerah 2012. Saya punya prinsip jabatan itu amanah atau kepercayaan yang diberikan, bukan kepercayaan yang diminta atau direbut. Saya tidak haus jabatan, tapi haus berbuat kebajikan, apalagi usia sudah senja.
Keputusan Anda mundur itu untuk kepentingan pribadi atau ini akan membuat Jakarta lebih baik?
Saya nyambut gawe (bekerja) untuk masyarakat, jadi mundur untuk masyarakat. Masyarakat yang mengirim saya untuk bekerja.
Ngomong-ngomong, Anda butuh berapa kali tahajud untuk memutuskan mundur?
Saya hampir setiap malam dibangunkan Allah untuk mendoakan agar masyarakat Jakarta jauh dari bencana, gempa bumi, banjir, bencana buatan, keributan, kebakaran.
Menjelang mundur, Anda menulis buku Andaikan Aku atau Anda Gubernur Kepala Daerah. Apa poin dari buku Anda itu?
Buku ini isinya biasa saja, ada informasinya, ada kajian, ajakan dalam hal kepemimpinan, moral, etika, penegakan hukum, pengelolaan uang rakyat, dan konsepsi membangun daerah. Kalau saya mengajak dalam hidup ini jangan melakukan korupsi, yang melakukan korupsi tentu merasa dikritik. Tapi, bagi yang tidak melakukan korupsi, ya bukan kritik. Tergantung yang membacanya. Tidak perlu tersinggung dan sakit hati. Kalau benar ya ikuti, tidak setuju ya silakan.
Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Prijanto Tempat, tanggal lahir: Ngawi, 26 Mei 1951 Pendidikan: Akabri (1972-1975) l Seskoad (1990) l Sesko ABRI (1997) l Lemhannas (2006) Karier: Komandan Detasemen Markas l Mabes Angkatan Darat (2002) l Komandan Garnisun Tetap Jakarta (2003) l Kepala Staf Kodam Jaya (2005) l Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (2006) l Wakil Gubernur DKI Jakarta (2007-2012) Penghargaan: Satya Lencana Kesetiaan VIII l Satya Lencana Kesetiaan XVI l Satya Lencana Kesetiaan XXII l BY Kepnarya l BY Yudha Dharma Nararya l Satya Lencana Dwijasista Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 24 Maret 2014 Nostalgia 'Ratu Dunia'Fatwa pada Sesisir Pisang<font face=arial size=2 color=#ff9900>Prijanto:</font><br />Pejabat yang Sudah Tak Dapat Berbuat Apa-apa Sebaiknya Mundur<font face=arial size=2 color=#ff9900>Dian Pelangi</font><br />Warnai Paris<font face=arial size=2 color=#ff9900>Niniek L. Karim</font><br />Warnai Ciliwung PODCAST REKOMENDASI TEMPO wawancara Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |