Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=brown>Riyad al-Maliki:</font><br />Kami Harus Bekerja Keras Sampai September

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih lekat di benak Riyad al-Maliki kata-kata anaknya tatkala baru menginjakkan kaki di Dublin, Irlandia, untuk meneruskan pendidikan. Pada hari pertama di Dublin, sang putra menelepon. "Untuk pertama kalinya saya menemukan arti kebebasan. Saya bisa berjalan kapan pun dengan leluasa. Tak ada seorang pun yang menghentikan saya. Saya tak perlu membawa-bawa paspor," Menteri Luar Negeri Palestina itu menirukan kata-kata anaknya, yang kini berada di tahun kedua di Dublin.

Hidup di bumi Palestina yang diduduki Israel memang tak mengenal kata merdeka. "Hidup di bawah pendudukan berarti kami harus berhati-hati ke mana kami mau pergi, apa yang kami lakukan, dan jam berapa tiba di rumah," kata Riyad al-Maliki.

Di Tepi Barat, warga Palestina harus membawa kartu identitas Israel karena ada "jebakan" ratusan pos pengawasan, yang mengharuskan mereka menunjukkan kartu itu. Selalu ada ketidakpastian apakah perjalanan mereka akan tertunda atau bahkan tertahan di pos pengawasan.

Demi kebebasan itu, para pemimpin dan rakyat Palestina berjuang keras, baik lewat jalur perundingan maupun dengan bedil dan peluru kendali Qassam yang primitif. "Kami harus mengakhiri pendudukan Israel agar rakyat Palestina bisa menikmati kemerdekaan seperti dinikmati orang lain," ujar Maliki. Cita-cita telah dipatok: rakyat Palestina hidup bebas di negeri Palestina yang merdeka, berdasar perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

Jalan perundingan damai telah lama ditempuh. Hanya, titik terang di ujung terowongan belum kunjung terlihat. Tahun lalu perundingan terhenti karena Israel tak mempedulikan seruan internasional untuk menghentikan pembangunan permukiman di tanah pendudukan. Hingga kini pembangunan permukiman terus berlanjut. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu beberapa pekan lalu bahkan menegaskan tidak akan kembali ke perbatasan 1967.

Menghadapi sikap keras kepala Israel, Palestina menempuh upaya lain: meminta pengakuan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September mendatang. Palestina juga mengajukan diri untuk menjadi anggota penuh di PBB. "Israel yang memaksa kami menempuh jalan itu," kata Maliki.

Palestina pun sigap menggalang dukungan dari berbagai forum internasional, termasuk Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non-Blok yang digelar di Bali, dua pekan lalu. Di sela konferensi di Pulau Dewata itu Riyad al-Maliki meluangkan waktu untuk Purwani Diyah Prabandari dari Tempo. Dengan lugas dia menjelaskan berbagai upaya diplomasi yang ditempuh untuk menyiasati kebuntuan perundingan dengan Israel.

Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non-Blok memutuskan dukungan terhadap Palestina. Anda puas dengan hasil ini?

Tujuan kami saat ini adalah mendapatkan dukungan dari seluruh negara di dunia, untuk persiapan menghadapi September mendatang di New York (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Untuk membantu kami mencapai cita-cita pengakuan negara Palestina dan kemudian diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Apakah saya senang? Saya melayang, saya berjingkrak. Jika saya mengucapkan terima kasih seratus kali pun itu tetap belum cukup bagi penyelenggara, terutama Indonesia dan Mesir, yang memimpin konferensi.

Tapi masih ada negara anggota Gerakan Non-Blok yang tidak mengakui negara Palestina?

Kalau kita melihat 120 negara di Gerakan Non-Blok, sekitar 30 negara masih belum mengakui negara Palestina. Tapi telah disetujui dalam pertemuan, untuk bekerja sama mendorong negara-negara lain anggota Gerakan Non-Blok untuk mengakui negara Palestina. Seperti diketahui, di Gerakan Non-Blok ada Komite Palestina. Dalam pertemuan komite tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menawarkan ide bahwa kita harus membuat rencana aksi dari sekarang hingga September. Kita harus benar-benar mencoba mengarahkan negara-negara anggota, bahkan juga yang bukan anggota Gerakan Non-Blok, untuk mengakui negara Palestina.

Ada pula pembicaraan khusus tentang tahanan politik Palestina.

Ya, ada nilai tambah, yakni dialokasikannya waktu untuk sesi khusus yang mendiskusikan masalah tahanan politik Palestina di penjara-penjara Israel. Ini sangat penting karena belum pernah terjadi. Ini menggambarkan bahwa isu Palestina menjadi kepentingan integral setiap negara di Gerakan Non-Blok.

Berapa negara yang kini telah mengakui Palestina?

Kami telah diakui oleh 116 negara. Tapi kami juga memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara yang tidak mengakui negara Palestina. Misalnya, kami memiliki delegasi di Australia meski Australia tidak mengakui negara Palestina. Begitu juga dengan Singapura. Kami juga memiliki misi di Jepang dan Korea Selatan. Dengan Thailand, kami belum memiliki hubungan, dan sekarang kami sedang mengupayakannya. Ada negara yang memiliki hubungan diplomatik tapi tidak penuh, yang hendak ditingkatkan ke level duta besar, dan mengakui negara Palestina. Banyak negara di Eropa seperti itu.

Berapa dukungan yang dibutuhkan di sidang PBB?

Kalau kami hadir di PBB pada September mendatang, kami perlu dukungan setidaknya dua pertiga negara dari seluruh anggota, yakni 129 negara. Artinya, kami masih harus bekerja keras dari sekarang sampai September.

Apakah langkah ke sidang PBB pada September mendatang merupakan satu-satunya pilihan bagi Palestina?

Apa yang dikatakan Presiden Mahmud Abbas sangat jelas. Dia mengatakan kami lebih suka mencapai kesepakatan damai dengan Israel melalui negosiasi. Negosiasi adalah prioritas pertama, kedua, dan ketiga kami. Tapi, kami katakan, rujukan perundingan harus berdasar pada negara Palestina dengan perbatasan 1967. Kami juga membicarakan solusi dua negara: Israel dan Palestina, dengan sedikit pertukaran wilayah. Dan Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara Palestina. Kami juga meminta, ketika mulai negosiasi, Israel harus menahan diri tidak melakukan tindakan unilateral, termasuk pembangunan permukiman.

Bagaimana kemungkinan berlanjutnya perundingan damai?

Sekarang, untuk pertama kalinya, Presiden Barack Obama mengatakan, oke kerangka acuannya perbatasan 1967. Kami katakan oke. Sempurna. Tapi, untuk mengimplementasikannya, kami perlu dua hal. Pertama, kami perlu Israel mengatakan "ya, kami akan berunding dengan dasar perbatasan 1967". Tapi Israel mengatakan "tidak". Kedua, kami perlu peta yang jelas dari sekarang sampai September, bagaimana kami akan mencapai kesepakatan.

Dalam setiap perundingan, Yerusalem selalu menjadi salah satu pengganjal utama karena Palestina dan Israel sama-sama menginginkannya menjadi ibu kota. Apakah isu Yerusalem ini tetap akan sulit dicari solusinya?

Tidak sulit. Seluruh resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB jelas menyatakan Yerusalem Timur adalah bagian dari tanah pendudukan Palestina. Sampai saat ini, tak ada satu negara pun yang mengakui Yerusalem menjadi ibu kota negara Israel. Semua negara, termasuk Amerika, menganggap Yerusalem Timur adalah bagian dari tanah pendudukan Palestina.

Tapi Israel terus berusaha menguasai Yerusalem Timur?

Netanyahu mencoba bermain di Yerusalem Timur. Dia mengubah kota dan membuatnya menjadi susah diubah kembali, dalam arti akan lebih sulit dalam proses negosiasi. Tapi, pada akhirnya, apa yang menjadi milik kami adalah milik kami. Apa yang menjadi milik mereka adalah milik mereka. Obama telah mengatakan Palestina berdasar perbatasan 1967, dan Yerusalem Timur merupakan bagian dari perbatasan 1967. Dia bukan hanya membuat kerangka acuan masalah perbatasan negara Palestina, tapi juga khususnya masalah Yerusalem. Bagaimanapun, ini tak akan mudah. Israel akan sangat keras kalau sudah bicara tentang masalah Yerusalem Timur.

Israel bahkan sudah menggerogoti sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa.

Benar. Dan itu masih terus berlanjut. Yerusalem bukan hanya ibu kota Palestina, tapi juga memiliki kepentingan agama bagi umat muslim dan Nasrani. Dalam kasus ini, kami mengharapkan negara-negara Islam berdiri di belakang warga Yerusalem yang berteriak minta tolong.

Apa maksud Anda?

Kita menyaksikan komunitas Yahudi di seluruh dunia menyumbang miliaran dolar agar Israel bisa mengimplementasikan kebijakan men-Yahudi-kan Kota Yerusalem dengan mengubah karakternya, menggusur rumah-rumah dan bangunan rakyat Palestina menjadi permukiman atau bagian dari bangunan arkeologis Yahudi.

Sedangkan kami, rakyat Palestina, melihat sekeliling dan berkata: "Oh..., kami tak punya masalah. Kami punya saudara-saudara Arab. Mereka sangat kaya. Kami memiliki 57 negara muslim. Saat kami menangis minta tolong, semuanya akan segera berbaris membantu."

Sayangnya, kami harus kecewa. Saya ingat pada pertemuan tingkat tinggi Organisasi Konferensi Islam 15 tahun lalu, mereka memutuskan akan meminta US$ 1 dari setiap muslim di seluruh dunia. Hingga kini kami masih menunggu dolar-dolar tersebut terkumpulkan.

Selain masalah Yerusalem, hak kembalinya pengungsi Palestina selalu menjadi isu alot...

Kami tak minta semua pengungsi kembali. Karena kami telah mengubah acuan negosiasi dengan perbatasan 1967, kami tak bisa minta lebih lagi. Tapi kami memiliki resolusi PBB Nomor 194 (tahun 1948), yang menyerukan kembalinya para pengungsi dan adanya kompensasi. Isu pengungsi adalah satu dari enam isu inti yang harus diselesaikan demi tercapainya kesepakatan damai antara Palestina dan Israel.

Al-Jazeera pernah mempublikasikan bocoran dokumen negosiasi yang menyebut kesediaan Palestina menyerahkan sebagian Yerusalem Timur....

Saya lebih suka tak berkomentar karena itu penuh spekulasi. Pertama, Al-Jazeera menyampaikan dokumen dengan tidak fair. Mereka menyeleksi kata dan kalimat dan membuat impresi yang berbeda. Kedua, ketika berada di proses negosiasi, kami menggunakan taktik negosiasi yang berbeda-beda. Yang penting teks akhir yang saya tanda tangani. Jangan hakimi saya soal taktik negosiasi saya.

Tapi bagaimana dengan substansi bocoran dokumen itu?

Ketika disebutkan kami mengatakan sekitar 50 persen Yerusalem sebagai pertukaran, ini tidak masuk akal. Tak seorang pun berani, meskipun hanya dalam mimpi.

Kenapa Palestina terkesan lebih menggunakan isu agama untuk mendapat dukungan?

Jika kita bicara tentang Palestina, kami tidak akan mendirikan sebuah negara Islam. Kami sangat sekuler. Kami memisahkan agama dan negara. Meski ada fakta bahwa ada Hamas di antara kami. Kami telah melihat Islam moderat seperti di Indonesia, Malaysia, juga Turki. Kami juga telah melihat tipe Islam lain seperti di Iran. Kami akan kembangkan sistem kami sendiri.

Apakah bersatunya Hamas dan Fatah akan mempengaruhi proses perundingan

Hamas adalah bagian integral rakyat Palestina. Kami mencoba membawa mereka untuk menjadi bagian dari politik mainstream Palestina. Itulah kenapa Presiden Mahmud Abbas setuju mengakhiri perpecahan dan bersama menuju proses rekonsiliasi.
Kami melakukannya untuk kepentingan kami, bukan untuk kepentingan Israel atau Amerika. Banyak negara, termasuk Uni Eropa, menyatakan akan memberi kesempatan.

Riyad al-Maliki
Lahir: 1955

Karier:

  • Menteri Luar Negeri Palestina (2009-sekarang)
  • Menteri Luar Negeri dan Menteri Penerangan (2007-2009)
  • Anggota Dewan Legislatif Palestina (2006-sekarang)

    Penghargaan:

  • Italian Peace Prize (2005)
  • European Peace Prize (2000)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus