Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#CC0000>Nawal el-Saadawi:</font><br />Saya Tak Takut kepada Al-Ikhwan

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senin pagi minggu lalu Tempo meneleponnya, tapi tak ada yang mengangkat di ujung sana. Mungkin dia sedang tidak di rumah. Yang sudah pasti, tak mungkin rasanya Dr. Nawal el-Saadawi, dokter medis, sastrawan, dan juga feminis yang sejumlah bukunya, termasuk Perempuan di Titik Nol, telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, meninggalkan Mesir. Dia adalah pejuang yang tangguh dan oposan tulen, hingga tak mungkin pergi ketika Mesir bergolak menuntut turunnya Presiden Husni Mubarak.

Berdasarkan keyakinan itulah Tempo mengunjungi rumahnya di seberang Nil, sebuah apartemen dua kamar di kawasan Shubra Garden. ”Lantai 25, tepat di samping lift,” kata seorang kakek yang menjaga pintu gedung tua tempatnya tinggal. Setelah memencet bel, muncul perempuan berambut perak. Dialah Dukturah (dokter perempuan) Nawal. ”Apakah kita sudah punya janji untuk bertemu?” tanya perempuan berusia 79 tahun ini, setelah Tempo memperkenalkan diri. Saya menggeleng. Dia tertawa keras. ”Nekat sekali kamu datang tanpa janjian dulu. Silakan duduk,” katanya sambil menyeret kursi mendekat ke meja kerjanya.

Di sana sudah ada seorang wartawati Newsweek yang sedang mewawancarainya. ”Nimbrung saja, saya tak punya banyak waktu,” katanya. Wartawati itu tersenyum dan tak keberatan. Kepada Qaris Tajudin, wartawan Tempo, Nawal berbicara tentang revolusi, sikap menindas Suzanne Mubarak, sampai encok yang terus kumat pada musim dingin.

Bagaimana perasaan Anda melihat demonstrasi di Midan Tahrir, Dukturah?

Great! Saya seperti terlahir kembali. Revolusi seperti ini, melihat orang memperjuangkan pendapatnya, adalah mimpi saya sejak masa kecil. Ini adalah hari saya. Seperti berusia 20 tahun, saya tak capek sama sekali. Biasanya saya gampang lelah, tapi sekarang saya bisa sepuluh jam lebih di Tahrir. Berteriak, berdiskusi, saya tak pernah berhenti bicara di sana.

Apa yang membuat Anda begitu bersemangat?

Karena sepanjang hidup saya berada dalam represi. Tekanan sebagai penulis, sebagai dokter, sebagai perempuan, sebagai manusia. Sejak Raja Farouq hingga sekarang.

Anda mendapat tekanan juga pada masa Sadat?

Ya, di akhir pemerintahan Sadat, pada 1981, saya sempat dipenjara selama tiga bulan. Kau baca kan catatan saya dari penjara (Memoirs from Women’s Prison, 1983)? Saya bebas setelah Sadat terbunuh.

Jadi Anda dibebaskan oleh Mubarak?

Ya dan tidak. Dia memang menge­luarkan saya dari penjara, tapi dia memasukkan saya dalam pengasingan. Dia mengasingkan saya di rumah saya sendiri. Bukan tahanan rumah, hanya diasingkan dari kehidupan intelektual.

Apa yang membuat Mubarak tak senang kepada Anda?

Itu dimulai pada awal pemerintahannya. Saat saya bertemu dengan Mubarak di rumahnya pada 1981, tak lama setelah saya dibebaskan dari penjara, dia bilang: ”Anda sekarang bebas.” Saya bilang, ”Ya, tapi bagaimana dengan kejahatan yang ditimpakan kepada saya dalam penjara yang amat buruk selama tiga bulan?” Maka saya berkata lagi ke Mubarak: ”Tidak, tidak bisa begitu saja. Saya akan mengajukan tuntutan kepada Anda karena sekarang Anwar Sadat sudah meninggal. Saya membawa Anda dan pemerintah ke pengadilan karena Anda harus memberikan kompensasi—baik material maupun nonmaterial—atas penahanan saya selama tiga bulan di penjara, termasuk atas pembunuhan karakter saya.” Sadat melakukan propaganda lewat media bahwa kami adalah pengkhianat bangsa. Saya akhirnya memang mengajukan tuntutan itu terhadap Mubarak, dan dia marah besar karena hal itu. Dan saya menang dalam kasus itu. Saya meminta sejuta pound Mesir, tapi pengadilan hanya mengabulkan 2.000 pound. Ha-ha-ha....

Apa akibat kemarahan Mubarak itu terhadap Anda kemudian? Apakah dia memenjarakan Anda lagi?

Tidak, tapi selama 30 tahun kepemimpinan Mubarak, saya dikeluarkan dari kehidupan intelektual. Dan istrinya, Suzanne Mubarak, melarang semua organisasi yang saya dirikan bersama teman-teman. Egyptian Women Union dia stop dengan kekuasaan yang dia miliki.

Secara ideologis, apa perbedaan Anda dengan Mubarak?

Tentang ketidaksetujuan saya pada kapitalisme. Jangan mau didominasi oleh Amerika atau Israel. Mesir harus independen secara ekonomi, sosial, politik, dan moral. Jangan menerima bantuan ekonomi dari Amerika. Yang harus ada itu perdagangan yang adil, bukan bantuan. Bantuan ekonomi itu adalah penghinaan kepada kami. Itu dari sekian banyak hal yang kami diskusikan di Tahrir. Anda ikut ke Tahrir bersama saya, kan?

l l l

Kami pergi dengan taksi menuju Tahrir. Nawal menyuruh Tempo yang lebih dulu duduk di samping sopir untuk pindah ke belakang. ”Saya harus duduk di depan, karena punggung saya sering sakit kalau duduk terlalu rendah di kursi belakang,” katanya. Selain soal encok, Nawal sebenarnya punya ”misi” khusus memilih duduk di depan. Tak lama setelah roda taksi menggelinding di jalan raya, Nawal mulai bertanya kepada sopir taksi tentang revolusi di Tahrir. Sopir taksi, yang sepertinya pro-Mubarak, menjawab dengan hati-hati. Katanya, ada yang ia setujui dan ada yang tidak dari demonstrasi itu.

Mendengar jawaban tersebut, Nawal pun melancarkan orasinya. Ia menceramahi si sopir tentang revolusi, kapitalisme, dan perjuangan kebebasan. ”Dia terlalu banyak menonton televisi Mesir, sehingga pikirannya dicuci,” kata Nawal kepada Tempo dengan bahasa Inggris agar tak dimengerti sopir. Nawal adalah jago debat. Belum setengah perjalanan, saat taksi terjebak macet, sopir itu sudah berubah pikiran. Ia bahkan minta Nawal menyampaikan tuntutannya tentang perbaikan nasib sopir taksi kepada massa di Tahrir. Dengan telaten Nawal mencatat satu per satu tuntutan itu.0

Apa pendapat Anda tentang demonstrasi yang terus berlangsung?

Ini adalah mimpi, tapi pada saat yang sama revolusi ini adalah nyata. Saya tak setuju ketika media massa mengatakan apa yang terjadi saat ini adalah krisis. Mereka menulis besar-besar: ”Krisis di Mesir.” Sama sekali ini bukan hal yang buruk. Sebaliknya ini adalah revolusi yang didamba.

Apakah Anda juga menuntut Mubarak keluar dari Mesir?

Sejak awal, pada 25 Januari, kami semua berteriak Mubarak harus pergi. Dari pucuk pimpinan sampai ke akar-akarnya. Tak ada kompromi. Mereka harus meninggalkan negeri ini. Kami tak peduli dengan pemerintah baru yang dipimpin Perdana Menteri Ahmed Shafiq dan komando di bawah kendali Wakil Presiden Umar Sulaiman. Mereka amat jauh dari anak-anak muda di Tahrir.

Bukankah sekarang sudah ada anak-anak muda yang bertemu dengan Wakil Presiden dan Perdana Menteri untuk berdialog?

Siapa anak-anak muda itu? Mereka adalah bagian dari partai politik. Mereka bukanlah bagian dari revolusi. Triknya begini, Wakil Presiden Umar Sulaiman dan Perdana Menteri Ahmed Shafiq berdialog dengan sekelompok orang yang mereka pilih sendiri, lalu mereka bisa bilang ke media massa, ”Kami sudah bertemu dengan anak-anak muda”. Padahal mereka adalah politikus profesional junior, oportunis, mereka mengkhianati revolusi, mengendap-endap di belakang kami untuk bertemu dengan pemerintah baru Mubarak.

Anda tak percaya pemerintah baru ini bisa menjadi pemerintahan transisi?

Bagaimana kami bisa menerima pemerintah yang ditunjuk juga oleh Mubarak? Kalaupun ada pemerintah baru, pemerintah sementara itu harus dipilih oleh rakyat.

Jadi, apa tuntutan pada masa transisi?

Mubarak harus turun, pemerintahnya dibubarkan, konstitusi baru dibuat, dan anak-anak muda itu membentuk majelis revolusi yang akan membuat konstitusi baru, memilih orang tepercaya yang memegang kendali dalam masa transisi.

Siapa yang akan menjadi presiden setelah Mubarak?

Biarkan anak-anak muda itu yang memutuskan.

Ada yang bilang mantan Menteri Luar Negeri Amir Musa atau penerima hadiah Nobel Perdamaian Mohammed el-Baradei?

Amir Musa itu orangnya Mubarak. Tak ada orang yang bisa menerima kehadiran kembali orang-orangnya Mubarak. Baradei, meski dia bukan orangnya Mubarak, hanya didukung oleh kelompok minoritas. Isu yang dibawa oleh mereka berdua, dan juga politikus senior, jauh dari isu yang diinginkan oleh anak-anak muda itu.

Lalu siapa alternatifnya?

Ada sejumlah aktivis politik marginal yang tidak menerima dialog, dan mereka bergabung dengan kami di Tahrir. Saya tak akan menyebut nama. Jika kami sebut sekarang, mereka akan ditangkap, dan revolusi selesai.

l l l

Sopir taksi menurunkan kami di depan patung Talaat Harb, masih beberapa ratus meter dari mulut Midan Tahrir. ”Tolong, bawakan tas saya, ini terlalu berat untuk dibawa berjalan jauh,” kata Nawal kepada Tempo. Di dalam tas hitam itu ada beberapa buku, tisu, dan sebotol air mineral. Meski terbungkuk-bungkuk dan menyandarkan tangannya ke lengan Tempo, Nawal berjalan dengan semangat melewati barikade yang dipasang para pemuda. Setiap sepuluh meter, dia dicegat orang dan diajak berdialog. Dan kembali, dengan telaten dia mencatat semua tuntutan itu.

Setelah berkeliling sebentar, dia mulai merasa lelah. ”Saya harus ­mencari tenda tempat teman-teman saya tinggal,” katanya. Tempo menawarinya teh panas, tapi dia menolak. Dia mengatakan, tenda itu kemarin ada di depan patung revolusioner penentang penjajahan Prancis, Umar Makram, tapi kini tak ada lagi. Pada saat kami berkeliling mencari tenda itu, seorang pria berjenggot dan bertopi haji mengusirnya. ”Keluar kamu, keluar!” Dia adalah anggota kelompok Islam garis keras yang tak setuju dengan pemikiran-pemikiran Nawal.

Orang lain yang melihat itu justru memarahi pria berjenggot tersebut. Mereka melindungi Nawal, tapi perempuan berambut perak itu justru berkata, ”Biarkan, saya ingin bicara dengannya. Mari kita berdialog, Anakku.” Keduanya lalu terlibat perdebatan seru. Tapi, karena pria itu mulai emosional, orang-orang menariknya menjauh dari Nawal. ”Ini adalah tempat menentang rezim. Jika ada yang ingin menentang kemerdekaan, cari tempat lain,” kata seorang pria tinggi di belakang Nawal.

Pemimpin Iran, Ayatullah Ali Khamenei, mengatakan bahwa yang terjadi sekarang adalah revolusi Islam di Mesir....

Apa yang terjadi di Tahrir adalah spontanitas rakyat, sama sekali bukan karena pengaruh dari kelompok Islam seperti Al-Ikhwan atau komunis, kanan atau kiri. Ini adalah pemberontakan yang dilakukan oleh anak muda Mesir pada umumnya yang berpendidikan dan sadar.

Bagaimana dengan Ikhwanul Muslimin?

Al-Ikhwan itu minoritas dalam revolusi ini. Mereka juga tidak memulai revolusi ini. Di Tahrir, tak ada satu pun slogan Islam diteriakkan. Saya tak pernah mendengar orang berkata ”Islam adalah solusi” di Tahrir. Saya bertemu dengan beberapa anggota Al-Ikhwan di Mi­dan Tahrir. Mereka berkata, ”Kami ti­dak setuju dengan sejumlah pendapat Anda, tapi kami menghormati Anda. Kita harus memiliki pandangan yang sama.” Anda lihat, generasi muda dari Al-Ikhwan percaya pada konstitusi sekuler dan kesetaraan antara pria dan wanita, kesetaraan antara muslim dan Kristen.

Banyak yang khawatir akan naiknya Al-Ikhwan setelah Mubarak jatuh, kok Anda tidak?

Saya tak takut kepada Al-Ikhwan. Amerika Serikat, Israel, dan rezim Mubaraklah yang mencoba menakut-nakuti kami dengan Al-Ikhwan.

Anda sepertinya akrab dengan orang-orang Ikhwanul Muslimin?

Sebelum 25 Januari, banyak pemuda atau pemudi datang ke rumah saya dalam Forum Nawal el-Saadawi. Jadi saya sudah berhubungan dengan anak-anak muda itu. Mereka kini semua bertemu di Midan Tahrir. Revolusi ini menyatukan rakyat. Bahkan pria dan wanita dari Al-Ikhwan berkata, ”Kinilah saatnya pria dan wanita berdiri sejajar, Kristen dan muslim harus bersatu, kita harus memiliki konstitusi yang sekuler.”

l l l

Tak lama kemudian seorang rekan Nawal menjemput. Ia membawa penulis sepuh itu ke tenda yang dipenuhi orang. Sebagian besar perempuan. Seorang pemuda menawarinya kopi kotak, tapi dia menolak. Baginya, secangkir teh manis pada pagi hari sudah cukup. Nawal lalu berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang kesetaraan antara pria dan wanita dalam konstitusi baru nanti.

Demonstrasi di Tahrir belum berhasil menurunkan Mubarak. Apa efeknya sejauh ini di masyarakat?

Revolusi ini telah mengubah sistem nilai yang ada di masyarakat. Kami akan memiliki kontrak sosial seperti yang dimiliki Revolusi Prancis. Undang-undang pernikahan akan dibuat dengan sistem sekuler. Tak ada lagi undang-undang pernikahan khusus untuk Kristen dan muslim yang terpisah. Dengan demikian, poligami akan selesai. Tak ada lagi suami yang bisa menceraikan istrinya secara sepihak, seperti yang diperbolehkan dalam aturan saat ini yang berdasarkan syariah.

Perubahan apa yang terjadi dalam revolusi ini dan berdampak pada perempuan?

Pertama, secara mental dan politik, revolusi ini telah membuat perempuan merdeka. Ada harapan di sana. Pemerintah Mubarak membuat perempuan tak terorganisasi, maka setelah revolusi ini perempuan akan terorganisasi. Bagi saya pribadi, revolusi ini telah mengeluarkan saya dari pengasingan di rumah sendiri.

Nawal el-Saadawi

Tempat dan tanggal lahir: Kafr Tahla, Mesir, 27 Oktober 1931

Pendidikan:

  • Universitas Kairo (kedokteran), 1955
  • Universitas Columbia, New York (kesehatan publik), 1966
  • Universitas Ain Shams, Kairo (psikiatri), 1974

    Pekerjaan: Dokter, penulis, dan pengajar.

    Sebagian karyanya:

  • Saya Belajar Cinta (kumpulan cerita pendek)
  • Memoir Dokter Perempuan
  • Wajah Tersembunyi Hawa: Perempuan di Dunia Arab
  • Perempuan di Titik Nol
  • Matinya Seorang Mantan Menteri
  • Memoir dari Penjara Perempuan
  • Jatuhnya Sang Imam
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus