Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<Font size=2 color=#CC0033>Farouk Muhammad: </font><br />Jangan Anggap Semua Polisi Satu Komando

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 1 April 1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia berpisah dengan Tentara Nasional Indonesia. Pemisahan itu kemudian diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kini, lebih dari sepuluh tahun setelah reformasi, Polri malah terantuk kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan oleh pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Tim 8, yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memeriksa proses penanganan kasus itu, berkesimpulan, sebetulnya polisi tidak punya cukup bukti. Rekaman hasil penyadapan oleh KPK juga mengindikasikan ada yang "bermain-main" dengan kasus itu.

Sebagai orang yang turut merumuskan reformasi kepolisian, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Farouk Muhammad, 60 tahun, turut merasa terpojok. Menurut guru besar pertama di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu, reformasi di tubuh kepolisian memang belum tuntas. "Sebagian kecil ada yang cenderung menyalahgunakan wewenang," katanya.

Jumat dua pekan lalu, Farouk menuturkan kepada Tempo berbagai hal terkait reformasi kepolisian di kantornya, di Gedung Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta.

Setelah hampir sepuluh tahun reformasi, Polri terantuk kasus KPK. Bagaimana?

Saya melihat kasus ini tidak mengada-ada. Polisi punya alasan dan pertimbangan. Tapi apakah polisi mempunyai bukti permulaan yang cukup? Ada yang menilai polisi belum punya bukti memadai, sementara polisi yakin punya cukup bukti. Yang terpublikasikan kemudian seolah-olah proses menjadikan kedua pemimpin KPK sebagai tersangka itu mengada-ada. Saya menduga sebenarnya tidak ada korelasi signifikan antara salah atau benarnya Bibit-Chandra dan opini publik.

Lalu apa persoalannya?

Saya melihat masalah ini lebih ke soal persepsi publik terhadap polisi dan kejaksaan. Mungkin mereka pernah menerima perlakuan tidak adil, atau keluarganya pernah dizalimi polisi atau jaksa.

Dengan begitu mudahnya publik percaya tindakan negatif polisi, apa berarti kepercayaan masyarakat ke polisi memang masih rendah?

Sebetulnya, yang kurang adalah kepercayaan masyarakat terhadap penanganan kasus pidana, dari penyelidikan hingga penyidikan. Karena itu banyak menyangkut rasa keadilan, semua kebaikan polisi seolah-olah gampang terhapus. Lalu apa kita menyalahkan publik? Kan tidak bisa?

Bagaimana polisi mesti merebut kembali kepercayaan itu?

Di satu sisi, polisi kan ingin membuktikan bahwa mereka benar dengan membawa kasus itu ke pengadilan? Bukan cuma penyidiknya, bahkan hingga Kepala Polri menyatakan, "Beri kami waktu untuk membuktikan." Sikap itu didukung kejaksaan. Di pihak lain, Tim 8 merekomendasikan supaya kasus ini dihentikan penyidikannya, atau jaksa menghentikan penuntutannya, atau kalau perlu dideponir. Polisi menolak, dengan alasan penghentian kasus ini bakal menjadi preseden. Hukum seolah-olah dikorbankan karena tekanan publik.

Apa mungkin pengadilan bisa menjadi solusi?

Polisi berpendapat, biar pengadilan yang memutuskan. Persoalannya, kasus ini mempertaruhkan kepercayaan publik. Bagaimana risikonya jika di pengadilan ternyata kasus tersebut tak terbukti, baik bagi penyidiknya, Kepala Badan Reserse Kriminal, maupun Kepala Polri? Mereka harus bertanggung jawab. Kalaupun pengadilan memenangkan jaksa dan polisi, publik bisa saja tidak mau tahu. Mereka akan tetap beranggapan, "Wah, ada main nih hakimnya." Menurut saya, jalan terbaik, Presiden bisa mengimbau Jaksa Agung supaya kasus ini dideponir demi kepentingan umum. Itu bukan bentuk intervensi, dan bukan lagi soal siapa yang salah atau benar.

Kalau dideponir, bukankah kebenaran kasus ini akan terkubur?

Ya, tapi biasanya kalau suatu kasus dideponir, indikasinya kasus itu benar tapi dihentikan. Saya dari awal sudah mengingatkan Denny Indrayana (anggota staf khusus Presiden-Red.), supaya disampaikan ke Presiden, agar jangan membentuk tim pencari fakta karena bakal blunder. Kalau tim itu dibentuk, bagaimana status hasilnya? Apakah mengikat ke pengadilan? Saran saya, Presiden membentuk Komisi Kepresidenan. Amerika Serikat punya pengalaman pada masa Presiden Lyndon B. Johnson. Ketika itu, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum jatuh. Komisi ini mempelajari masalah-bukan kasus-yaitu kenapa kepercayaan masyarakat ke polisi dan jaksa jatuh.

Bukankah model tim pencari fakta ini sudah digunakan dalam beberapa kasus lain?

Dulu pernah digunakan dalam kasus pembunuhan Munir dan pelanggaran hak asasi manusia. Bukan berarti lembaga Polri mutlak tidak dipercaya. Tapi, begitu masuk kasus sensitif, dikhawatirkan polisi akan bias. Masalahnya, tidak ada dalam peradilan pidana mekanisme tim pencari fakta. Makanya, jangan bikin tim seperti ini.

Selama kasus ini bergulir, apakah pernah dimintai pendapat oleh Kepala Polri?

Tidak. Saya terakhir bertemu dengan Kapolri dan Jaksa Agung di National Summit, beberapa pekan lalu. Mereka menjamin sudah berlaku profesional dalam menangani kasus KPK.

Dalam proses penyidikan di kepolisian, apakah ada mekanisme untuk mencegah penyalahgunaan wewenang?

Sekarang sebetulnya ada pengawas penyidik. Tapi mungkin optimalisasi kerja pengawas susah juga karena mereka pengawas internal. Bukan berarti tak ada manfaatnya, tapi efektivitasnya belum kelihatan.

Dulu Anda menulis buku soal reformasi kepolisian. Apa saja prioritasnya?

Yang utama masalah pendidikan. Kemudian aspek struktural, termasuk struktur kepangkatan. Kurikulum ini kan mengubah aspek sikap dan perilaku? Yang jadi soal, sikap dan perilaku ini melibatkan banyak orang dan sudah mentradisi sekian lama. Mengubahnya pasti berat. Dalam hal pelayanan masyarakat, sikap dan perilaku polisi sudah banyak berubah. Tapi, dalam penegakan hukum, seperti kewenangan menahan orang, sebagian kecil dari mereka ada yang cenderung menyalahgunakan wewenang.

Apa kultur itu sudah berubah?

Salah satu sebab mengapa begitu berat mengubah kultur adalah semangat solidaritas yang kuat. Sisa-sisa bawaan pendidikan militeristik tidak mudah hilang. Walaupun polisi selalu mengatakan sudah berubah, sudah menjadi petugas sipil, sikap dan perilaku mereka masih menunjukkan perilaku militeristik. Salah satu buktinya adalah solidaritas internal. Makanya, dalam beberapa kasus, mereka susah melihat mana yang salah dan mana yang benar, tapi memandang siapa kami dan siapa kalian.

Gaji polisi yang kecil sering dianggap sebagai sumber masalah.

Saya pernah ditemui beberapa lulusan PTIK. Mereka bertanya, "Gaji kami cuma segini, bagaimana kami mesti bertahan hidup?" Artinya, bagaimana mereka mesti bertahan hidup tanpa menyalahgunakan wewenang. Saya berikan jalan keluar karena saya tahu negara belum mampu memberikan penghargaan yang pantas kepada polisi. Tapi bukan berarti itu pembenaran untuk memeras. Jika atas dasar prestasi kerja mereka, lantas ada orang memberikan sesuatu tanpa ikatan, ya, silakan diambil. Saya siap disalahkan untuk saran itu.

Apakah reformasi kepolisian sudah di jalur yang benar?

Secara prinsip sudah di jalan yang benar, walaupun masih ada yang perlu dikaji. Misalnya masalah kontrol atau pengawasan. Di Indonesia, Kepala Polri bertanggung jawab langsung ke presiden. Di Jepang, yang mengawasi polisi adalah Komisi Kepolisian. Komisi ini bertanggung jawab kepada perdana menteri. Di Amerika Serikat, pengawasan polisi sepenuhnya dilakukan lembaga dari luar. Lembaga ini yang menegakkan disiplin internal.

Ada yang mengusulkan polisi ditempatkan di bawah Menteri Dalam Negeri atau gubernur, bahkan bupati/wali kota. Bagaimana?

Perubahan struktur itu harus dipikirkan selangkah demi selangkah. Hermawan Sulistyo pernah mengusulkan supaya polisi ditempatkan di bawah gubernur atau bupati. Menurut saya, itu usul yang baik, tapi mungkin baru bisa terlaksana 50 tahun lagi.

Apa hambatannya?

Otonomi daerah kan belum benar-benar mapan? Di mana letak otonomi itu, apakah di daerah tingkat dua atau tingkat satu? Kalau ditaruh kewenangan mengontrol polisi di situ, apa tidak malah semakin semrawut? Bertahaplah. Mungkin saja di tingkat nasional bisa diadopsi konsep Jepang, yakni Kepala Polri berada di bawah Komisi Kepolisian yang bertanggung jawab kepada presiden.

Sampai sekarang, struktur "komando" Polri di daerah masih mirip militer. Apakah kepolisian daerah atau kepolisian resor sudah lebih otonom atau tetap sentralistik?

Dalam hal pembinaan personel dan logistik, sebagian sudah didesentralisasi ke polda dan polres, walaupun belum tuntas. Masih ada unsur sentralistiknya. Sebagian besar masih tergantung ke Kapolri. Dengan sekian ratus ribu anggota Polri, ribuan polsek, sekian ratus polres, dan puluhan polda, mekanisme kontrolnya berpuncak ke Kapolri. Kalau publik hendak melakukan pengawasan kepolisian, mekanismenya lewat praperadilan bila terkait kasus penegakan hukum.

Bukankah ada pengawasan internal (Inspektorat Pengawasan Umum)?

Boleh saja masyarakat membuat pengaduan bila merasa dirugikan polisi, tapi penyelesaiannya selalu kembali ke mekanisme internal kepolisian. Laporannya pun diserahkan ke atasan. Publik tak bisa ikut bersama-sama menyelesaikan masalah. Presiden mengawasi Polri itu juga nonsens. Sedangkan Komisi Kepolisian Nasional itu banci. Ia bukan lembaga pengawas, tidak juga lembaga advisory. Kalau perlu, Undang-Undang Kepolisian diamendemen.

Apakah perubahan kurikulum pendidikan Polri sudah tuntas?

Kurikulum sebenarnya sudah mencerminkan wajah kepolisian sebagai petugas sipil. Tinggal menyesuaikannya dengan dinamika kekinian. Sudah banyak inovasi dalam kurikulum. Untuk struktur pendidikan polisi, saya mengusulkan tidak lagi menerima lulusan SMA. PTIK mengusulkan membuka program D-1 di perguruan tinggi. Kurikulumnya memuat ilmu kepolisian, ilmu hukum, sosiologi, dan sebagainya, sehingga di sekolah bintara tinggal diajarkan keterampilan polisi. Sekarang semuanya masih menumpuk di sekolah bintara. Perubahan itu akan banyak manfaatnya bagi Polri. Hubungan polisi dengan institusi lain akan lebih cair karena personelnya sama-sama berasal dari institusi pendidikan sipil.

Para lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun 2004 menulis skripsi soal korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh kepolisian. Bagaimana kelanjutannya?

Mereka itu lulusan PTIK angkatan 39A. Lulusan 39A inilah yang menjadi motor KPK, yang kemudian disusul 39B sampai angkatan 40. Tapi, setelah itu, mekanisme rekrutmen penyidik KPK berubah, tidak lagi diambil dari yang terbaik dan yang masih segar. Rekrutmennya diumumkan ke seluruh Indonesia, bagi siapa saja anggota polisi yang hendak bergabung ke KPK. Akhirnya masuklah dari daerah-daerah dan jabatan yang umumnya "kering". Akhirnya kan ada yang terbongkar, penyidik KPK yang menyalahgunakan jabatan?

Anda masih bertemu dengan mereka?

Saya masih kontak dengan mereka. Saya sering mengingatkan, "Jangan serakah di lapangan, jangan memeras orang, dan jangan 'menginjak' orang."

Apakah benar para perwira reformis sebenarnya tidak sepakat dengan cara Kepala Polri menangani masalah KPK?

Saya mengingatkan mereka bahwa tidak bisa sesimpel itu melihat Kapolri. Kapolri tentu bermaksud baik. Tapi, ini pelajaran, supaya mereka tidak mengeluarkan pernyataan seperti "cicak dan buaya". Ini juga pelajaran bagaimana cara berkomunikasi dengan publik. Saya prihatin, publik lantas menggeneralisasi polisi. Janganlah dianggap semua polisi itu satu komando. Masih banyak polisi yang bisa diharapkan, terutama yang di tingkat bawah.

Farouk Muhammad

Lahir: Bima, Nusa Tenggara Barat, 17 Oktober 1949

Pendidikan:

  • Akabri Bagian Kepolisian (1972)
  • S-1, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta (1981)
  • S-2, Oklahoma City University, AS (1994)
  • S-1, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta (1996)
  • S-3, Florida State University, AS (1998)

    Pekerjaan:

  • Kepala Polres Cilegon, Jawa Barat (1986-1989)
  • Kepala Polres Cianjur, Jawa Barat (1989-1990)
  • Dosen PTIK (1990-1993)
  • Wakil Gubernur PTIK (2000-2001)
  • Kepala Polda Nusa Tenggara Barat (2001)
  • Kepala Polda Maluku (2001-2002)
  • Gubernur PTIK (2002-2006)
  • Rektor Universitas Bung Karno, Jakarta (2008-sekarang)
  • Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (2009-sekarang)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus