Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Departemen Perdagangan Amerika Serikat, Washington, DC, pekan pertama Oktober, pukul 11 siang. Delegasi Indonesia, dipimpin Duta Besar Indonesia di Washington, Sudjadnan Parnohadiningrat, sedang menemui pejabat Departemen Perdagangan Amerika dan Komisi Perdagangan Internasional. Ia didampingi Direktur Kerja Sama Bilateral Departemen Perdagangan Harmen Sembiring dan pengacara dari kantor advokat Winston and Stawn dari Amerika.
Mereka duduk mengelilingi meja panjang berbentuk oval di ruang pertemuan berukuran empat kali empat meter. Kursi terpaksa diatur berdempet-dempet. Sudjadnan menyampaikan maksud kedatangan mereka, yakni mengklarifikasi tuduhan dumping kertas dan subsidi dari produsen kertas negara Abang Sam. Sesekali Harmen menambahkan beberapa argumen. Tak banyak tanggapan. ”Akan kami bahas ini secara internal,” kata salah seorang pejabat Departemen Perdagangan Amerika. Pukul satu siang pembicaraan berakhir.
Pertemuan itu berawal dari kedatangan dokumen petisi setebal 7.500 halaman di Departemen Perdagangan, Jakarta, akhir September lalu. Pengaju petisi NewPage Corporation, Appleton Coated LLC, Sappi Fine Paper, dan serikat pekerja The United Steelworkers of America. Dalam petisinya, mereka menuduh Indonesia dan Cina melakukan dumping kertas lapis (certain coated paper), yang digunakan untuk brosur mobil dan laporan tahunan perusahaan.
Para pengaju petisi menyatakan impor kertas lapis meningkat 40 persen menjadi 185.422 ton dalam enam bulan tahun ini dibanding periode sama tahun lalu 131.687 ton. Sebaliknya, order kertas sejenis untuk industri Amerika menyusut sekitar 38 persen. Impor kertas dari Indonesia dan Cina diperkirakan menguasai 30 persen pasar, melonjak dua kali lipat dibanding tahun lalu. Total pasar kertas lapis 2008 sekitar US$ 1,8 miliar.
Ternyata, perusahaan yang dituduh di kedua negara itu sama, yaitu perusahaan kertas Sinar Mas Group milik konglomerat Eka Tjipta Wijaya. Di Indonesia, yang kena tudingan dumping adalah PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. dan PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills. Di Cina, Asia Pulp & Paper Co., Ltd. ”Untuk Indonesia, ada dua tuduhan, dumping dan subsidi,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Ernawati.
Tuduhan subsidi banyak berkaitan dengan kebijakan Departemen Kehutanan. Antara lain, kebijakan hak pengelolaan hutan dinilai lebih ringan dibanding negara lain, larangan ekspor kayu dalam bentuk log, dana reboisasi, restrukturisasi utang dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, kebijakan hutan tanaman industri, kebijakan provisi atas sumber daya hutan, serta insentif pajak. Pengaju petisi berpendapat, semua kebijakan itu tergolong subsidi, sehingga harga kertas lapis Sinar Mas bisa lebih murah. ”Hal yang mereka anggap subsidi itu berasal dari kebijakan zaman Presiden Soeharto. Malah ada kebijakan yang keluar pada 1970-an,” kata Erna.
Pemerintah pun kerepotan karena harus membongkar arsip dan dokumen lama. Bahkan ada dokumen yang tak terlacak rekam jejaknya. Tim koordinasi lalu dibentuk untuk mempermudah penelusuran bukti pembelaan diri. Tim ini beranggotakan Departemen Perdagangan, Departemen Kehutanan, Departemen Keuangan, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Sumber di pemerintah menduga, produsen kertas Amerika itu menggunakan jasa intelijen. Dia mencontohkan, dokumen artikel tahun 1970, yang pemerintah sendiri tak menyimpan rekam jejaknya. ”Dari mana mereka bisa melampirkan ini dalam petisinya kalau tidak pakai intel,” ujarnya.
Saat ini, Amerika melayangkan pertanyaan dalam kuesioner untuk mencari bukti. Kuesioner setebal 73 halaman mesti dijawab pemerintah dan Sinar Mas Group dengan tenggat akhir Desember mendatang. Amerika juga meminta laporan tahunan Bank Indonesia 2007 dan 2008, kurs mata uang dolar terhadap rupiah, dan pernyataan resmi mengenai prinsip akuntansi di Indonesia.
Setelah itu, Departemen Perdagangan dan Komisi Perdagangan Internasional Amerika akan menyidik kasus ini dari kuesioner, dokumen, dan memeriksa besaran kerugian pengaju petisi. Hasil analisis diperkirakan keluar Februari-Maret tahun depan.
Erna berpendapat, pengisian kuesioner menjadi kesempatan membela diri. Bila tidak terbukti, tuduhan bisa dibatalkan. Kalaupun terbukti, tuduhan bisa diperkecil. ”Kalau tidak kooperatif, nanti bea masuk antidumping (BMAD) akan lebih besar daripada seharusnya,” katanya. Namun, bila tuduhan itu terbukti, BMAD dihitung berdasarkan kerugian produsen kertas Amerika. Konsekuensinya, ”Ekspor kertas lapis tidak lagi kompetitif. Mungkin harus mengalihkan ekspor,” tutur Erna.
Tuduhan Amerika ini sebenarnya bukan pertama kali. Pada 2006, tuduhan yang sama dilayangkan. Hitungan mereka, Indonesia memberi subsidi (countervailing duty) 24 persen untuk industri kertas. Pada 2007, Departemen Perdagangan Amerika sempat menetapkan tarif bea masuk sementara terhadap kertas lapis Indonesia, Cina, dan Korea Selatan. Tapi keputusan kemudian dianulir Komisi Perdagangan Internasional. Pada tahun yang sama, kasus dihentikan karena tidak terbukti ada kerugian pada industri kertas Amerika.
Tahun ini mereka kembali menggugat, dengan memperluas tuduhan dan menambah bukti baru. John Cappy, Presiden dan Chief Executive Officer Appleton Coated LLC, mengatakan perusahaan kertas Amerika menderita. ”Kami terus kehilangan pangsa pasar, keuntungan, dan melakukan PHK,” katanya dalam siaran persnya.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan Gusmardi Bustami membantah tuduhan subsidi. ”Tidak ada subsidi,” ujarnya. Sinar Mas Group juga membantah tuduhan dumping. Juru bicara Sinar Mas Group, G. Sulistiyanto, menilai ini bentuk proteksionisme untuk melindungi kertas Amerika yang tidak mampu bersaing harga dengan produk Indonesia. Sulistiyanto mengungkapkan jumlah ekspor kertas berlapis hanya 3 persen dari total kertas sejenis di Amerika sehingga tidak mungkin merugikan industri kertas Amerika.
Dia pun balik menuding, produsen kertas berlapis Amerika justru menerima subsidi tak langsung dari pemerintahnya. Akibatnya, justru pengekspor kertas yang dirugikan. Tudingan pengaju petisi juga dinilai terlalu mengada-ada, misalnya kebijakan dana reboisasi. Menurut dia, kebijakan ini ditetapkan pemerintah Indonesia jauh sebelum industri kertas dan bubur kertas berkembang di Indonesia. Sinar Mas siap membawa kasus ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Nieke Indrietta
Ekspor Nonmigas ke Amerika Serikat (Juta US$)
Jan-Ags 2008
Jan-Ags 2009
Perubahan*
*) 2009/2008
Sumber: Departemen Perdagangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo