Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menikmati pertumbuhan ekspor yang terus meningkat sepanjang lima tahun terakhir, volume perdagangan Indonesia terancam anjlok. Krisis keuangan global yang menyengat negara-negara tujuan ekspor kita membawa pengaruh tak terelakkan.
Ketika krisis subprime mortgage mulai memukul Amerika Serikat, pada akhir 2007, Indonesia sebetulnya sedang menikmati optimisme luar biasa. Pada tahun sebelumnya, pendapatan ekspor menembus US$ 100 miliar—terbesar sepanjang masa.
Ekspor nonmigas juga mencatat rekor tertinggi, yakni US$ 79,5 miliar. Pertumbuhan total ekspor nasional 19,7 persen, bahkan melebihi pertumbuhan ekspor rata-rata lima negara ASEAN—yang 17,5 persen.
Seiring dengan melesunya perdagangan, strategi mempertahankan neraca perdagangan yang stabil dan produktif menjadi tantangan berat. Pemerintah sudah menyiapkan beberapa tindakan—mulai jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang—agar tak terjadi efek berantai, seperti krisis 1997. Ketika itu, industri-industri yang berorientasi ekspor, yang umumnya padat karya, bangkrut dan memicu ledakan angka pengangguran.
Di tengah situasi sulit, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tetap mengobarkan optimisme. Putri ekonom kondang Jusuf Panglaykim ini yakin banyak kesempatan dan peluang yang bisa digunakan untuk menggenjot neraca perdagangan serta menggerakkan roda ekonomi. ”Kita harus bisa mengembangkan pasar dan melakukan diferensiasi produk,” katanya.
Awal November lalu, bekas Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies ini menerima Arif A. Kuswardono dan Agung Sedayu dari Tempo di kantornya, Departemen Perdagangan, di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Perempuan 52 tahun itu bersemangat menjelaskan langkah-langkah pemerintah untuk mengantisipasi krisis perdagangan.
Bagaimana imbas krisis keuangan dunia pada perdagangan kita?
Sekarang belum terasa. Dinamika di dalam angka-angkanya belum kelihatan. Mungkin akan mulai kelihatan di kuartal terakhir tahun ini dan tahun depan. Pertumbuhan ekspor sampai September lalu masih cukup besar, didorong oleh harga komoditas yang cukup tinggi dan permintaan yang masih baik. Tapi tentu itu tidak pada semua komoditas. Kalau produk yang harga komoditasnya turun, ya jelas akan turun, seperti kelapa sawit. Tapi, untuk beberapa sektor yang lain tidak, karena order mereka sampai akhir tahun.
Seberapa besar penurunan ekspor lantaran krisis keuangan global ini?
Target kami, sampai akhir tahun pertumbuhan ekspor sekitar 14,5 persen. Meskipun akan ada slow down, di kuartal terakhir tahun ini masih mungkin mencapai 14,5 persen. Jadi target tahun ini masih tercapai. Untuk tahun depan, sudah pasti akan turun, tapi berapa turunnya belum diketahui. Saat ini kami sedang menghitung, bergantung pada asumsi pertumbuhan investasi, asumsi kurs, tapi yang pasti akan lebih rendah daripada target sekarang.
Apa antisipasi pemerintah untuk mengurangi imbas krisis keuangan global pada perusahaan-perusahaan di sini?
Isu pembiayaan ekspor-impor saat ini sedang menjadi pembahasan kami. Pengetatan likuiditas mempengaruhi semua perusahaan. Tapi bagaimana supaya pengusaha bisa terus melancarkan ekspor dan mengimpor bahan baku yang diperlukan. Sebentar lagi akan ada paket kebijakan baru dari Bank Indonesia. Bentuknya rediskonto wesel ekspor. Intinya, untuk mengurangi risiko pembiayaan ekspor. Jika kita takut buyer kita gagal bayar, kita bisa merediskonto LC (letter of credit) itu ke Bank Indonesia.
Bagaimana kebijakan jangka menengah?
Untuk jangka menengah, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor yang rancangan undang-undangnya sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Kami harapkan bisa selesai akhir tahun ini. Juga memperkuat fungsi Asuransi Ekspor Indonesia. Dan bagaimana agar perbankan Indonesia mempunyai pendapat yang baik terhadap eksportir sehingga bisa tetap menyalurkan kredit kepada mereka.
Seberapa parah imbas krisis yang dialami Indonesia dibanding negara lain?
Saya pikir tidak ada satu negara pun yang terlepas dari imbas krisis ini. Dari sisi dampak pada ekspor, melemahnya kurs, mungkin kita ada di tengah-tengah. Dari sisi ekspor, rasio ekspor kita sekitar 30 persen, sedangkan negara seperti Malaysia dan Thailand pertumbuhannya lebih besar, sehingga dampaknya akan lebih terasa. Kedua, diversifikasi pasar. Komposisi ekspor kita pada dua atau tiga negara tujuan, seperti Amerika dan beberapa negara Eropa yang dilanda krisis, pasti akan anjlok. Tapi ekspor kita ke sana sudah menurun lima tahun terakhir ini. Adapun ekspor kita ke negara-negara lain, meskipun akan turun, tetap positif sampai pertengahan 2009. Nantinya bakal terjadi kontraksi, tapi diversifikasi pasar yang telah kita jalani sedikit memberikan perimbangan.
Kenapa bisa seperti itu?
Produk ekspor kita adalah sumber daya alam yang merupakan bahan kebutuhan pokok, seperti minyak sawit, batu bara, serta minyak dan gas. Bahan-bahan itu akan tetap diperlukan meskipun berkurang permintaannya. Ketika kondisi perekonomian mereka turun, secara otomatis permintaan mereka juga akan turun, tapi tidak akan sampai negatif. Sebaliknya, orang bisa tidak ganti mobil atau beli TV baru. Kebutuhan terhadap barang-barang itu bisa ditahan atau ditunda. Begitu pula orang akan tetap butuh baju baru, tapi bergeser ke produk yang harganya lebih murah. Kita harapkan industri kita nantinya bisa lebih inovatif. Selama tiga minggu ini, saya banyak berbicara dengan para eksportir. Menurut mereka, ada pengalihan pembelian produk murah dari RRC ke Indonesia. Sebab, mata uang Cina mengalami apresiasi, sementara kita justru depresiasi. Kenaikan biaya di RRC lebih tinggi ketimbang Indonesia. Selain itu, pembeli ingin melakukan diversifikasi pasar. Sebab, perasaan antiproduk Cina yang tumbuh di Amerika makin kuat. Beberapa perusahaan kita bahkan memberi sinyal akan meningkatkan ekspor mereka karena mengambil alih order dari Cina. Itu nanti bisa sedikit menjadi bumper kita.
Bagaimana kondisi kita kalau dibandingkan dengan negara tetangga?
Kita lebih baik dibanding Malaysia, Singapura, dan Thailand. Imbas krisis yang paling terasa justru di negara-negara itu karena mereka mengekspor produk elektronik. Semua perusahaan di sana sudah mulai terguncang sejak pertengahan tahun ini. Ekspor produk elektronik kita skalanya kecil dibanding tekstil. Selain itu, ekspor kita ke pasar Amerika relatif kecil dibanding Malaysia dan Singapura. Pembeli-pembeli kita lebih banyak dari Cina dan India. Namun, karena Amerika turun, Cina serta India terkena imbasnya, dan selanjutnya kita yang kena. Artinya kita terkena second round effect-nya.
Di sektor elektronik ada kekhawatiran pasar dalam negeri akan diserbu produk dumping dan selundupan. Bagaimana cara melindungi produk elektronik dalam negeri?
Indonesia saat ini sebenarnya masih menjadi konsumen produk elektronik. Namun, untuk produk tertentu, Indonesia dijadikan production based beberapa perusahaan besar, seperti LG, Samsung, dan Sharp. LG dan Samsung itu ekspor, tapi Sharp tidak. Untuk produsen dalam negeri ada Maspion dan Polytron. Karena itu, penting bagi kita melindungi produk dalam negeri, jangan sampai disaingi oleh barang luar negeri yang ilegal yang mereknya sama. Misalnya, TV Sharp luar negeri, itu sebenarnya barangnya sama dengan Sharp dalam negeri. Maka pelabuhan harus diperketat. Kita juga berusaha mengurangi intensitas penyelundupan dengan menghapus pajak barang mewah beberapa produk elektronik.
Pengawasan ketat itu sepertinya hanya di pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa, bagaimana dengan pelabuhan di luar Jawa?
Pasar utama kita kan di Jawa, di luar Jawa tidak terlalu. Tapi sekarang, dari sisi pengetatan di pelabuhan, di luar Jawa hanya boleh masuk melalui dua pelabuhan: Medan dan Makassar.
Bagaimana dengan impor produk murah dari Cina, bukankah itu juga bisa mengancam produk serupa buatan dalam negeri?
Kalau kita bicara tentang barang impor yang masuk secara legal tapi harga tetap murah atau kita anggap harga itu tidak wajar, kita bisa melakukan investigasi menggunakan instrumen perdagangan yang tersedia. Misalnya, apakah dia melakukan dumping atau menjual dengan harga di bawah normal. Atau mungkin barangnya begitu banyak sehingga harganya murah. Begitu banyak yang masuk ke pasar kita, sehingga industri dalam negeri kita terkena imbasnya atau mengalami kerugian. Itu bisa kita kenakan biaya masuk tambahan. Jadi kita mesti melihat apakah karena faktor penyelundupan atau memang barangnya benar-benar murah. Itu tiga isu yang berbeda, yang cara penanganannya juga berbeda. Tapi, kalau semua itu dijalankan, dan memang harganya wajar, artinya daya saing kita yang lemah. Mesti ada langkah keempat yang harus dilakukan, yaitu meningkatkan daya saing kita. Mungkin keempat-empatnya mesti dilakukan bersamaan.
Pasar negara mana yang masih potensial untuk ekspor produk Indonesia?
RRC, India, Singapura, negara-negara ASEAN, dan Timur Tengah kami perkirakan masih berpotensi. Pertumbuhannya masih positif. Juga pasar-pasar nontradisional, seperti Kazakhstan dan Uzbekistan. Negara-negara dalam masa rekonstruksi, seperti Afganistan, juga berpotensi. Kendala umumnya adalah perbankan belum jalan. Akibatnya, kalau mau masuk ke sana, kita harus punya strategi yang jelas. Kita juga harus selalu membawa perbankan dan membina hubungan perbankan, karena rata-rata mereka atau kita tidak punya koresponden bank yang baik. Pengalaman baru-baru ini dengan Trade Expo Indonesia, banyak negara nontradisional yang datang, seperti Afganistan atau Zimbabwe, yang sebelumnya tidak tersentuh. Mereka mencari barang yang lebih murah. Kami akan terus melakukan pengembangan pasar dan diferensiasi produk. Diferensiasi produk itu seperti tadi, karena yang diminati orang adalah produk yang lebih murah, bagaimana menyiasatinya? Di sini diperlukan strategi pemerintah dan dunia usaha. Tapi kendala utama yang kami dengar dari para pengusaha berkaitan dengan pembiayaan perdagangan.
Sudah ada pembicaraan dengan Bank Indonesia untuk mengatasi masalah ini?
Kami memang sedang melakukan pembicaraan. Selain itu, kita mesti punya sabuk pengaman di dalam negeri. Ada tiga hal yang dilakukan secara paralel, yaitu meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, mengamankan pasar dalam negeri, dan menstimulasi konsumsi. Pengamanan pasar ada pada pencegahan penyelundupan, menggunakan instrumen pengaman perdagangan. Kalau dari segi insentif pajak, Menteri Keuangan sudah menyediakan Rp 12 triliun. Anggaran pendapatan dan belanja negara jelas, yang diprioritaskan program infrastruktur, masing-masing departemen diminta memprioritaskan hal-hal yang bisa menstimulasi konsumsi dalam negeri. Departemen kami kecil dibanding yang lain, kami hanya berfokus pada membangun pasar.
Ada instruksi khusus dari Presiden untuk mengatasi kondisi pasar saat ini?
Beliau memerintahkan menjaga pertumbuhan ekspor, memperkecil penyelundupan, dan harus gencar berpromosi.
Apa saja promosi yang sudah dilakukan kantor Anda?
Kami selalu berusaha mempromosikan TTI (tourism, trade, and investment). Pariwisata dipromosikan karena berpotensi... ya minimal jangan turun. Siapa tahu, karena kondisi krisis ini, orang mengurangi pengeluaran, justru domestic tourism yang akan meningkat, juga dari negara tetangga terdekat kita, daripada mereka pergi jauh-jauh.
Anda juga gencar mempromosikan industri kreatif. Sebenarnya seberapa penting bidang itu?
Yang sedang kami kembangkan adalah ekonomi kreatif. Pekerjanya 90 persen usaha kecil-menengah dan dikonsumsi pasar dalam negeri. Membangun rasa mencintai, membanggakan dan menggunakan produk bangsa sendiri, serta secara bersamaan bangga membeli produk dalam negeri. Seperti Korea, begitu krisis, mereka langsung membeli produk-produk dalam negeri mereka. Misalnya musik. Orang Indonesia itu 80 persen mengkonsumsi musik dalam negeri, 20 persen baru asing. Di Malaysia malah lagu-lagu Indonesia merajai. Kalau film, mungkin 60-40. Konsumsi pakaian produksi dalam negeri mulai meningkat. Makanan juga. Bisa dipromosikan, misalnya, anak-anak jangan dibawa ke KFC, bawa saja ke bakmi tok-tok.
Apa yang membuat Anda terdorong mengembangkan ekonomi kreatif?
Awalnya saya melihat Indonesia punya potensi kreatif, dan ternyata itu ada bidangnya. Setelah saya pelajari—dan ada bukunya—ternyata ada 14 bidang yang masuk kategori ekonomi kreatif, kesemuanya itu ada di Indonesia. Cuma kita tidak menyebutnya ekonomi kreatif. Lalu kami lakukan studi. Presiden meminta untuk dipelajari. Dan ternyata setelah dipelajari, potensinya besar, 6 persen dari produk domestik bruto, 9 persen dari ekspor, 5 persen penyerapan tenaga kerjanya, dan ini usaha kecil-menengah semua. Ternyata komunitasnya sudah banyak dan terbentuk, sehingga kita tinggal menfasilitasi.
Apakah ekonomi kreatif bisa jadi bumper di masa krisis?
Memang potensinya besar sekali. Kami akan mendeklarasikan Tahun Indonesia Kreatif mulai Desember nanti. Ada seminar besar di Bali mengenai perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif itu sebagian besar produsennya adalah anak-anak muda, begitu juga konsumennya dari kalangan muda. Saya senang mengerjakan ini karena bertemu dengan anak-anak muda. Saya ketemu dengan pemilik distro-distro di Bandung, mereka tidak terlalu panik saat orang-orang pusing dengan kondisi pasar. Mereka tenang-tenang saja, mereka bilang memiliki pasar sendiri. Memang kelihatannya kecil, tapi bisa survive. Mereka juga tidak punya utang.
Apa kelebihan Indonesia dalam sektor kreatif?
Saya melihat kekayaan kita lebih pada warisan budaya dan daya kreatif yang tidak terkalahkan serta sumber daya alam yang melimpah. Masalahnya, kita tidak bisa mengembangkan, menjadikannya memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Bagaimana sesuatu yang tradisional diubah sedikit sehingga menarik, selanjutnya dikemas, dan ada ceritanya, sehingga lebih mahal. Padahal, dengan dikemas sedikit saja, harganya sepuluh kali lebih mahal.
MARI ELKA PANGESTU
Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 23 Oktober 1956
Pendidikan:
- MA dalam bidang Microeconomics, Macroeconomics, International Trade, Economic Development & Accounting dari Australian National University, Canberra, 1980
- PhD bidang International Trade, Finance & Monetary Economics dari University of California, Davis, Amerika, 1986
Karier:
- Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies
- Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
- Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu, 2004-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo