Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font size=1 color=#FF9900>TEATER GARASI</font><br />Imaji Shakuntala dan Ophelia

Dua monolog tentang perempuan dari Teater Garasi di Teater Salihara. Segar dalam strategi pemanggungan, kurang menghipnotis dalam keaktoran.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON saksikan sebuah sulap ringan. Sri Qadariatin mengenakan kemeja putih, celana, sepatu jingle, dan topi hitam. Ia membawa tongkat kecil. Mula-mula ia berdiri, memperlihatkan tangannya kepada penonton. Sebuah sapu tangan merah digenggamnya di tangan kanan. Dan simsalabim, muncul di tangan kirinya.

Beberapa hari sebelumnya, rekannya, Citra Pratiwi, berlagak biduanita. Di tengah-tengah pertunjukan, lampu tiba-tiba terang. Ia mengenggam mike, membaur ke penonton. ”Selamat malam.…” Lalu, meskipun penonton di Teater Salihara terlihat malu-malu, ia mengajak mereka berkaraoke. Video menyorot teks lagu di layar.

Sri Qadariatin memerankan Shakuntala yang diramu dari fragmen Saman dan Larung, dua novel Ayu Utami. Dan Citra Pratiwi, berdasarkan skenario yang dibuat oleh sastrawan Ugoran Prasad, melakukan tafsir terhadap Ophelia, wanita malang dalam kisah Hamlet.

Kita tahu Ophelia dalam kisah Shakespeare adalah sahabat masa kecil Hamlet. Hamlet membunuh Polonius, ayah Ophelia, lantaran ia menganggapnya bersekongkol membunuh Raja Denmark, ayah Hamlet. Tapi, kemudian mayat Ophelia ditemukan mengambang di sungai. Apakah Ophelia bunuh diri? Citra ingin menyajikan kemungkinan-kemungkinan kematian Ophelia.

Segera yang terlihat menarik dari dua monolog ini adalah bagaimana cara menghadirkan persoalan. Sepanjang pertunjukan, Citra berganti-ganti peran. Selain menjadi Ophelia, ia menjadi Gertrude, ibu Hamlet, lalu Claudius, paman Hamlet, dan juga dirinya sendiri. Memerankan Claudius, ia mengenakan topi, sedikit berkumis, berkacamata hitam, membawa pengeras suara, berlagak seperti master of ceremony pasar malam.

Tampak Teater Garasi ingin mencairkan pementasan dengan menggunakan idiom pop kebudayaan masa. Dengan kostum tukang sulap itu, Sri Qadariatin menceritakan memori dan fantasi Shakuntala tentang tubuh, tentang seks, tentang kekerasan ayahnya. Sayangnya, sulap-sulap kecil pada pementasan yang disutradarai Naomi Srikandi ini hanya dilakukan di awal pertunjukan. Andai dilakonkan dalam set yang penuh kejutan, dunia sulap pasti menjadikan pertunjukan ini lebih kuat.

Dua monolog ini sangat sadar visual. Pada Shakuntala, pentas diwarnai sebuah layar yang menampilkan film animasi sudut-sudut pencakar langit sebuah metropolitan. Set ditata dengan sulur-sulur abstrak menjulur dari atas atap seperti interior kafe. Itu simbol sebuah hutan dekat rumah Shakuntala, tempat ia biasa memanjat pohon-pohon. Tapi kejutan-kejutan visual lebih banyak pada Ophelia. Ketika Citra menjadi Gertrude, tiba-tiba dari katrol di atap turun gaun yang kemudian dikenakannya. Atau ketika ia merenung, jatuh parasut-parasut kecil.

Betapapun secara artistik menyegarkan, tidak serta-merta membuat kedua pertunjukan itu menghipnotis. Akting Citra terasa datar sehingga perbedaan karakter antara Ophelia, Gertrude, dan Claudius tidak muncul. Adapun pada Shakuntala, meski kelancaran adegan terbantu kemampuan Sri Qadariatin menari bak kabaret saat mengungkapkan problem hasrat seks Shakuntala, di beberapa bagian terasa terlalu literal. Kalimat-kalimat yang diucapkan Sri Qadariatin mentah-mentah diambil dari novel Ayu Utami tanpa adaptasi menjadi bahasa dialog teater.

Pada titik ini memang ada persoalan skenario. Teks Ophelia yang dibikin oleh Ugoran itu, misalnya, lebih bermain-main dengan alusi. Memang bagus. Tapi itu membuat rekonstruksi—reka ulang—tentang kematian Ophelia terasa tidak menonjol. Tafsir baru Ugoran bahwa salah satu kemungkinan Ophelia mati dibunuh Claudius, karena Claudius berusaha menutupi aib lantaran menghamili Ophelia, terasa hanya sepintas lalu.

Walhasil, dua monolog ini mampu secara segar menyajikan eksprimen strategi pemanggungan, membuat monolog Indonesia diberi suntikan imajinasi, tapi kendur dalam memberi sugesti secara keseluruhan. Di akhir pertunjukan, Ophelia duduk merenung di dalam gelap, membayangkan kolam yang tenang di depannya, ia berkata, ”Tak ada lagi imam-imam jahat… yang menunjukkan jalan....” Seharusnya kita membayangkan nasibnya yang perih. Namun pertunjukan itu tak membawa kita ke situ.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus