Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=navy>Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir:</font><br />Kebinekaan Rusak Akibat Pemaksaan Kehendak

21 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN tiba-tiba menghampiri Haedar Nashir setelah demonstrasi 4 November lalu. Silih berganti, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu didatangi sejumlah tokoh, termasuk Presiden Joko Widodo dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian.

Kepada Haedar, Presiden dan Kapolri membicarakan pelbagai persoalan, dari kesenjangan ekonomi masyarakat hingga perkembangan situasi keamanan dalam negeri. Tak luput kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri pada Selasa pekan lalu. "Saatnya berhenti adu tafsir dan tinggal masing-masing pihak berjuang lewat jalur hukum," ujar Haedar, 58 tahun.

Haedar mengatakan masyarakat sudah seharusnya lepas landas dari polemik penistaan agama. Saatnya semua kelompok masyarakat merajut suasana damai. "Jangan terprovokasi sehingga membuat umat saling merenggang dan menaruh rasa curiga," tuturnya.

Jumat pekan lalu, Haedar menerima Iqbal Muhtarom, Pribadi Wicaksono, dan fotografer Pius Erlangga dari Tempo di ruang rektorat Universitas Aisyiyah, Yogyakarta, untuk sebuah wawancara. Dalam perbincangan selama sekitar satu setengah jam itu, Haedar juga menjelaskan soal perbedaan sikap antara PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005 Ahmad Syafii Maarif soal kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok—sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama.

* * *
Sehari sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menemui Anda. Apa yang Anda bicarakan dengan Kapolri?
Kapolri ingin berbagi pandangan tentang perspektif hukum yang dipahami Muhammadiyah. Saya mengatakan polisi jangan memberikan tafsir sendiri. Sebab, polisi dalam kasus ini menjadi titik pertarungan obyektif. Alhamdulillah, tidak terjadi. Intinya, saya ingin menegaskan polisi harus tetap berada di jalur hukum meski ada berbagai pandangan dari luar, yang jadi referensi untuk memperkaya perspektif penegak hukum dalam mengambil keputusan.
Apakah Anda memberi masukan dalam kasus Ahok?
Muhammadiyah tak dimintai masukan. Kan, lucu kalau dimintai masukan oleh penegak hukum. Intinya, saya diberi amanat oleh PP Muhammadiyah untuk berkomunikasi dengan semua pihak, maka saya menerima Kapolri. Kebetulan Kapolri memandang perlu menjelaskan pernyataan beliau tentang tafsir Al-Maidah ayat 51. Dalam rangka itulah kami bertemu.
Pekan sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga mengunjungi kantor Muhammadiyah di Jakarta. Apa yang dibicarakan Presiden?
Presiden ingin menegaskan bahwa hukum adalah satu-satunya jalan menyelesaikan masalah penistaan agama itu, sehingga tak perlu ada intervensi. Beliau juga menegaskan tak akan melindungi Ahok, sehingga jelas bahwa kasus ini akan berjalan di koridor hukum tanpa intervensi kekuasaan.
Ada perbincangan lain di luar kasus Ahok?
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas punya masalah yang kompleks. Di masa depan harus dicari kebijakan yang bisa menyalurkan aspirasi umat Islam dalam kehidupan kebangsaan. Selain itu, kami bicara tentang disparitas sosial-ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Kalau masyarakat ini masih miskin ibaratnya seperti rumput kering yang mudah terbakar. Ada pemantik sedikit saja, akan ada luapan ekspresi yang tak terduga.
Selesai bersafari ke organisasi kemasyarakatan Islam, Presiden juga merapatkan barisan militer.
Langkah Presiden sangat konstruktif. Kita tak bisa memastikan situasi yang bakal terjadi. Unpredictable. Siapa yang bisa memastikan, biarpun 95 persen dikatakan aman, pasti ujungnya ada peristiwa. Lalu siapa yang bisa memastikan demo susulan? Kalau itu benar-benar terjadi, bakal seaman yang kemarin? Maka kami mendukung langkah komunikasi politik Presiden.
Presiden mengatakan ada aktor politik yang diduga menunggangi demonstrasi 4 November. Bagaimana menurut Anda?
Dalam kehidupan politik, tunggang-menunggangi itu biasa. Tinggal siapa yang siap menunggangi atau ditunggangi. Saya yakin Presiden cukup punya integritas untuk memposisikan kerawanan demonstrasi. Menurut Muhammadiyah, kasus ini tak perlu melebar ke mana-mana. Tak perlu dilebar-lebarkan. Aktor politik itu bisa ada atau bisa tidak. Jangan sampai isu aktor politik membuat Presiden dan kita tak bisa keluar dari masalah ini.
Anda setuju polisi menangkap kader HMI yang diduga sebagai provokator?
Pertama, tentara dan pemerintah boleh punya data dan asumsi tentang aktor, gerakan politik, dan sebagainya. Tapi harus proporsional dan jangan mempengaruhi penyelesaian masalah dan cara mengelola bangsa dan negara ini. Kedua, berbagai komponen bangsa juga harus makin matang dalam bernegara. Kalau ada masalah, selesaikan secara demokratis dan konstitusional. Jangan berpikir menempuh langkah yang tak konstitusional.
Presiden menyebutkan secara gamblang soal aktor politik yang dimaksud?
Saya tak bertanya tentang aktor politik, Presiden juga tak bicara tentang hal itu karena yang bertemu itu kan sesama aktor. Yang satu Presiden Republik Indonesia, yang satu Presiden Muhammadiyah. Kami membicarakan bagaimana menyelesaikan kasus ini secara elegan dan bermartabat.
Ketika menyatakan ucapan Ahok menistakan Islam, apakah Muhammadiyah hanya mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia atau berdasarkan telaah sendiri?
Muhammadiyah menyerap aspirasi yang tumbuh di antara umat bahwa pandangan atau ujaran itu memang ada unsur yang melukai, menodai, dan masuk wilayah sensitif dari keyakinan umat Islam. Kami pun menghargai pandangan MUI. Tapi Muhammadiyah tak setuju bila problem ini diselesaikan dengan cara-cara yang memicu konflik. Maka sikap kami sejak awal adalah menyelesaikan kasus ini secara hukum.
Terlepas dari aspirasi umat, apakah ujaran Ahok memenuhi unsur penistaan?
Arswendo Atmowiloto pernah meletakkan Nabi Muhammad dalam sebuah peringkat survei yang memang hanya mencoba wilayah profan– tak menyangkut agama. Namun akhirnya Arswendo kena hukuman penistaan agama. Sekarang seharusnya mulai berhenti adu tafsir tentang penistaan karena polisi sudah mengambil kesimpulan. Tinggal masing-masing pihak berjuang lewat jalur hukum dan nanti pengadilan akan memutuskan ini termasuk penistaan atau bukan.
Apakah ujaran Ahok itu bisa memicu kerenggangan hubungan antarumat beragama?
Jangan sampai satu kasus ini merusak hubungan antarumat beragama. Bila kita bertengkar di rumah, ada bekasnya satu atau dua jam itu biasa, setelah itu pemulihan. Letakkan kasus ini sebagai musibah, tapi setelah ini kita semua harus merajut suasana damai. Semua umat beragama jangan terprovokasi sehingga membuat kita saling merenggang dan curiga. Sekali waktu kasus ini menimpa umat Islam, suatu saat bisa menimpa umat beragama lain. Karena itu, semua pihak harus dewasa, jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.
Bagaimana Anda memandang status tersangka Ahok?
Kita harus belajar dari kasus Pak Ahok. Ibrah (pembelajaran)-nya apa? Satu, bagi pejabat publik, siapa pun dia, berada dalam konstruksi ketatanegaraan, bukan penguasa yang boleh melakukan apa saja menuruti karakternya. Dia harus mempertimbangkan prinsip bernegara, moral, juga agama yang hidup di masyarakat, sehingga, setiap pemimpin harus selalu memikirkan ucapan dan perbuatannya. Boleh jadi benar, tapi belum tentu pantas. Kedua, bagi pemeluk agama, bagaimanapun perbedaan pemahamannya, tapi Tuhan, nabi, dan kitab suci merupakan sesuatu yang sakral. Ini juga menyangkut agama lain. Bila suatu saat ada pejabat muslim mengucapkan hal serupa, bisa menjadi masalah. Ketiga, ruang publik kita mengalami liberalisasi. Di media sosial, anything goes sehingga menciptakan ruang publik yang semakin anarkistis. Ketika bersentuhan dengan kepentingan, rasa, dan sensitivitas, kebebasan itu bertabrakan. Jadi harus ada tata kramanya. Keempat, kehidupan umat beragama suatu saat pasti menimbulkan masalah. Jangankan dengan agama lain, umat seagama saja sering tidak sepaham. Misalnya perbedaan Idul Fitri antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Mengapa isu agama menjadi hal yang sangat sensitif di Indonesia?
Harus dipahami bagaimana posisi agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Agama menjadi bagian yang mendarah daging dalam kehidupan negara dan masyarakat Indonesia. Karena itu, segala bentuk sekularisme dalam bernegara akan menjadi masalah. Di Eropa, mungkin tidak menjadi masalah mengolok-olok nabi, juga Tuhan. Di sini jelas menjadi masalah. Kita membuat hukum positif yang melarang penistaan agama. Sudah menjadi sejarah, berkat kearifan pendiri bangsa ini, sempat ada dialektika mengenai Piagam Jakarta. Lalu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama. Ada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 tentang posisi agama. Dengan kata lain, aspek sejarah, hukum, sosiologi, dan kultur meletakkan agama dalam posisi penting di kehidupan. Maka, pada setiap warga, terbangun pola pikir bahwa agama merupakan sesuatu yang fundamental. Jadi jangan masuk ke wilayah yang sensitif.
Mengapa masih ada kelompok yang menuntut Ahok ditangkap?
Berbangsa dan bernegara kan ada koridornya. Jadi jangan menuntut lebih dari garis koridor hukum. Sebaiknya energi mereka diarahkan untuk mengawal proses hukum kasus ini. Nanti kan ada dua pihak, yang mendukung dan yang menentang. Lebih baik bertanding di arena hukum itu. Seperti pertandingan sepak bola, ada wasit, pemain, dan rule of game-nya. Meskipun kadang wasit ada salahnya, tidak perlu menjadi chaos. Ikuti saja apa yang sudah jadi keputusan kepolisian, yang sudah berdiri di garis hukum. Jangan ada lagi pihak yang menerpakan isu bahwa polisi tidak obyektif karena menetapkan tersangka berdasarkan desakan opini massa. Kalau itu dikembangkan, akan memancing pandangan lain. Inilah yang disebut dengan teori the clash of fundamentalism, konflik di antara dua pikiran yang sama-sama ekstrem. Maka harus kembali ke titik tengah, yaitu proses hukum. Tidak perlu berdebat lagi karena nanti muncul tuntutan yang melebihi takaran.
Seperti apa bentuk pengawalan proses hukum kasus ini?
Pertama, mengawal secara built in di pengadilan. Baik jaksa maupun pembela, silakan berargumentasi. Jaksa harus menyerap betul rasa keadilan, juga substansi dan esensi kasus. Hakim tidak boleh masuk angin dalam bentuk apa pun. Dia harus bertindak berdasarkan kebenaran dan keadilan. Keputusannya bukan hanya berdasar atas logika hukum tapi pertanggungjawaban kepada hakim yang lebih tinggi, Tuhan. Semua memerlukan kejujuran. Kalau belum puas, masih bisa banding sampai inkrah.
Ahok berkukuh tidak melakukan penistaan agama dan siap membuktikannya di pengadilan.
Kita harus menghormati pernyataan Pak Ahok dan jalan yang ditempuhnya lewat pengadilan. Kan kelompok umat yang tersinggung juga menuntut dengan jalur pengadilan. Saya tidak masuk ranah hukum, tapi problemnya, tindakan seseorang dilihat bukan sekadar soal niat. Kadang, meski tidak ada niat, kalau di hati, misalnya, saya tidak suka kepada Anda, suatu saat akan meletup tindakan yang merupakan hasil dari suasana batin saya. Dalam kasus ini, ada seorang pejabat publik di acara resmi bicara tentang program dan politik. Ditambah lagi masuk unsur agama dengan membawa Surat Al-Maidah ayat 51. Problemnya, dia memakai kata yang memiliki stigma, yaitu "dibohongi". Seharusnya bisa memilih kata lebih netral, misalnya, "Boleh Anda tidak memilih saya, tapi tidak perlu menggunakan Al-Maidah 51."
Mengapa sikap PP Muhammadiyah berbeda dengan Buya Syafii Maarif, yang menyatakan Ahok tak menistakan Islam?
Ibarat keluarga besar, ada bermacam-macam pandangan. Tapi arus besarnya adalah yang dibangun pengurus pusat. Memang kritik teman-teman yang muda kencang, itu sudah biasa. Saya mengajak mereka berdialog. Ketika Muhammadiyah melarang pemakaian atribut saat demonstrasi, banyak juga yang protes. Mereka bilang, "Mau menegakkan akidah saja kok dilarang." Lalu saya jawab, "Kami bukan melarang demo, tapi menempatkan demo sebagai hak warga negara." Sama halnya dengan kasus Buya. Saya juga berdialog dengan beliau untuk menjembatani salah paham dengan tetap menghargai pandangan masing-masing. Ketika Buya berpendapat, tentu pendapat yang ringkas itu tak bisa memberi perspektif.
Faktanya, pernyataan Buya tetap ditanggapi reaktif oleh pengikut Muhammadiyah.
Saya paham Buya punya pendapat sendiri. Tapi saya percaya Buya juga tak sesederhana itu dalam berpandangan. Problemnya ialah orang sering tertuju pada Al-Maidah ayat 51, tidak pada konteks dan substansi perilaku. Kalau soal Al-Maidah 51 saja, orang bisa berbeda pandangan.
Apa yang Anda baca dari pernyataan Buya itu?
Buya melihatnya dalam konteks perilaku politik. Buya tak bermaksud membela dan akhirnya memang menulis catatan kritis tentang Ahok di sebuah surat kabar.
Ada kemungkinan demonstrasi lanjutan dan parade kebinekaan. Apa perbedaan pandangan ini bisa mengganggu pluralisme?
Kalau ada kecemasan terhadap rusaknya kebinekaan, itu justru datang dari dua hal. Pertama, pihak-pihak yang suka memaksakan kehendak, baik karena pandangan keagamaan, politik, hak asasi manusia, atau apa pun. Ketika lingkupnya kecil, orang itu hanya bisa bertengkar. Ketika meluas menjadi dukungan massa, akan melahirkan demonstrasi, lalu counter-demo, lalu counter-demo lagi, dan bisa terjadi perseteruan massa yang masif. Kedua, kebinekaan tercederai akibat tindakan sembrono. Baik dilakukan warga negara atau pejabat publik, yang tidak tahu batas-batas mana wilayah agama dan budaya, yang sama-sama sensitif dan dianggap sakral. Misalnya kasus canang di Bali dan pelecehan salam sampurasun di masyarakat Sunda. Jadi mesti hati-hati benar soal agama dan culture. Kalau terganggu, kita bicarakan, tapi tunggu amarah reda. Ibarat hujan, sekarang ini masih gerimis.

HAEDAR NASHIR

Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 28 Februari 1958

Pendidikan: Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat SMA Negeri 10, Bandung Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD, Yogyakarta Master sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Doktor sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Organisasi: Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (1985-1990) Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005) Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2015) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015-2020)

Karier: Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus