Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA sebuah dusta yang dilembagakan. Ia disebut kitman. Di dalam sejarah Islam, terutama di Persia, laku itu—sebenarnya sebuah muslihat, yang juga disebut taqiya—sudah dijalankan berabad-abad. Mungkin ia tumbuh ketika kekuasaan yang keras mengambil alih ajaran dan agama jadi represi.
Baru pada abad ke-19 orang Eropa mengenal, dengan rasa takjub, bahwa ada dusta yang semacam itu.
Setidaknya seorang Arthur de Gobineau. Novelis dan penulis perjalanan ini lebih dikenal sebagai pembawa "teori" bahwa orang kulit putih adalah ras yang paling ulung; pengaruh Gobineau dalam hal ini merasuk jauh ke dalam pemikiran ideologi Nazi dan kaum rasis Amerika yang, sampai di zaman Trump ini, menolak mereka yang berbeda. Tapi Gobineau juga menulis buku-buku lain. Menarik bahwa ia sebenarnya tak sepenuhnya negatif dalam memandang bangsa-bangsa yang bukan "putih". Bukunya tentang agama-agama di Asia Tengah (Gobineau pernah jadi diplomat Prancis di Persia), terutama tentang Bahai, dianggap cukup akurat dan mengandung simpati—atau setengah simpati setengah bingung.
Islam, menurut Gobineau, cenderung bersifat toleran dan inklusif. Dengan syahadat yang bersahaja, agama ini mengundang tiap orang buat menerimanya. Agama ini jadi "selimut yang nyaman" yang melindungi seluruh "gagasan lama dan yang bercampuran, yang mekar tiap hari di sebidang tanah yang mengandung begitu banyak hal-ihwal yang sedang membusuk".
Dalam kecenderungan itu, sifat fanatik "adalah fenomen yang tak cocok bagi semangat orang Timur". Tak ada "kebencian bersama yang tegas batasannya". Yang ada adalah kelompok-kelompok kecil atau perseorangan, dan di sekitar itu orang bisa keluar-masuk "tanpa berisik dan tanpa heboh". Semua menganggap diri pemilik kebenaran dalam segala hal, tapi mereka "terlalu lemah dan terlalu sibuk mempertahankan diri hingga tak punya waktu senggang, rencana besar, keberanian, dan tekad yang kukuh yang melahirkan fanatisme".
Dalam keadaan itu, hidup dan keyakinan tak putus-putusnya menahan diri untuk tak menonjol. Atau menghindari konfrontasi. Atau bernegosiasi. Atau berpura-pura.
Seorang sufi, kata Gobineau dalam Les religions et les philosophies dans l'Asie centrale, mengatakan dengan bisik-bisik kepadanya bahwa di Persia tak ada seorang pun muslim yang penuh, tak terdapat musulman absolu.
Ada sikap palsu yang meluas. Kitman dipakai hampir tiap kali—sebuah praktek yang, menurut Gobineau, sudah berlangsung sejak ajaran Zoroaster yang represif ketika jadi agama negara. Para pendeta Zoroaster menjalankan kekuasaan yang mencekik. Dengan paksa mereka mengusut ketulusan iman tiap orang.
Orang Persia, yang tak betah dengan tekanan itu, menyembunyikan penolakan mereka kepada kepercayaan resmi. Berangsur-angsur mereka mengembangkan teknik dusta yang memperdaya untuk menutupi "cara beragama mereka yang tersembunyi".
Kitman, menurut Gobineau, adalah "sejenis karnival yang terus-menerus", yang membuat para pelakunya tak terjangkau serangan. Ia semacam samaran dan cara menghindar. Mereka berbicara dengan fasih dan cerdas menggunakan argumen dan istilah yang lazim dipakai para ulama yang berkuasa, tapi sebenarnya mereka menentang doktrin yang dipaksakan. Mereka ibarat mengenakan cadar yang tergantung dari atas—meskipun di bawah tak ada yang menambatkan kain itu, hingga jika angin bertiup, akan tampak apa yang di baliknya.
Dengan kata lain, kitman adalah gejala ketidakbebasan bicara, cara cerdik di bawah sebuah kekuasaan theokratis yang memasung badan dan jiwa. Kitman adalah kiat bersembunyi ketika orang bisa dibunuh karena berbicara lain, berpikir lain. Kitman, lama-kelamaan, mendorong orang untuk berkompromi dengan dusta, sebab ia sendiri dusta tempat berlindung—dan tak jarang membangun ketakjelasan dan kebingungan.
Dalam sejarah Indonesia, teknik persembunyian itu berkembang biak ketika Islam pertama kali menguasai kerajaan-kerajaan Jawa di pesisir abad ke-15. Legenda Syekh Siti Jenar dan segala variasinya, bahasa dan cerita yang dipakai mereka yang menolak ajaran dengan diam-diam atau setengah diam-diam, frasa-frasa yang ambigu kaum "kebatinan" yang menampik hukum syariat—semua itu sejenis kitman yang subur.
Kisah Siti Jenar yang sangat absurd, tentang orang yang dibunuh para ulama tapi tetap jadi pembangkang yang tak bisa mati, agaknya diciptakan para pelaku kitman untuk menyembunyikan dan memberi makna bagi "kesesatan" yang tak bisa takluk.
Gobineau sedikit mencemooh perilaku di dunia muslim itu—sebab dusta yang merata semacam itu, menurut dia, tak ada di Eropa. Ia tak melihat bahwa penindasan tak pernah bisa sepenuhnya menang, juga di dunia Islam. Di bawah tekanan, muslihat adalah mencipta dan mencipta adalah muslihat. Ulama dengan "lembing katanya" (untuk memakai kiasan Chairil Anwar) hanya akan menusuk angin.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo