Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Mei lalu, ketika Ignasius Jonan pergi ke Jawa Timur untuk nyekar ke makam orang tuanya. Presiden dan Chief Executive Officer PT Kereta Api Indonesia (KAI) ini tengah melewati Susuhan—satu desa kecil di wilayah Gampengrejo, Kediri—tatkala matanya terpaut pada tulisan di depan satu bangunan: Stasiun Susuhan.
Spontan, bos Kereta Api Indonesia itu menepikan mobil. Kepala stasiun dan para anggota staf sedang melakukan salat Jumat, Jonan sendirian menginspeksi tempat itu. "Bersih dan terawat, " ujarnya dengan kagum. Jonan punya kebiasaan menyambangi stasiun secara incognito ataupun pada saat piket. Dia berbicara dengan anak buahnya—termasuk yang di wilayah terpencil Indonesia—dan berteman dengan masinis. "Saya kenal 2.000-an masinis, atau setidaknya 2.000 masinis mengenal saya," ujarnya sembari tertawa.
Memimpin PT KAI sejak 2009, Jonan berdisiplin menerapkan sistem piket, yang sebelumnya tidak ada. Dia mewajibkan dirinya serta para direktur untuk bergabung. Alhasil, sebulan sekali Jonan bisa "mangkal" semalaman di stasiun kecil di luar Bandung. Pada April lalu, dia piket di Tanjung Karang, Lampung. Pada Mei silam, dia hadir di Madiun, Jawa Timur. Tatkala ada anak buahnya memprotes karena harus piket pada akhir pekan, Jonan menyahut dengan rileks: "Akhir pekan adalah masa tersibuk di bisnis transportasi. Andai (piket) terasa sulit, mungkin pekerjaan ini kurang cocok untuk Anda."
Urusan piket hanya secuil gebrakan Jonan sebagai juragan kereta api. Arek Suroboyo ini mengubah orientasi organisasi dari product oriented ke costumer focused. "Kami berusaha membuat pelanggan lebih bahagia," katanya. Upayanya memajukan kereta api juga menuai berbagai kritik: "Mengapa KAI jadi komersial?" sejumlah orang memprotes dia.
Menurut Jonan, yang dia lakukan sejatinya hanya menghidupkan kembali prinsip dasar bisnis: pelayanan bagus, pelanggan senang, mereka datang lagi—kereta api untung. Hasilnya? Total pendapatan PT KAI selama tiga tahun, sejak 2000 sampai 2002, Rp 5,73 triliun untuk tiga tahun. Pada 2011, angka Rp 6,3 triliun dicapai dalam setahun. "Numbers don't lie," ujarnya.
Kereta Api Indonesia, bukan rahasia lagi, memanggul banyak beban sejak dulu. Dari terbatasnya subsidi hingga ekspektasi masyarakat akan pelayanan prima (dengan harga murah). Juga warisan problem masa lalu: korupsi, pengadaan barang tanpa transparansi, dan lain-lain. Jonan bilang: "Jabatan ini saya terima dalam ‘paket utuh'. Jadi saya akan meneruskan yang baik dan membereskan yang buruk."
Senin pekan lalu, di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, muncul pria langsing berbatik lengan pendek seraya mencangkung tas punggung Timberland. "Saya Jonan, ayo ngobrol," katanya. Dua jam lebih dia menjawab pertanyaan wartawan Tempo Andari Karina Anom dan Hermien Y. Kleden. Wawancara dilanjutkan seraya mengitari stasiun itu, sembari fotografer Arnold Simanjuntak merekam foto-fotonya. "Sudah seperti Victoria Station di London, kan?" katanya sembari terbahak.
Apa sebetulnya inti pembaruan di PT KAI pada tiga tahun terakhir?
Ketika pertama bergabung, saya bilang, hanya satu perubahan yang saya inginkan: mengalihkan (arah) organisasi ini dari product oriented ke customer focused. Kami berusaha membuat pelanggan lebih bahagia. Pernah ada yang bilang, di masa lalu perubahan ini tak perlu-perlu amat, toh orang tetap akan naik kereta api: mau naik silakan; tidak mau naik, tinggalkan. Pandangan seperti ini tak bisa dipertahankan.
Latar belakang sebagai profesional, dan bukan birokrat, kata orang membuat Anda berani membikin perubahan. Anda setuju?
Ini bukan soal profesional versus birokrat. Perubahan sistem biasanya membutuhkan orang dari luar. Dari umur tujuh tahun sampai dewasa, saya naik kereta. Maka yang saya bawa ke sini adalah keinginan pelanggan. Waktu saya sampaikan soal ini, orang bilang, itu cuma teori. Buktinya ada di angka. Selama 2000-2002, pendapatan PT KAI Rp 5,73 triliun untuk tiga tahun. Pada 2011, pendapatan kami mencapai Rp 6,3 triliun dalam setahun. Not bad at all!
Dari mana sumber peningkatan pendapatan ini?
Di Stasiun Gambir, biaya sewa per meter persegi per bulan untuk outlet komersial Rp 400 ribu. Tempat kecil untuk menaruh mesin ATM sewanya Rp 50 juta per tahun. Itu contoh sederhana. Dulu orang tak pernah berpikir dari sudut pandang para mitra. (Harga itu) tidak murah, tapi orang mau bayar karena memang dibutuhkan.
Dana PSO (public service obligation, dana APBN untuk pelayanan publik) dari pemerintah sebesar Rp 770 miliar itu dipakai untuk apa saja?
Cukup atau tidaknya dana ini tergantung tingkat layanannya mau seperti apa. Karcis kereta ekonomi sudah 11 tahun tidak naik, masih Rp 2.000 untuk jalur Jakarta-Bogor. Alokasi dana kereta listrik mungkin sekitar Rp 175 miliar. Kurang atau tidak? Ya, kurang! Kalau semua (kereta) mau memakai AC tapi tarif tidak naik, pemerintah harus menyiapkan subsidi untuk KRL paling tidak Rp 500 miliar.
Perlukah KAI giat mengejar profit, mengingat sifatnya lebih sebagai pelayan transportasi darat masyarakat?
Undang-Undang Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian meminta operator kereta api makin lama makin independen dan tak tergantung APBN. Kalau ada yang memprotes kami mencari profit, jawabannya simpel: kalau tidak menghasilkan untung, kami tak bisa melakukan investasi di masa depan, misalnya untuk mengganti kereta.
Apa saja efeknya jika KAI independen dalam keuangan?
Peraturan Pemerintah Nomor 56/ 2009 menyebutkan soal pembangunan kereta listrik (KRL) Manggarai ke Bandara Soekarno-Hatta, juga soal pengembangan KRL di Jakarta menjadi tiga kali lipat. Direktorat Jenderal Kereta Api tak mendapat duit sepeser pun (dari pemerintah untuk ini), maka kami harus mencari duit sendiri.
Memangnya bisa KAI mencari duit sendiri?
Kalau saya ditanya bisa atau tidak, jawaban saya: bisa. Sebelum Natal tahun depan, Anda sudah bisa naik kereta ke Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum Natal tahun ini, Anda bisa naik kereta dari Kota Medan ke Bandara Kuala Namu (Medan). Kami tidak mau terlalu banyak bicara. Lebih baik kami bekerja, baru ngomong. Kalau ngomong dulu, gangguannya banyak.
Apa saja? Sulitkah mengatasinya?
Tidak sulit, karena kami bikin proses bisnis yang transparan. Sebagai pemimpin, saya tak ikut campur memaksakan kehendak, tidak pernah "titip" apa-apa. Orang nomor satu di organisasi apa pun di dunia tak boleh memikirkan pengadaan, tapi harus isu strategis. Kalau saya ikut-ikut semua, itu ngawur dan merusak.
Direktur Utama KAI yang lalu, Ronny Wahyudi, menjadi tersangka karena kegagalan investasi Rp 100 miliar dengan PT Optima Karya Capital Management melalui program reksa dana. Apa komentar Anda?
Saya berusaha tidak mengemukakan kritik untuk pendahulu saya, karena itu tidak etis. Jabatan ini harus saya terima dan saya kerjakan dengan senang hati. Baik atau buruk (urusan di dalamnya) harus bisa saya selesaikan. Tanggung jawab ini harus saya terima dalam "satu paket".
Jadi, uang Rp 100 miliar itu akan dianggap hilang begitu saja?
Maaf, saya lebih baik tidak mau kasih komentar karena bisa membangun opini. Biarlah proses peradilan yang menentukan.
Tolong petakan tiga kesulitan utama yang masih harus dibereskan PT KAI.
Pertama, perawatan rel dan sinyal. Ini prasarana milik pemerintah, bukan KAI. Kalau stasiun dan kereta, itu punya KAI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23/2007, pemerintah melalui APBN harus membayar biaya perawatan jalan dan rel. Nah, ini tidak pernah terjadi, padahal jumlahnya besar.
Maksud Anda, semua perawatan rel dan sinyal, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, diambil alih KAI?
Seratus persen! Kami memelihara rel dan sinyal, sehingga akhirnya pelayanan yang menjadi korban. Rel itu paling penting karena kebetulan kereta api belum bisa berjalan di atas rumput. Masalah kedua adalah PSO. Kami tidak peduli (kalaupun) tarif tidak naik selama 25 tahun. (Syaratnya), PSO-nya dipenuhi dan semua yang disebutkan disepakati bersama.
Oke. Apa problem nomor tiga?
Kesadaran masyarakat terhadap keselamatan secara keseluruhan harus ditingkatkan. (Perilaku) naik di atas atap, (menerobos) perlintasan liar, dan lain-lain (masih tetap ada). Nah, janganlah sampai energi kami habis cuma untuk mengurusi yang begini, bukan untuk hal-hal yang strategis. Jadi, dari sisi masyarakat, amat diperlukan kesadaran tentang safety.
Pelayanan kereta Jabodetabek, yang penumpangnya berjubel, masih banyak dikeluhkan. Tanggapan Anda?
Kalau soal kepadatan kereta pada jam-jam sibuk pagi dan sore, itu bukan spesifik Jakarta. Hal yang sama terjadi di Hong Kong, Tokyo, atau Paris. Tapi jumlah kereta (untuk jalur ini) memang masih kurang dan akan ditambah. Sampai 2010, kapasitas (kereta Jabodetabek) cuma 450 ribu per hari. Sekarang sudah 500 ribu, dan akan kita tingkatkan sampai 1,2 juta pada 2018. Tapi sejumlah terobosan sudah kami lakukan.
Misalnya?
Kereta api pagi (Bogor ke Jakarta) dan sore (Jakarta ke Bogor), selangnya cuma 10 menit. Kereta jalur Bekasi, waktu tunggunya masih 15-20 menit, harus dibikin 10 menit sekali. Lima tahun lagi, saya harap (selang waktu antarkereta) 3-5 menit saja.
Apa penyebab lamanya waktu tunggu?
Dulu ada kereta ekspres Pakuan. Begitu dia lewat, kereta lain minggir. Di negara lain tak ada kereta seperti itu. Kereta komuter seharusnya (memberikan) same service, same class, same fare. Sekarang kita masih ada dua jenis kereta komuter: AC dan ekonomi. Ini saya tidak sepakat. Maunya semua pakai AC. Kalau harga (tiket) Rp 7.000 dianggap terlalu mahal, tarif jangan dinaikkan. Sisanya silakan disubsidi (pemerintah)!
Bagaimana dari sisi penumpang?
Kalau penumpang meminta pelayanan lebih baik, tolong ditoleransi bila harga karcisnya disesuaikan. Apakah ada moda transportasi ber-AC dari Jakarta Kota ke Bogor cuma Rp 7.000? Naik sepatu roda saja tidak cukup cuma bermodal Rp 7.000. Apalagi kalau kita menargetkan semua KRL Jakarta dilengkapi AC.
Mengapa semua harus pakai AC?
Sebab, (KRL) adalah etalase Indonesia. Memang ada diskusi di kalangan pengambil keputusan, kalau (tarif) tetap Rp 2.000 dan pakai AC, kita jadi menyubsidi (penumpang) mampu yang tidak berhak disubsidi. Kalau diskusinya begitu, susah. Kalaupun mereka (orang mampu) mendapat subsidi juga, kita asumsikan mereka membayar pajak lebih banyak.
Jadi, kapan semua KRL Jabotabek ber-AC bisa diwujudkan?
Saya tak bisa bilang, karena (keputusannya) tergantung pemerintah. Anda harus mengkonfirmasi ke Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, Wakil Presiden Boediono, dan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto. Mereka yang menentukan.
Apa strategi perbaikan dan pengembangan stasiun yang menjadi tanggung jawab KAI?
Terus terang agak telat, tapi ada tiga hal (yang diprioritaskan). Pertama, semua stasiun kami usahakan bersih. Stasiun di Jawa relatif bersih, Sumatera kurang— tahun ini kami berkonsentrasi di Sumatera. Kedua, tertib. Kalau ngomong bersih dan tertib, sky is the limit, karena (ukurannya) kualitatif. Ketiga, tahun ini sampai tiga tahun ke depan akan ada perpanjangan peron, supaya penumpang tidak menumpuk. Bikin underpass, supaya orang tidak lalu-lalang lewat rel, yang membahayakan. Stasiun akan kami perluas dan kami tambah fasilitasnya.
Tentang pengadaan. Pertimbangan apa yang Anda gunakan untuk memilih lokomotif GE (General Electric) atau Bombardiere?
Pertama, didasarkan pada spesifikasi teknis yang kami butuhkan—jadi bukan karena GE, Bombardiere, atau siapa perusahaannya. Dasarnya adalah spesifikasi teknis yang kami miliki. Kalau ada yang menawarkan lebih canggih, saya lebih senang, tapi harga tidak saya naikkan karena saya bilang, duit kami cuma segini. Kalau harga saya naikkan, bisnis (KAI) bisa terganggu.
Keputusannya?
Waktu itu akhirnya Bombardiere angkat tangan karena dia hanya punya (lokomotif) yang spesifikasinya lebih tinggi dan harganya lebih mahal setengah juta dolar AS per unit. Ya sudah, tidak kami ambil. Spesifikasinya terlalu tinggi. Jadi sesuai dengan fungsinya saja.
Dengan semua perbaikan itu, kenapa kecelakaan kereta masih saja terjadi? Bagaimana mencegahnya?
Angka kecelakaan (sekarang) menurun. Di atas segala-galanya, itu kemurahan Tuhan yang Mahakuasa. Kedua, kami lakukan supervisi berjenjang. Sampai level officer seperti saya, sebulan sekali kena piket mengawal operasi kereta di lokasi tertentu di luar Bandung (kantor pusat KAI). Dulu tidak pernah ada (piket) seperti ini, karena banyak bos merasa sebagai juragan.
Apa sesungguhnya penyebab kecelakaan kereta api, seturut dengan pengalaman KAI?
Ada tiga hal besar: disiplin personel, kelemahan sarana dan prasarana, lalu kombinasi dari dua itu. Faktor alam ada tapi sangat minim.
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan menyorot PT KAI, antara lain tentang tiket ganda yang dialami anaknya. Bagaimana Anda menyikapi kritik ini?
Saya melihatnya sebagai (masukan) pelanggan. Tidak ada kritik, termasuk dari atasan, yang lebih baik dibanding kritik pelanggan. Kepedulian (melalui kritik) seperti tonikum. Jadi makin banyak dikritik, saya makin senang.
Tapi soal tiket ganda ini sering terjadi. Bagaimana Anda mengatasinya?
Begini. Secara sistem tidak mungkin ada tiket ganda. Kalau masih terjadi, mungkin ada kesalahan implementasi di lapangan. l
Ignasius Jonan
Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 21 Juni 1963
Pendidikan:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo