Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Wish a does do wrong?
Next do wrong, a does the seek
been see gear &
awake is so she had &
or a die crew booty smooth &
law leer, band or a key cut.
Pesan pendek itu masuk ke telepon seluler saya, belum lama ini, dikirim seorang teman yang menginginkan bahasa Inggris saya lebih baik daripada sekarang. Sudah berkali-kali dia mengirim pesan lewat bahasa Inggris, dan semuanya bisa saya pahami maksudnya. Tapi tidak dengan pesannya yang terbaru itu. Berulang-ulang saya baca, saya tidak kunjung paham maksudnya. Akhirnya saya menyerah, melakukan sesuatu yang saya tabukan selama ini: membuka kamus Inggris-Indonesia.
Kata demi kata saya cari terjemahannya, lalu disusun menjadi bangunan kalimat. Aneh, setelah dirangkai, kalimat-kalimat itu tidak nyambung, tidak terkonstruksi dalam satu pesan yang utuh. Setengah putus asa, saya minta bantuan Google untuk menerjemahkannya. Saya ketik pesan pendek teman saya itu dalam kotak bahasa Inggris dan di sebelah kanannya langsung muncul terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Ingin suatu tidak berbuat salah? Selanjutnya lakukan salah, apakah dia telah mencari gigi dan terjaga adalah dia dan atau rampasan awak mati halus dan hukum lirik, band atau memotong kunci.
Ternyata terjemahan Google bias mengacaukan, bahkan lebih kacau daripada terjemahan yang saya upayakan sebelumnya. Karena penasaran, saya tanya terjemahannya yang benar kepada si pengirim pesan. Dia pun menjawab singkat, “Wes ra usa gaya, sok Inggris, diwoco coro jowo wae."
Mulanya saya bingung atas jawaban itu. Tapi, setelah menuruti sarannya, saya menjadi geli, lalu tertawa sendiri. Sebab, isinya lucu banget. Lengkapnya seperti ini: Wis adus durung? Nek durung, adus disik ben seger & awake iso sehat & ora dikerubuti semut & laler, ben ora kecut (Sudah mandi apa belum? Kalau belum, mandi dulu biar segar & badan sehat & tidak dikerubuti semut & lalat, biar tidak kecut).
Saya pun mendapat pelajaran berharga bahwa bahasa Jawa bisa ditulis menggunakan kata-kata bahasa Inggris dengan ejaan yang benar. Pun sebaliknya. Sangat mungkin bahasa Inggris dan bahasa lain bisa ditulis menggunakan ejaan bahasa Jawa. Itu semua bergantung pada kreativitas dan ketelatenan.
Ketika kuliah di Malang, saya sering menerima surat dari Bapak di kampung yang menggunakan ejaan bahasa Arab. Namun, ketika dibaca, isi surat itu berbunyi bahasa Indonesia. Rangkaian huruf Arab dan tidak berharakat (tanda baca) itu dikenal sebagai tulisan Arab pegon. Istilah ini sangat terkenal di kalangan pesantren. Sering juga disebut Arab gundul. Sebab, semua kitab kuning (karena ditulis di kertas buram kekuning-kuningan) yang dipakai ditulis menggunakan bahasa Arab tanpa harakat, sedangkan terjemahan kata per katanya ditulis dengan Arab pegon.
Hingga kini, terutama di kalangan masyarakat awam, masih terjadi salah pemahaman. Semua yang ditulis menggunakan ejaan bahasa Arab dianggap Al-Quran. Umat Islam sangat menjaga kesucian Al-Quran sebagai kitab suci. Itu sebabnya, ketika menemukan sobekan Al-Quran, mereka langsung menyimpannya. Ketika menemukan kertas yang ada tulisan Arabnya, mereka akan memungutnya pula. Padahal tidak semua kertas yang ada tulisan Arabnya adalah nukilan Al-Quran, misalnya yang terdapat di sejumlah bungkus produk. Selain menggunakan bahasa Indonesia, kini banyak produk Indonesia yang menulis komposisi bahannya menggunakan bahasa Asing, terutama bahasa Inggris dan Arab. Maka banyak bungkus produk bertulisan makrubah yang semakna dengan kata composition dan komposisi.
Fenomena itu sama dengan sikap sebagian jemaah haji kita yang terus mengucapkan “amin" atas semua khotbah yang disampaikan khatib saat salat Jumat di Masjidil Haram, Mekah. Padahal tidak semua khotbah berisi doa. Maklum, khotbah itu disampaikan dalam bahasa Arab dan mereka tidak mengerti artinya.
Selain bisa digunakan untuk mewakili bahasa lain, penulisan sebuah bahasa bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan rahasia. Di zaman penjajahan dulu, bahasa sastra (puisi dan cerita) dijadikan sebagai sarana pembakar semangat perjuangan. Pada abad ke-17, misalnya, rakyat Banyuwangi yang bergerilya melawan penjajah Belanda memanfaatkan gandrung sebagai sarana perjuangan. Para gandrung lanang (lelaki)—menjelang abad ke-19, tari gandrung dimainkan perempuan—menari sambil membawakan gending pembangkit perjuangan. Gending itu menjadi bahasa sandi, menginformasikan keberadaan tentara Belanda. Tentu saja Belanda tidak mengerti artinya. Sebab, gending itu menggunakan bahasa Using (bahasa penduduk asli Banyuwangi, suku Using).
Bang bang wetan wis rahina
Kekangmas dika ngelilir
Wus wayahe sawung keruyuk
Medala lawang hang wetan
Hang kilen wonten njageni
Parut wesi pikirana lare kag ayu
Gending penutup tarian gandrung itu berjudul Seblang Subuh. Terjemahannya:
Fajar menyingsing di timur menyala
Bangunlah segera Kakanda
Kokok ayam bersahutan ria
Lewat pintu sebelah timur saja
Pintu sebelah barat ada yang jaga
Parut besi (kikir) pikirkan si cantik selamanya
Sangat jelas pesan dalam sandi perjuangan di gending itu. Para pejuang diminta segera bergerak, menyerang dari timur, karena tentara Belanda berjaga-jaga di wilayah barat.
Dengan apik Chairil Anwar juga memompa semangat perjuangan lewat puisi Karawang-Bekasi: ...Kami sudah coba apa yang kami bisa/ Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa….
Di tangan-tangan kreatif, bahasa tidak hanya menjadi dirinya sendiri, tapi bisa menjelma sebagai sesuatu yang memiliki banyak fungsi dan kekuatan.
Wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo