Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilson Sitorus*
Mari sebentar saya kisahkan ihwal Fabrice Muamba, gelandang tengah Bolton Wanderers yang terkena serangan jantung dalam pertandingan perempat final Piala FA melawan tim tuan rumah Tottenham Hotspur. Muamba ambruk di lapangan, babak pertama belum usai.
Paramedis datang cepat-cepat, memberinya napas buatan dan kejut jantung. Enam menit yang kritis, Muamba tak kunjung bangkit. Stadion senyap, beberapa pemain memandang nanar tak percaya, diikuti wajah gelisah suporter yang tak sabar menunggu kabar. Seorang ibu, memakai jersey Hotspur, meneriakkan nama Muamba. Matanya berkaca. Skor masih satu sama, lalu wasit Howard Webb memutuskan menghentikan pertandingan.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi. Sebab, tak tersedia satu pun gambar close-up Muamba. Gambar yang ditayangkan adalah close-up wajah cemas dan simpati dari suporter Bolton dan Hotspur. Mereka berpelukan, saling menguatkan, di antara close-up wajah pemain yang merapatkan tangan merapal doa.
Selanjutnya mari sebentar segarkan ingatan pada pertandingan antara PSMS Medan dan Persela Lamongan bulan lalu. Wasit dan asisten wasit yang dikejar-kejar pemain justru ditayangkan secara close-up. Kita bisa menyaksikan detail (close-up) sang wasit harus merunduk kepayahan menghindari pukulan seorang pemain. Atau asisten wasit yang bergegas mengibas-ngibaskan benderanya sebagai tanda menyerah, karena kecapekan dikejar-kejar suporter.
Kita juga bisa dengan mudah menemukan gambar close-updari red flare yang dibakar suporter dalam pertandingan lain. Atau menyaksikan secara lebih dekat perkelahian antarsuporter di tribun, lengkap dengan makian. Bahkan kita bisa menyaksikan suporter yang dikejar-kejar suporter lain tapi berbalik arah karena sandalnya ketinggalan.
Sejatinya, gambar-gambar kekerasan yang diproduksi televisi dalam live match sepak bola menjadi preferensi bagi suporter untuk bertingkah laku di luar dan di dalam stadion. Perkelahian antarsuporter, yang di-shoot dekat dan detail, akan menjadi pembenaran bagi suporter lain untuk melakukan hal serupa dalam pertandingan lain. Selalu begitu.
Kondisi inilah yang memaksa FIFA mendorong praktisi televisi di Inggris, Italia, Jerman, Belanda, dan Spanyol mempertimbangkan faktor kehati-hatian dan sensitivitas dalam pengambilan dan pemilihan gambar. Terutama dalam laga panas seperti el clasico dan partai derby (laga klub satu kota). Kehati-hatian dan sensitivitas dimaksudkan agar sepak bola tetap sebagai game, permainan, bukan parade kekerasan.
Pertengkaran antarpemain, protes pemain kepada wasit, dan saling ejek antarsuporter bukan bagian dari sepak bola. Tak cukup sampai di situ, harus tersedia cukup garansi, live match sepak bola aman ditonton anak-anak. Sebab, anak-anak itulah yang kelak memainkan bola yang sama. Fair play dimulai sejak dini.
Berbanding terbalik dengan Eropa, karut-marut siaran langsung sepak bola di Tanah Air justru memburuk dalam satu dekade terakhir. Dalam laga langsung yang suporternya terkenal solid, seperti The Jakmania (Persija Jakarta), Viking (Persib Bandung), Bonek (Persebaya Surabaya), dan Aremania (Arema Malang), televisi tidak cukup sungguh-sungguh membantu menurunkan tensi suporter yang cenderung tegang.
Sebaliknya, televisi justru memelihara dan mengelola agresivitas suporter (dan pemirsa) mengingat empat kelompok suporter tersebut terbukti ampuh mengerek rating. Akibatnya, dengan masygul saya sampaikan, live match sepak bola yang seyogianya dinikmati saja berubah menjadi mesin penebar kebencian. Rangga, bobotoh yang tewas mengenaskan dalam partai klasik Persija versus Persib pada Minggu pekan lalu, adalah korban berikutnya dari karut-marut live match ini.
Revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang dilakukan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat bisa menjadi solusi. Dalam Undang-Undang Penyiaran versi perbaikan harus tersedia cukup pasal yang jelas dan tegas, mengatur apa yang boleh dan tidak dalam live match sepak bola. Hal-hal yang bisa menimbulkan kekerasan dan kebencian wajib disingkirkan dari siaran langsung sepak bola di televisi. Hanya dengan begitulah televisi dapat dianggap berkontribusi memajukan sepak bola, bukan memajukan perolehan rating saja.
Penulis praktisi televisi. Tulisan ini pendapat pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo