Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH tiga tahun peristiwa kebakaran hutan dan lahan mereda, asap kembali mencekik sebagian Sumatera dan Kalimantan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan asap pekat karena nyaris tidak ada hujan dan masifnya lahan gambut yang terbakar.
Tudingan langsung mengarah ke Badan Restorasi Gambut. Lembaga nonstruktural ini dibentuk Presiden Joko Widodo setelah kebakaran pada 2015—bencana ekologis terbesar sejak 1997 yang menghanguskan 2,67 juta hektare dan menyebabkan kerugian Rp 221 triliun. Tugas lembaga ini membasahi kembali 2,5 juta hektare lahan gambut yang puluhan tahun kering di tujuh provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua demi mencegah terulangnya bencana asap. Dengan masa kerja hingga akhir 2020, mereka telah merestorasi 679 ribu hektare lahan.
Kerja tiga tahun Badan Restorasi Gambut seperti terhapus data. BNPB menyatakan kebakaran gambut di Sumatera dan Kalimantan mencapai 89 ribu dari total 328 ribu hektare bidang hangus per akhir bulan lalu atau sekitar 27 persen. Jumlah itu tidak bergeser banyak dibanding bencana asap 2015, yaitu 29 persen. Sejumlah lembaga lingkungan menilai Badan Restorasi Gambut gagal. Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead menolak tudingan tersebut. “Restorasi gambut memberikan kontribusi meminimalkan api, tapi gambut yang belum terestorasi terbakar lebih hebat,” kata Nazir, 52 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 19 September lalu.
Di sela agendanya yang menjadi sangat padat selama bencana asap, Nazir menerima wartawan Tempo, Stefanus Pramono, Reza Maulana, dan Aisha Shaidra, di sebuah kedai kopi di kawasan Kuningan, Jakarta. Selama lebih dari dua jam, mantan Direktur Konservasi WWF Indonesia itu membeberkan kompleksitas memperbaiki ekosistem gambut, kegeramannya terhadap pelaku pembakaran hutan, dan impiannya menggerakkan ekonomi di lahan gambut. “Kalau kegiatan ekonomi berjalan, orang tidak mau lagi diajak membakar lahan,” ujar sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini.
Sejumlah lembaga lingkungan menilai bencana asap 2019 tidak lepas dari kegagalan restorasi gambut. Tanggapan Anda?
Saya tidak setuju. Saya tekankan, data menunjukkan titik api di daerah yang telah kami restorasi sedikit. Jadi restorasi gambut memberikan kontribusi meminimalkan api, tapi gambut yang belum terestorasi terbakar lebih hebat.
Kenyataannya, persentase lahan gambut yang terbakar tidak berbeda jauh dari kebakaran 2015.
Ya, harus diakui pembangunan yang dilakukan masih belum optimal. Tapi ada area yang kami intervensi sama sekali tidak terbakar. Contohnya di Riau. Kami membuat tabel desa, lengkap dengan lokasi kanal, sekat, serta keterangan area yang terbakar. Jika dihitung, rata-ratanya 30 persen hampir terbakar, 70 persen sisanya tidak. Jadi perbandingannya satu banding dua. Yang terbakar itu pun hanya wilayah pinggiran desa, yang berbatasan dengan lahan terbakar.
Berapa banyak?
Dua persen dari total target restorasi kami.
Seberapa krusial gambut dalam kebakaran lahan?
Bukan main pentingnya. Tiga tahun lalu, saya berkonsultasi dengan seorang ahli kebakaran hutan Amerika Serikat. Saya lupa namanya. Sepanjang kariernya di kehutanan Amerika, dia cuma mengurusi wildfire. Di sana, kalau terjadi kebakaran gambut, yang bisa memadamkan cuma salju yang mencair di musim semi, sekitar April. Sama seperti hujan lebat di Indonesia. Sementara itu, kebakaran terjadi di musim panas, Juli-Agustus. Jadi harus menunggu delapan bulan. Padahal lapisan gambut mereka cuma tiga meteran. Bandingkan dengan gambut Indonesia yang puluhan meter.
Bukankah Amerika Serikat memiliki keunggulan teknologi pemadaman, seperti pengeboman air dari udara?
Saya singgung soal itu. Pakar tersebut tertawa. Dia bilang, itu biar aparat terlihat bekerja saja, ha-ha-ha.... Pemadaman dari udara hanya memadamkan api permukaan, sementara api di bawah tanah masih hidup.
Artinya, rencana pemerintah membuat hujan buatan akan sia-sia?
Tidak. Asalkan hujannya lebat. Juga tergantung berapa lama lahan itu terbakar. Api di lahan yang baru terbakar bisa padam. Di luar itu, butuh pemadaman manual. Caranya dengan memendam kepala slang dan menyemprotkan air ke tanah. Bisa juga dengan penyiraman biasa, tapi lama. Satu petak butuh beberapa puluh menit, baru pindah.
Ada laporan yang menyebutkan titik api berasal dari perkebunan sawit. Kok, bisa?
Di lahan hak guna usaha ada, tapi kecil. Begitu juga di hutan tanaman industri. Umumnya terbakar karena rembetan api dari lahan sebelahnya. Lebih besar api di lahan luar konsesi.
Badan Restorasi Gambut punya perkiraan sumber api?
Pak Doni (Kepala BNPB Doni Monardo) mengatakan 99 persen karena manusia. Menurut saya, 90 persen lahan sengaja dibakar, yang tidak sengaja cuma 9 persen. Itu hasil rapat koordinasi BNPB yang melibatkan pakar gambut dan kebakaran hutan pada April lalu.
Sengaja dibakar untuk membuka lahan?
Ya. Yang gawat itu pembakaran oleh cukong, karena besar-besaran.
Nazir Foead (tengah) meninjau sekat kanal di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, 15 Maret 2018. Dok. BRG
Anda punya identitasnya?
Tunggu saja nanti siapa yang menanam pasca-kebakaran. Mereka adalah orang-orang yang punya pengaruh, baik secara ekonomi maupun politik. Punya modal untuk mengorganisasi sekian orang untuk membakar ratusan hektare sekaligus. Harus dicari pelaku, termasuk pemodalnya. Siapa mereka? Kepolisian yang lebih tahu.
Kenyataannya, tersangka pembakar hutan malah banyak mendapat penghentian penyidikan dan penuntutan.
Soal itu saya tidak mau mengomentari.
Apakah penegakan hukum berkaitan dengan kebakaran hutan berjalan efektif?
Presiden sudah cukup keras. Pelaku harus dituntut secara pidana, perdata, dan administratif. Ketiga-tiganya, bukan hanya salah satu. Jadi pelaku dipenjara, mengganti kerugian negara, dan dicabut izin usahanya. Saya usulkan ditambah satu unsur lagi: blacklist dari perbankan, sehingga begitu keluar dari penjara, dia tidak dapat lagi berusaha. Kalau satu hukuman saja, tidak akan jera.
Mengapa harus dituntut secara berlapis?
Kita butuh upaya ekstrem. Sebab, iklim makin kering. El Nino dan Indian Ocean Dipole menarik uap air ke luar wilayah kita. Saya meyakini kebakaran hutan terjadi karena orang sengaja membakar. Selama ada pembakar, meski sudah restorasi, kebakaran akan terus berulang. Maka penegakan hukum menjadi kunci.
Jadi di mana titik lemah penegakan hukum soal kebakaran hutan?
(Nazir menjawab secara off the record.)
Dengan masa kerja hingga akhir 2020, mengapa restorasi masih jauh dari target 2,67 juta hektare?
Jumlah itu dibagi tiga kategori. Sebanyak 1,7 juta hektare merupakan lahan konsesi, 688 ribu hektare hutan lindung dan lahan tanpa izin, ditambah 200-an ribu hektare kawasan konservasi. Di dua kategori terakhir, kami telah membasahi 679 ribu hektare, jadi sudah sekitar 70 persen. Sementara itu, restorasi di lahan konsesi merupakan tanggung jawab perusahaan. Jumlah itu terbagi atas 1,2 juta hutan tanaman industri dan 500-an ribu hektare hak guna usaha perkebunan sawit. Di sawit, kami telah membimbing dan menginspeksi restorasi sekitar 60 persen total lahan. Yang 1,2 juta hektare itu kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Yang dipegang Badan Restorasi Gambut memang jumlahnya lebih sedikit.
Mengapa pengawasan tidak satu atap?
Untuk sementara, kami percayakan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Kami memiliki keterbatasan anggaran dan personel.
Berapa anggaran dan personel Badan Restorasi Gambut?
Tenaga kami 116 aparat sipil negara. Anggaran Rp 320 miliar per tahun. Paling besar digunakan untuk infrastruktur.
Infrastruktur apa saja?
Pembangunan sekat kanal. Lahan-lahan gambut kita dipenuhi sekat kanal. Ada yang dibangun di masa transmigrasi Orde Baru, pada awal 1980-an. Waktu itu Pak Harto (Presiden Soeharto) mau mengeringkan lahan gambut dan dijadikan sawah. Ada juga kanal yang dibangun perusahaan sawit untuk pengangkutan. Masyarakat juga banyak membangun kanal untuk pengairan sawah. Kanal ini membuat lahan kering di musim kemarau. Maka presiden meminta dibuat sekat.
Seberapa efektif metode tersebut?
Paling efektif karena banyak lahan gambut di Indonesia yang hanya menerima air dari hujan. Jadi, kalau banyak kanal, otomatis kering saat kemarau. Kami juga membuat sumur-sumur bor. Ini kami pelajari dari sejumlah petani yang lahannya tidak terbakar meski dikepung api pada musibah 2015. Kami membuat sumur di lokasi yang tidak memiliki kanal. Saat kebakaran, sumur ini bisa menjadi sumber air untuk memadamkan api.
Pemulihan gambut butuh berapa lama?
Bertahun-tahun. Di Jepang, butuh 10 tahun untuk 300 hektare. Jadi, kalau mau restorasi 2 juta hektare, butuh lebih dari 10 tahun, he-he-he....
Setelah itu, gambut kembali seperti kondisi awal?
Tidak. Belum berbentuk hutan gambut, baru tanah yang kembali lembap.
Jadi kapan kita bisa kembali melihat hutan gambut di kawasan yang kini rusak?
Tergantung kerusakan. Kerusakan ini dihitung sejak awal dikeringkan, bukan saat terjadi kebakaran. Gambut di Indonesia dikeringkan sejak 40 tahun lalu. Baru disekat sekitar 2018. Butuh 10 tahun untuk basah kembali. Untuk kawasan budi daya, begitu lembap akan langsung ditanami dan ada yang menjaga. Untuk kawasan konservasi, mungkin butuh 100 tahun untuk bisa tumbuh hutan kembali.
Hitung-hitungan itu bisa berubah jika ada pembukaan lahan....
Deforestasi di Indonesia sudah turun sampai belasan persen dua-tiga tahun terakhir. Tren ini sudah cukup baik, karena tren sebelumnya naik. Perlu diapresiasi. Deforestasi di Brasil, misalnya, malah naik.
Tapi penebangan hutan tetap ada, karena pemberian konsesi baru.
Konsesi baru sudah tidak ada. Kan, ada moratorium izin pengelolaan hutan primer dan lahan gambut.
Juli lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan izin pengelolaan 18 juta hektare.
Saya tidak mau mengomentari itu.
Pemeliharaan lingkungan selalu berbenturan dengan ekonomi. Bagaimana mencapai titik temunya?
Saya menawarkan pembangunan wilayah dan investasi yang bersahabat dengan gambut. Kami sedang membuat model bisnisnya.
Seperti apa model bisnisnya?
Misalnya pengembangan ikan gabus. Pak Doni Monardo sering mengatakan ikan gabus hidup di gambut. Ikan itu memiliki albumin (protein pengatur tekanan darah) yang tinggi. Bisa juga budi daya sagu. Kami masih hitung, mulai kebutuhan investasi per hektare, break-even point (titik impas) dicapai berapa tahun, dan sebagainya. Saya juga bermimpi membangun pembangkit listrik tenaga biomassa dengan bahan bakar limbah perkebunan. Sisa pembakaran akan jadi abu yang digunakan kembali oleh petani untuk menetralkan keasaman tanah gambut. Jadi zero waste. Kalau hanya restorasi tanpa membangun ekonominya, sia-sia. Akan selalu ada orang yang akan membakarnya.
Ada tudingan pemerintah daerah lamban menangani bencana asap dan mencegah kebakaran hutan. Anda sependapat?
Saya hanya bisa berbicara soal restorasi gambut. Tahun ini lebih baik daripada tahun kemarin, sebelum pemilihan kepala daerah serentak. Waktu itu banyak pemerintah daerah ragu-ragu bekerja sama dengan kami. Alasannya, mereka sudah punya banyak pekerjaan, ditambah pekerjaan dari kami. Ada juga yang takut terjerat Badan Pemeriksa Keuangan dan Kejaksaan. Kami tidak punya tenaga di daerah, perlu meminjam tangan pemerintah daerah. Jadi kami membantu secara teknis, administrasi, dan keuangan. Tahun berikutnya sudah lebih baik.
Hasilnya bagaimana?
Ada yang bagus, ada yang sulit. Bervariasi. Idealnya, kami punya satuan kerja di daerah dan memiliki organisasi vertikal di daerah. Indonesia punya lahan gambut terbesar kedua di dunia. Kontribusinya terhadap perubahan iklim besar. Badan ini perlu punya wewenang yang kuat, lembaga yang kuat.
Kenyataannya, masa kerja Badan Restorasi Gambut hanya sampai 2020....
Ya. Itu agak repot.
Seberapa besar kemungkinan lembaga ini berlanjut?
Baru akan dibahas. Kami harap dilanjutkan.
Nazir Foead
Tempat dan tanggal lahir: Medan, 6 Juni 1967 | Pendidikan: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985-1992), Master Biologi Konservasi University of Kent, Inggris (1995-1996), Kursus intensif pengelolaan hutan berkelanjutan di University of Göttingen, Jerman (1995), Kursus analisis DNA di Indiana University, Amerika Serikat (1997) | Karier, di antaranya: Pemimpin Program Indonesia di Climate and Land Use Alliance (2014-2016), Direktur Konservasi WWF Indonesia (2011-2014), Manajer Stasiun Riset Kayan Mentarang, Kalimantan Timur (1992-1995)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo