Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG lelaki mendekat ke sebuah instalasi infus yang tergantung berjajar di sisi belakang panggung. Ia membuka salah satu keran infus dan air menetes jatuh ke kaleng yang tertata di bawahnya. Tetesannya lambat, mengeluarkan bunyi yang lembut, tapi keras—sebuah mikrofon tertempel di bodi kaleng. Ia kemudian membuka keran infus berikutnya, hingga yang keempat. Masing-masing dengan kecepatan tetesan berbeda. Ia juga menyiapkan empat kaleng yang berlainan volumenya. Maka lahirlah empat nada bersahutan dengan pola irama yang konstan. Lelaki itu lalu pergi, membiarkan jalinan bunyi dan ritme bergerak ajek seperti mesin. Tak berapa lama kemudian, bunyi tetesan itu berangsur menghilang, fade out.
Sebuah layar transparan di sisi depan panggung menampakkan video tetesan-tetesan air yang menghunjam dari langit, mengalir dari pancuran, menetes di tritisan rumah. Bebunyian elektronik (sequencer) menguatkan aksen jatuhnya air. Video ilustrasi berlanjut ke alam saujana mata yang segar oleh perairan. Seorang penari perempuan meliuk-liuk mengikuti irama. Ia terus menari dan menari: di taman air, di bawah pancuran, di taman air dangkal sembari tiduran. Lalu ia mendapati air pancuran menggelontorkan sampah plastik yang tidak berkesudahan. Ia menelan dan terus menelannya hingga ambruk tak sadar.
Itu sekuen-sekuen yang tampak dari hampir separuh pertunjukan Air Mata Air karya Memet Chairul Slamet di Balai Soedjatmoko, Surakarta, Jawa Tengah, Rabu malam, 4 September lalu. Pertunjukan ini melibatkan seniman kolektif lintas disiplin seni: Martinus Miroto (koreografer), Paknyang Kutai (sineas), Pangesti Adji Tito dan Dwi Heriyana (skenografer), Ahmed Sinar (music sequencer), serta Memet sebagai komposer. Air Mata Air berada di area musik modern dan tradisi, bisa di wilayah pra-musik atau sekaligus pasca-musik. Lebih tepatnya borderless, menjebol sekat disiplin musik.
Memet mendasarkannya pada konsep indeterminacy dengan mensinestesiakan cabang-cabang seni yang cair. Ini bukan barang baru bagi para komponis. Sinestesia bebas itu menempatkan komposisi ini bukan sebagai aliran tertentu, melainkan suatu sikap atau cara komposisi tertentu. Memet hanya merumuskan berbagai tindakan, proses, atau aturan yang harus dilaksanakan. Bahkan ia lebih menekankan pada pelaksanaan daripada hasil konkretnya. Sinestesia ini dengan sendirinya telah mengacaukan relasi struktural ala musik modern.
Filsuf Gilles Deleuze pernah mengatakan, menghadapi karya-karya yang tidak bisa diukur dengan ukuran estetis biasa bisa membuat penonton mengalami sebuah pengalaman baru. Sebuah pengalaman estetis yang kadang kacau tapi menakjubkan. Sublim. Pada titik ini, Memet melakukan new configuration atas kecenderungan bentuk musik yang modern.
Hanya, ia masih terlalu berhati-hati untuk keluar dari belenggu musik modern yang baku itu. Misalnya, pada beberapa sekuen pertunjukan berdurasi sekitar satu jam itu, ia menghadirkan pola-pola permainan yang enak didengar melalui tiupan klarinet dan kecipak air dalam stoples. Selain itu, di sekuen akhir yang menggambarkan sesosok berpenampilan dokter terbungkus lilitan plastik, ia memberikan nada-nada nglangut lewat tiupan okarina. Mengapa air di dalam stoples tidak dibiarkan saja sebagai sesuatu yang simbolis? Mengapa tetesan infus yang berbunyi sejak awal tidak dibiarkan saja hingga akhir pertunjukan?
Sentuhan-sentuhan artistik yang cenderung linier itu sedikit menutup ruang penafsiran yang liar dan produktif dari sebuah tema besar sesuatu yang “tidak beres” dalam sebuah kultur. Pada poin ini, Air Mata Air lantas secara banal diartikan sebagai kondisi tatkala “mata air” telah berubah menjadi “air mata”. Terlebih dikuatkan dengan mozaik sinematik yang dramatis tentang tragedi limbah sampah di perairan.
Betapapun demikian, dengan karya ini Memet menunjukkan konsistensi pada laku dekonstruktif. Memet kerap menggarap tema environmental, seperti Musik Batu. Pada 2009, ia membuat Water N.I., yang bertolak dari asumsi bahwa air bisa dieksplorasi menjadi suatu bentuk komposisi musik dan visual dengan memperhatikan kerapatan energi di dalamnya. Dan, kini, ia membuat musik tetesan air.
JOKO S. GOMBLOH, PEMERHATI MUSIK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo