Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI-KURSI ruang Black Box Theater, Salihara, Jakarta, pada 7-8 September lalu diubah menjadi berbentuk arena. Langit tengah ruangan digelantungi ratusan lampu pijar indah. Kilaunya kuning keemasan. Lampu-lampu itu bergelantungan menggunakan tali kabel hitam dengan panjang berbeda-beda. Ada yang sangat panjang hingga lampu mudah tersentuh kepala orang dewasa.
Di bawah naungan lampu itu, tiga penampil berdiri: Jule Flierl, penari dari Berlin; Gaëtan Rusquet asal Brussels; serta penari Claire Vivianne Sobottke. Di sisi panggung yang berseberangan, ada disc jockey Mieko Suzuki dan gitaris Ikbal Simamora Lubys. Sebelum memasuki area panggung, koreografer pertunjukan ini, Meg Stuart, berpesan: tak boleh ada telepon seluler yang menyala di ruangan. Sinar dari lampu-lampu pijar itu menjadi satu-satunya petunjuk dalam hening.
Kepiluan dari Celestial Sorrow langsung menyergap sejak awal. Ketiga penampil berputar di tempat dengan ritme sangat lambat hingga ketukan kaki mereka tak terdengar. Mata mereka terpejam. Claire kadang hanya mendesis, kadang merintih, lalu melolong seolah-olah menahan lara. Lampu-lampu itu perlahan meredup. Mieko kemudian berkeliling panggung ke dekat penonton, membawa sebatang dupa yang sudah dinyalakan. Tak lama asap kemenyan berpilin dengan ringikan Claire yang makin kentara.
Pertunjukan ini hendak membawa kita kepada “hantu-hantu” Orde Baru. Orde Baru, menurut Meg Stuart, “belum rampung”. Dia masih membayangi masyarakat Indonesia. Meg, kelahiran New Orleans, Amerika Serikat, selama ini tinggal di Berlin dan Brussels. Ia mendirikan Damaged Goods pada 1994 di Brussels. Celestial Sorrow adalah proyek pertama Meg dengan Jompet Kuswidananto. Keduanya berkolaborasi karena sama-sama terpikat oleh fenomena kerasukan dalam sejumlah bentuk kesenian tradisional, juga kisah-kisah traumatis kolektif.
Untuk menyelami konsep hantu yang diusung dalam pertunjukan ini, Meg menemui seseorang di Bali yang bisa menghubungkannya dengan dunia lain. Selain itu, di Yogyakarta, ia dan Jompet menonton upacara adat yang pelakunya mengalami trance. Keduanya juga menemui banyak orang, sampai kemudian terpikir soal instalasi lampu pijar. Setelah Soeharto lengser, tumbuh demokrasi yang membuat banyak hal menjadi “terang”. Namun, menurut Jompet, pada saat yang sama rasa takut akan kegelapan masih tumbuh.
Itulah yang hendak mereka sajikan. Pada satu waktu lampu-lampu itu padam dan ruangan gulita. Saat itulah kisah-kisah yang selama ini berdiam diri mulai berbunyi. Claire, Jule, dan Gaëtan bergantian mengerang dan nyerocos. Awalnya tak jelas karena lidah mereka seperti tersekat. “I’m so sad…,” kata Gaëtan, lalu merintih. “They’re coming….” dia melanjutkan, lalu kembali mengeluarkan suara yang lebih mirip orang sedang berkumur.
Lalu lampu sedikit demi sedikit benderang. Tiga penampil yang tadi tampak seperti orang kesurupan sudah bisa menguasai diri. Ketiganya lantas berjalan ke sisi arena berbeda, masing-masing menjemput satu penonton. Si penonton lalu diajak berjalan dengan ritme pelan dan diajak duduk di kursi yang berbeda dengan kursi semula. Jule kemudian menyanyi, melengking dengan nada sedih. Claire muncul dengan selimut bulu warna emas. Ia membungkus dirinya dengan selimut itu, lalu bergulingan di lantai.
Tatkala musik dari Meiko berdentum, berpadu dengan suara gitar Ikbal yang makin cepat, ketiga penampil makin bersemangat menggeliat. Saat suasana kian gaduh, Ikbal masuk ke panggung, disusul Meiko, yang membawa tamborin. Adapun cahaya ratusan lampu di panggung makin “membelalak”, menerangi manusia-manusia di bawah naungannya.
Tapi tak lama kemudian lampu meredup, menyuguhi penonton sisi personal Claire, Jule, dan Gaëtan. Ketiganya berceloteh tentang keseharian, tentang pemandangan di sebuah danau yang indah, pesta pernikahan, gurunya yang mabuk saat karyawisata, aplikasi FaceApp, juga fotonya di Instagram saat ia kepedasan ketika makan gado-gado. Mereka berkisah sembari berganti kostum di panggung.
Selama pertunjukan, mereka berganti kostum dua kali. Terakhir, Claire berselubung jubah yang dipasangi lampu slang hias warna-warni. Ia menyeret truk mainan bergambar wajah Soeharto di salah satu sisinya sembari mendendangkan lagu Hati yang Luka dari Betharia Sonata. Namun semua tinggal cerita, hati yang luka....
ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo