Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di mata Bung Karno, perwira tinggi marinir inisaat itu ia berpangkat Mayor Jenderal KKO (Korps Komando, kini Korps Marinir)adalah figur yang cerdas, punya ambisi, dan een beetje koppigheid alias sedikit keras kepala. Sifat-sifat ini, menurut sang Presiden, amat diperlukan untuk "mengendalikan" Jakarta yang semrawut. Pada 28 April 1966, Presiden melantiknya sebagai Gubernur DKI Jayadi Istana Negaradalam usia belum genap 39 tahun. Mengenakan seragam marinir putih bersih, Bang Alisebutan akrabnyatampak begitu gagah, berdampingan dengan istrinya yang charming: dokter gigi Nani Sadikin.
Lantas, apa yang dia hadapi setelah upacara pelantikan itu? Sebuah Jakarta yang bobrok. Sarana lalu lintas amat minim dan buruk. Jalanan berlubang di semua pelosok kota. Permukiman kumuh terlihat mencolok, gang-gang becek dan kotor. Belum lagi tekanan krisis ekonomi, dengan laju inflasi yang mencapai angka 650 persen. Di samping itu, ada 24.700 pegawai di DKI yang harus dihidupi. Untuk menggelindingkan roda Pemda DKI, pemerintah pusat cuma sanggup memberinya Rp 66 juta. Sekalipun begitu, bagi Bang Ali, tidak ada tantangan yang terlalu besar untuk ditaklukkan. Pria kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927, itu mampu menyulap wajah Jakarta menjadi kinclong dalam dua periode jabatan (1966-1977). Ia juga mendongkrak pendapatan pemda dari Rp 66 juta per tahun menjadi Rp 122 miliar per tahun pada 1977.
Prestasi ini tak cuma mengundang puji-puja. Bang Ali pernah dituding sebagai gubenur maksiat dan judi oleh kaum ulama. Mereka sangat tidak berkenan akan kebijakannya meresmikan judi dan melokalisasi pekerja seks di Kramat-tunggak, Jakarta Utara. Tapi Ali Sadikin tak gentar. Ia punya alasan: lokalisasi perlu untuk membersihkan pelacur dari jalanan Ibu Kota dan mempermudah kontrol kesehatan mereka. Sedangkan perjudian dilegalisasi karena selain bisa dikontrol, juga mendatangkan pajak yang cukup besar bagi Pemda DKI. Selain perjudian, bar, dan panti pijatmendapat izin resmijuga segera menjamur di pusat keramaian Jakarta.
Berbekal uang judi, antara lain, sang Gubernur mempercantik Ibu Kota dengan membangun Taman Impian Jaya Ancol, Monas, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Fair, Proyek Senen, Sekolah Olahraga Ragunan. Ia mendirikan halte bus dan jalanan Ibu Kota, serta sejumlah proyek lain. Ia juga berhasil mendapat pinjaman Bank Dunia untuk Proyek Perbaikan Kampung MHT (Muhamad Husni Thamrin)proyek paling besar sepanjang karirnya sebagai gubernur.
Ali Sadikin juga mudah dikenang karena sikapnya galak. Ia tak segan melontarkan kata-kata yang pedas. Ia juga enteng saja melayangkan tinju manakala terlihat olehnya polisi curang atau calo yang petantang-petenteng memeras masyarakat di jalanan. Mantan Menteri Perhubungan Laut (1963) dan Menteri Koordinator Maritim (1964) itu mengaku, jadi gubernur lebih sulit ketimbang jadi menteri. "Urusan gubernur itu bertanggung jawab terhadap bayi yang masih dalam kandungan ibu sampai kuburan orang mati," ujarnya kepada TEMPO.
Setelah pensiun dari dinas pemerintahan, ia aktif di Petisi 50satu gerakan moral yang banyak mengkritik kebijakan Soeharto. Kegiatan ini mendatangkan berbagai kesulitan. Ia dilarang pergi ke luar negeri. Kegiatan bisnis Bang Ali, anak-anaknya, dan keluarganya "dimatikan" perlahan-lahan. Toh, mantan Deputi Kepala Staf Angkatan Laut ini menyebutkan, "Kelahiran Petisi 50 itu ibarat Tuhan membangkitkan kami yang tua-tua. Sebab, mahasiswa dibuat tak lagi berdaya sejak zaman Menteri Daoed Joesoef."
Ayah lima anakdari dua perkawinanitu memang dekat dengan mahasiswa. Pada 1977, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia menjagokan Ali sebagai calon presiden. Tapi Ali mengatakan, "Saya tidak pernah berpikir menjadi presiden. Jadi gubernur saja seperti mimpi."
Ditemui wartawan TEMPO Edy Budiyarso dan fotografer Rini PWI, Kamis pekan lalu, Ali Sadikin tampak segar-bugar. Tubuhnya masih gagah dalam balutan kemeja batik cokelat tua lengan pendek. Di rumah yang rimbun itu, letnan jenderal (purnawirawan) ini menjalani hari tua dengan istrinya, Linda ManganBang Ali menikah lagi sepeninggal Nani Sadikindan sejumlah pembantu setia yang tak pernah meninggalkannya, bahkan di masa-masa paling sulit. Berikut petikan wawancaranya:
Akhir-akhir ini kerap terjadi protes terbukabahkan pembakaran dan perusakanterhadap tempat perjudian dan pelacuran. Menurut Anda, mengapa?
Judi itu tidak bisa diberantas. Apalagi di kalangan masyarakat Tionghoa. Bagi mereka, judi merupakan budaya untuk membuang sial. Bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), almarhum Hasan Basri, mengatakan, judi tidak bisa diberantas. Dan jika hanya menimbulkan kerugian karena ditutup lalu menyebar ke mana-mana, lebih baik judi dilokalisasi.
Tapi, bukankah ada kelompok masyarakat yang merusak tempat-tempat ini dengan dalil agama, seperti Front Pembela Islam, misalnya?
Mungkin ini terjadi karena pandangan keislaman mereka yang hebat, tetapi tidak tahu cara pemecahan (masalahnya). Jadi, penyelesaiannya dengan cara merusak. Tetapi, selama manusia itu bukan malaikat, ya (perbuatan itu) tidak bisa dielakkan. Yang paling bisa kita lakukan adalah mencegahnya agar tidak lebih meluas.
Apa saja bentuk protes yang Anda terimasemasa jadi Gubernur DKI Jayatatkala melokalisasikan pelacuran dan meresmikan izin perjudian di Jakarta?
Saya melakukan itu untuk umat Islam yang menjadi bahagian terbesar penduduk Jakarta. Jadi, saya tidak banyak mengalami gangguan.
Masa? Bukankah alim ulama dari berbagai agama mencela tindakan Anda secara terbuka?
Saya tahu judi itu haram. Saya sendiri tidak pernah berjudi. Dan biarkan hal ini (kebijakan soal judi) menjadi tanggung jawab saya pribadi kepada Tuhan. Tetapi, kalau judi dilarang, warga Jakarta tidak bisa keluar rumah. Dan bapak-bapak harus pakai helikopter kalau mau ke mana-mana karena jalan-jalan di Ibu Kota dibuat dari uang judi.
Bukankah gara-gara judi dan lokalisasi pelacuran, Anda mendapat julukan gubernur judi dan maksiat?
Itu semata-mata karena keterbukaan saya. Membina Kota Jakarta itu seperti memimpin perusahaan raksasa. Rakyat yang menjadi pemegang saham karena rakyat yang membayar pajak. Saya menjadi direksi, DPRD menjadi direktur utama dan dewan komisaris. Itu falsafah saya. Saya dan DPRD tidak bisa bertengkar karena kami bersama-sama ingin membangun Jakarta.
Lalu, apa konsep Anda membangun Jakarta dengan kondisi sosial yang amat buruk pada era 1960-an?
Menjadikannya kota industri, perdagangan, dan jasa. Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Jakarta hanya punya lahan sempit, tidak punya areal sawah. Sementara itu, jumlah penduduk besar tapi pada menganggur. Jadi, harus diciptakan kota industri yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Mengapa Anda tampaknya berkonsentrasi betul membangun pusat budaya, jika niatnya mengembangkan kota industri?
Sebagai ibu kota negara, Jakarta akan kering tanpa sentuhan budaya. Ia juga harus bisa menjadi kota budaya dan seni nasional. Ketika itu, di Jakarta ada sekitar 3,6 juta penduduk pribumi dan asingyang pasti tidak mampu berkeliling Indonesia. Karena itu, saya dirikan Institut Kesenian Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Juga Taman Ismail Marzuki dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Anda membuat TMII? Bukankah itu proyek Ibu Tien Soeharto yang diprotes besar-besaran oleh mahasiswa karena menggusur banyak tanah rakyat?
Saya meneruskan ide Bung Karno tentang Taman Bhineka Tunggal Ika, tentang sebuah miniatur Indonesia. Ibu Tien juga punya pikiran yang sama. Ide ini kemudian saya programkan dalam pembangunan Jakarta dan itu disahkan DPRD DKI Jakarta dengan nama TMII.
Di mana peran Ibu Tien Soeharto?
Soal duit menjadi urusan Ibu Tien. Dan saya merasa beruntung karena dengan begitu DKI Jakarta bisa menghemat anggaran. Saya memang tidak mau tahu, uang untuk membangun itu dari mana. Kepada Ibu Tien, saya hanya menunjukkan ada tanah 400 hektare di Jakarta Timur. Pada awalnya Bung Karno ingin Taman Bhineka Tunggal Ika ada di dekat Hotel Indonesia. Tapi kalau dibangun di situ akan mengganggu lalu lintas dan tidak bisa luas.
Model pembangunan Jakarta yang Anda kembangkan dikritik karena menumbuhkan urbanisasi besar-besaran.
Memang terjadi urbanisasi luar biasa ke Jakarta. Tapi, kalau saya tidak membangun kota ini, rakyat Jakarta mau kerja di mana?Anda juga dituding hanya membangun untuk kaum berpunya.
Memang ada kritik seperti itu. Kalau masyarakat Jakarta ada yang berpunya, itu bukan urusan saya. Orang menjadi mampu itu bukan dari saya. Dan saya membangun Proyek Perbaikan Kampung MHTsuatu proyek perbaikan kampung untuk rakyat kecil.
Benarkah ini proyek yang bermasalah?
Begini. Awalnya saya tidak mendapatkan persetujuan dari Ketua Bappenas. Ketua Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional), Widjojo Nitisastro, memperoleh pinjaman Bank Dunia untuk proyek perbaikan kampung. Saya sudah katakan, saya bertanggung jawab atas masyarakat Jakarta dari bayi sampai mati. Jadi, lingkungan hidup Jakarta juga harus diperbaiki. Kalau tidak, mereka pada mati karena penyakit pes, tifus, disentri. Tidak ada listrik, tidak ada jalan, tidak ada telepon. Ini ditolak oleh Widjojo. Kan sial.
Kok, proyek itu dapat berlangsung?
Suatu waktu pada 1969, tanpa sepengetahuan saya, staf saya menerima tamu dari Bank Dunia. Pihak Bank Dunia ternyata sedang mengadakan peninjauan langsung ke pelosok-pelosok Jakarta. Sewaktu mereka mau pulang, mereka datang kepada saya. Kata-kata yang pertama kali mereka katakan kepada saya adalah, "Tuan, apa yang saya cari di mana-mana ternyata ketemu di sini." Saya bilang, "Apa?" Jawab mereka, "Proyek perbaikan kampung dengan biaya yang murah."
Lalu?
Mereka menawarkan pinjaman dengan bunga ringan 3 persen. Grace period (masa bebas bayar bunga) pinjaman itu 10 tahun dan baru dilunaskan setelah 30 tahun. Akhirnya MHT ini menjadi proyek Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jadi, biaya proyek itu tidak saya dapat dari pemerintah pusat. Sialnya lagi, proyek ini kemudian dieksploitasi pemerintah pusat. Bunga pinjaman dinaikkan dan waktu pengembalian diperpendek, tidak 30 tahun.
Siapa yang Anda maksud pemerintah pusat yang mengeksploitasi pinjaman Bank Dunia itu?
Ya, Bappenas dan Menteri Keuangan. Saya membayar pengembalian pinjaman itu kepada pemerintah pusat.
Untuk apa saja uang itu selain perbaikan kampung?
Membangun puskesmas di setiap kelurahan dan klinik di setiap kecamatan. Puskesmas itu bisa membantu kesehatan warga. Balita, ibu hamil, cukup dilayani oleh dokter umum. Tujuannya agar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (rumah sakit pemerintah) tidak penuh sesak. Sebab, pada waktu itu banyak orang sakit langsung ke RSCM. Saya juga membangun sekitar 2.000 sekolah.
Maksud Anda gedung sekolah dasar (SD)?
Menurut undang-undang, selaku gubernur saya hanya bertanggung jawab membangun gedung SD. Tetapi setamat SD, warga Jakarta kan tetap bersekolah di Jakarta. Karena itu, saya membantu sedikit-sedikit pembangunan gedung SMP, SLTA, dan perguruan tinggi.
Kembali ke soal Taman Mini, bagaimana Anda menghadapi protes mahasiswa terhadap pembangunan TMII?
Protes mahasiswa Arief Budiman dan kawan-kawan memang sempat membuat Pak Harto ketakutan. Ia memanggil Pangkopkamtib Jenderal Sumitro untuk menyelesaikan demonstrasi mahasiswa. Pak Sumitro sendiri merasa tidak sanggup menyelesaikannya. Akhirnya saya undang para mahasiswa itu ke DPRD DKI Jakarta. Di sana saya jelaskan bahwa pembangunan taman miniatur Indonesia itu sudah menjadi program Pemda DKI.
Mengapa begitu getol mempercantik Jakarta di saat ekonomi Indonesia masih amat parah?
Ide saya, rakyat Jakarta butuh hiburan yang murah dan nyaman. Itu sebabnya saya juga membangun Ancol dan Kebun Binatang Ragunandulu ada di Cikini, dekat TIM. Saya juga membebaskan pajak selama lima tahun bagi pengusaha yang akan membuka bioskop. Sebab, saya melihat, menonton film juga hiburan yang murah.
Semua proyek Anda jelas menggusur tanah banyak rakyat kecil. Bagaimana Anda menghadapi protes warga?
Saya sadar akan dampak yang merugikan masyarakat. Untuk itu saya mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dengan tujuan rakyat kecil yang dirugikan dan tidak mengerti hukum dapat dibantu oleh LBH. Maka, berdirilah LBH bersama Adnan Buyung Nasution. Pada tahun-tahun pertama, LBH hidup dari subsidi Pemda DKI Jakarta.
Bagaimana mengharapkan sebuah lembaga bersikap kritis terhadap pihak yang memberinya subsidi? Jangan-jangan ini hanya kiat agar Anda dinilai demokratis.
Nyatanya, rakyat tetap menggugat saya lewat LBHbahkan sampai 300 gugatan. Dan itu sampai ke pengadilan. Jadi, kalau kalah, saya patuh. Pangkopkamtib Jenderal Sumitro pernah akan membubarkan lembaga ini setelah terjadi Peristiwa Malari 1974. Tetapi saya larang.
Mengapa?
Karena (sebagai gubernur) saya membutuhkan LBH untuk mengontrol saya.
Apa yang membuat Anda merasa perlu dikontrol?
Saya kadang-kadang ingin terlalu cepat (dalam melaksanakan program), sehingga agak keras. Jadi, kalau sampai ada yang dirugikan, mereka bisa menggugat saya.
Salah satu ide Anda yang kontroversial adalah membakar jenazah. Bagaimana penerimaan masyarakat dan kaum alim ulama ketika itu?
Pada waktu itu kuburan di Jakarta baru ada di daerah Karet-tengsin. Tapi, lama-kelamaan tanah di Jakarta bisa habis juga untuk kuburan. Jadi, agar warga Jakarta ikut memikirkan pemecahan ini, saya katakan di media massa, agar orang mati tidak dikubur tetapi dibakar saja di Jakarta. Eh benar, datang Buya Hamka kepada saya. Beliau mengatakan, Indonesia itu terletak di daerah tropis, jadi mayat itu tidak akan bertahan lama karena tulang-belulangnya cepat lapuk. Jadi, lebih baik jenazah itu ditumpang saja. Setahun juga habis. Lalu saya putuskan, setelah tiga tahun, setiap kuburan bisa ditumpang.
Reaksi apa yang Anda terima karena menerapkan peraturan ini?
Saat itu, undang-undang menyebutkan, jika peraturan pemerintah daerah telah berjalan selama tiga bulan dan tidak mendapat reaksi dari pemerintah pusat, peraturan itu dapat dilaksanakan.
Apakah Anda meniru negara tertentu dalam menerapkan model pembangunan di Jakarta?
Tahun 1952, saya sempat belajar di Amerika Serikat. Saat itu saya kerap memperhatikan pemandangan kota di negara-negara Eropa dan Amerika dari ketinggian saat naik pesawat. Dari atas, terlihat jalan kota yang lurus-lurus dan rapih. Sementara itu, di sini (Jakarta), karena tidak ada perencanaan perkotaan, jalan kota berbelok-belok. Tetapi kalau itu diluruskan, berapa banyak yang harus digusur? Maka, hanya jalan-jalan baru yang saya buat lurus.
Bagaimana dengan soal transportasi?
Ketika baru menjadi gubernur, saya jalan-jalan dengan menumpang bus kota. Saya bisa merasakan, betapa masyarakat membutuhkan sarana angkutan. Maka, saya minta Menteri Keuangan agar bisa membeli bus, truk sampah, alat pekerjaan umum, dan membebaskan pajak bus kota dan truk sampah.Toh, ini saya kerjakan untuk masyarakat, bukan untuk saya pribadi. Karena itu, saya tidak mau bayar pajak.
Apakah Menteri Keuangan setuju Anda tidak bayar pajak?
Waktu itu, Menteri Keuangan Ali Wardana ngotot mengambil pajak dari kendaraan-kendaraan tersebut. Saya bilang, "Oke!" Tapi kalau bus dan truk sampah tetap dipajak, sampah di depan rumah Saudara Menteri tidak akan saya ambil. Mereka itu yunior-yunior saya. Tahun 1954, saya kan sudah menjadi menteri.
Apakah ini satu-satunya cekcok Anda dengan Menteri Keuangan mengenai soal pajak?
Kami juga ribut waktu ada Pekan Olahraga Nasional (PON) 1977. Ketika DKI membeli peralatan olahraga, Menkeu meminta agar alat-alat olahraga dipajaki. Saya bilang, enak saja minta pajak. PON itu proyek nasional. Yang merawat Istora Senayan adalah Pemda (DKI Jaya). Yang menjaga kebersihannya pemda. Tetapi kok waktu ada acara nasional kami disuruh bayar pajak? Saya katakan: "Tidak bisa."
Bicara pajak, bea apa saja yang Anda galakkan untuk mengisi kas pemda?
Mulai dari pajak kendaraan bermotor. Awalnya agak susah karena ada dua instansi yang memungut pajak kendaraan: pemda dan polisi. Dan polisi sendiri tertutup. Mereka tidak mau membuka catatan pajak sehingga pemda kesulitan. Akhirnya saya tanya, berapa pendapatan Polda selama setahun? Kapolda bilang Rp 150 juta. Lalu, saya katakan kalau saya ubah menjadi satu atap bersama pemda, polisi bisa mendapat Rp 600 juta setahun. Mereka senang. Kemudian, saya bangun pelayanan pajak kendaraan bermotor di dekat kantor polisi. Tetapi yang bekerja adalah pegawai Pemda DKI Jakarta.
Uang pajak itu digunakan untuk apa saja?
Dari uang pajak motor, pajak bumi dan bangunan, serta retribusi perjudian, kita bisa menata Jakarta. Setiap tahun, Muspida juga mendapatkan bantuan alat-alat kantor dari Pemda DKI.
Bagaimana Anda merumuskan kewajiban seorang gubernur?
Falsafah saya tentang tugas seorang gubernur adalah bertanggung jawab terhadap bayi yang masih ada di rahim ibu sampai orang mati yang harus dikuburkan. Lepas dari masalah politik, tugas gubernur memang mengurusi kehidupan masyarakat ke taraf yang layak. Dan kalau bisa, meningkatkannya.
Omong-omong, metropolitan Jakarta yang Anda cita-citakan itu kini seperti "kota kaki lima." Apa perasaan Anda melihat wajah Jakarta di masa sekarang?
Anda tidak bisa hanya menyalahkan Pemda Jakarta. Sebab, keadaan Jakarta seperti sekarang ini adalah akibat pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun; demokrasi tidak berjalan; korupsi, kolusi, dan nepotisme; moral bejat. Aparatur yang melakukan KKN itu terjadi di mana-mana, sudah jadi penyakit nasional. Jadi, keadaan Jakarta sekarang tidak karena ulah Pemda DKI semata-mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo