Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Atnike Sigiro: Pelurusan Sejarah Penting agar Kasus HAM Tak Terulang

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro menyebutkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat lewat jalur non-yudisial tak semudah yang diucapkan. Penyelesaian secara yudisial terhadap ke-12 kasus tetap perlu dituntaskan.

 

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Atnike Nova Sigiro di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 13 Januari 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luka lama yang belum sembuh menjadi perumpamaan tepat untuk menggambarkan masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia. Namun titik-titik cahaya menyembul untuk mengobati luka itu setelah Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu pada Rabu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengakuan ini muncul setelah Presiden menerima laporan dan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran (TPP) HAM Berat Masa Lalu. Presiden Jokowi lantas mengatakan pemerintah berkomitmen untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial pada 12 kasus tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, sejumlah pihak belum puas dengan pernyataan tersebut. Salah satunya tentang absennya permintaan maaf terbuka pemerintah melalui Presiden. Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengeluarkan sejumlah butir pernyataan sebagai sikap menanggapi keputusan pemerintah. Salah satunya mendukung upaya pemulihan hak korban, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebutkan pemerintah harus berfokus menyusun langkah untuk menuntaskan pemulihan hak korban. Sebab, upaya itu tak semudah membalikkan telapak tangan. "Jadi, sangat kompleks. Satu kasus saja banyak yang harus dirumuskan dalam pemulihan hak korban, apalagi ini 12 kasus," kata Atnike ketika ditemui Indra Wijaya dari Tempo di kantornya, Jumat lalu. 

Atnike bicara tentang perlu atau tidaknya permohonan maaf dari pemerintah sampai apa saja yang dilakukan untuk mengejar penyelesaian ke-12 kasus pelanggaran HAM berat itu melalui jalur yudisial. Selain itu, Atnike berkisah tentang perjalanan kariernya, dari ikut pergerakan mahasiswa di kala reformasi sampai berkecimpung di dunia penegakan hak asasi manusia. Berikut ini wawancara dengan Atnike. 

Sejumlah pihak menyayangkan pemerintah, dalam hal ini Presiden, tidak meminta maaf secara terbuka saat mengumumkan pengakuan 12 pelanggaran HAM berat. Bagaimana tanggapan Anda? 
Kalau dibilang Presiden tidak meminta maaf itu menurut saya tidak tepat. Sebetulnya, dalam kalimat 'menyesalkan' di situ, implisit ada pesan the politics of regret. Jadi, saya menilai Presiden sebagai kepala negara secara simbolis meminta maaf, tapi diksi yang digunakan tidak eksplisit. Tentu ada pertimbangannya, tapi saya enggak tahu apa pertimbangannya. Cuma bahasa diplomasi dan bahasa politik itu hati-hati, tidak selalu to the point

Tapi secara resmi kepala negara mengafirmasi kesimpulan Komnas HAM bahwa 12 kasus itu adalah pelanggaran HAM berat. Apa pentingnya afirmasi dari kepala negara? Itu memberikan landasan yang lebih kuat bagi pemerintah untuk menerjemahkan the politics of regret itu sebagai langkah-langkah yang konkret berupa kebijakan atau program terkait dengan pemenuhan hak-hak korban. 

Bagi korban, pengakuan presiden itu digunakan untuk meminta pertanggungjawaban negara yang lebih menjawab persoalan atau akibat-akibat yang mereka alami dari kasus-kasus tersebut. Istilahnya, korban mendapat komitmen politik yang digunakan sebagai dasar untuk mengklaim kepada negara. Pemerintah jangan hanya retorika, harus bisa menjawab secara aktual.


Apakah sebaiknya Presiden tidak menggunakan diksi diplomasi dan politik dalam permintaan maaf?
Bentuk-bentuk pengakuan negara, mekanisme-mekanisme yang muncul itu sangat bergantung pada situasi politik. Kenapa Pak Presiden mengeluarkan istilahnya penyesalan, bukan secara langsung meminta maaf? Tentu ada pertimbangan politik. Di negara lain, ada presiden yang meminta maaf secara terbuka. Ada pula yang mengampuni pelaku-pelaku, seperti di Afrika Selatan. Tim KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di sana mengampuni dengan memberikan blanket amnesty (pemberian amnesti secara massal tanpa persyaratan ketat).

Ada juga yang bisa melakukan pengadilan, seperti di Filipina sampai Ferdinand Marcos sekeluarga harus pergi dari Filipina. Tapi toh, meski tidak bisa diadili di Filipina, keluarga Marcos tetap bisa kembali ke Filipina. Jadi, bentuk-bentuk keadilan itu sangat dipengaruhi situasi politik. Pak Jokowi sekarang dalam situasi politik apa sehingga dia tidak bisa mengeluarkan permintaan maaf secara eksplisit. Termasuk mengapa yang dikeluarkan adalah Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Non-yudisial dan bukan Komisi Kebenaran, tentu ada situasi politiknya. 

Bagaimana upaya pemulihan hak korban, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban serta keluarga korban 12 pelanggaran HAM berat itu? Apa yang bisa dilakukan Komnas HAM
Dalam konteks penyelesaian non-yudisial, salah satu hal yang telah dikerjakan Komnas HAM sejak 2014 atau 2015 itu, kami memiliki prosedur untuk mengeluarkan surat keterangan korban pelanggaran HAM berat. Kami menyebutnya SKKP HAM. Surat ini dibuat berdasarkan verifikasi korban terhadap individu dan kelompok, baik diajukan pribadi maupun berkelompok. Mereka mengajukan permohonan agar mendapat kejelasan status bahwa mereka adalah korban pelanggaran HAM berat. Hingga sekarang, sudah ada 6.000 lebih surat yang dikeluarkan Komnas HAM. 


Apa manfaat surat keterangan itu? 
Salah satunya, korban bisa menggunakan surat keterangan itu untuk mendapatkan layanan bantuan medis dan atau psikologis dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Sebab, LPSK memang lembaga yang bisa memberikan perlindungan bahkan kompensasi apabila ada putusan kompensasi. Tapi, sebagai lembaga negara, untuk bisa memberikan layanan, LPSK perlu legalitas atau dasar hukum. Nah, surat dari Komnas HAM punya kekuatan itu.

Dalam pengalaman riset disertasi saya, surat itu juga bisa dipakai untuk keterangan diri. Misalnya, ada korban yang orang tuanya hilang, padahal dia mau menikah. Nah, surat itu bisa digunakan saat dia tidak bisa menunjukkan wali nikah. Surat itu bisa menjelaskan mengapa wali nikahnya tidak bisa hadir. Ada juga saya dengar informasi, surat keterangan itu bisa digunakan untuk keperluan administrasi lain. Jadi, surat ini membantu mereka yang kesulitan administrasi karena mereka korban pelanggaran HAM. 

Barangkali prosedur yang dilakukan Komnas HAM ini bisa digunakan untuk pendataan dan memberi kejelasan status korban secara individual. Hasil penyelidikan Komnas HAM itu tidak mendata semua korban. Misalnya, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, Komnas HAM tidak menemui semua korban. Kami hanya mendata korban-korban yang dimintai keterangan atau kesaksian. 


Apakah Komnas HAM optimistis pemulihan hak korban, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu bisa dilakukan pemerintah? Ganti rugi seperti apa yang pantas untuk para korban dan keluarga korban? 
Itu tentu merupakan proses yang kompleks, tidak mudah untuk merumuskan. Pertama, bentuk pemilihan apa yang tepat, artinya bisa menjawab keinginan korban. Apakah itu bantuan berupa materi, apakah program layanan kesehatan, pendidikan, atau layanan sosial lain. Apakah bentuknya pemulihan kolektif, seperti pelurusan sejarah. Itu ada 12 kasus, dan bentuknya tidak sama. Satu kasus saja keinginan korban pasti tidak sama. Bagaimana pemerintah bisa merumuskan kebijakannya.

Jadi, harus dicari satu atau beberapa bentuk kebijakan pemulihan yang generik dan tentunya punya makna pemulihan. Makna pemulihan ini yang harus hati-hati. Ketika negara memberikan pemulihan bagi korban, itu tidak sama dengan amal. Pemulihan itulah bentuk the politics of regret yang sesungguhnya. Pemerintah memberikan kebijakan ini bukan semata-mata karena para korban dalam kondisi miskin, tapi karena pemerintah ingin mengembalikan marwah korban sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. 

Kedua, siapa yang menyelenggarakan. Apakah di bawah kementerian atau dibentuk badan khusus, lalu sampai kapan program itu akan dilakukan. Ketiga, periodenya. Ada bentuk pemulihan yang bentuknya satu kali selesai, seperti pemberian kompensasi. Tapi ada juga pemberian layanan kesehatan yang terus-menerus. Atau bentuk-bentuk pemulihan yang tetap, seperti museum, monumen, pelurusan sejarah, itu jangka panjang. Tapi, sekali bisa dibuat, bisa dirawat dan dikembangkan terus-menerus. 


Lalu apa lagi? 
Terakhir, yang jadi kendala adalah sumber daya. Ada atau tidak anggarannya? Jadi, hal-hal itu yang harus diperhatikan pemerintah dalam merumuskan tindak lanjut rekomendasi TPPHAM ini. Jadi, kalau ditanya saya optimistis atau tidak, saya akan katakan ini tidak semudah yang dikatakan. Komitmen politik itu tidak semudah yang dikatakan. 

Apalagi sudah masuk ke tantangan-tantangan tadi. Jadi, kalau dibilang penyelesaian non-yudisial ini mudah, tidak juga. Non-yudisial itu kalau pakai pendekatan ilmu sosial itu antropologi dan sosiologi, mengenali betul-betul problem yang dialami korban. Konteks sosial mereka. Kalau yudisial itu sering tutup mata terhadap konteks-konteks spesifik. Hanya dilihat pasalnya, bentuk kejahatannya, buktinya, saksinya, karena memang pendekatannya berbeda dibanding antropologi dan sosiologi.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro (tengah) dan jajarannya memberikan keterangan terkait refleksi penegakan HAM di Indonesia tahun 2022 di Jakarta, 10 Desember 2022. ANTARA/Rivan Awal Lingga


Pemerintah sudah mengakui, apakah ini mempermudah mekanisme yudisialnya? 
Harus bisa dibawa ke yudisial karena Presiden sudah mengatakan bahwa mekanisme non-yudisial ini tidak menegasikan mekanisme yudisialnya. Artinya, pemerintah ke depan juga perlu memberikan dukungan yang lebih besar terhadap upaya yudisial, seperti bagaimana mekanisme yang lebih baik, dukungan sumber daya untuk penegak hukum, bukan cuma uang, tapi juga kemampuan. Lalu prosedur hukumnya perlu diperbaiki. 

Komnas HAM juga perlu dibantu agar kami bisa punya sumber daya cukup, kompetensi makin kuat agar mekanisme yudisialnya lebih kuat. Lalu antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus ada kerja sama yang makin kuat, ada kesepahaman mekanisme yudisial. Pengadilan HAM dan hakimnya harus didukung. Sebab, hakim pengadilan HAM itu masa kerjanya cuma lima tahun. Kemarin sejak terakhir pengadilan Abepura ke pengadilan Paniai itu jaraknya jauh, jadi enggak ada hakim ad hoc HAM. Jadi, setiap akan ada pengadilan HAM, baru rekrutmen lagi. 

Adaptasinya harus cepat karena begitu diangkat harus menyidangkan kasus, padahal satu mekanisme peradilan itu membutuhkan pelajaran dari preseden dan praktik. Kalau pengadilan HAM dan hakimnya jarang, tentu kapasitas pengadilannya tak sebaik pengadilan lain yang permanen. Bagaimana mendukung pengadilan dan hakim-hakim HAM ketika tidak ada persidangan. Harus ada cara mendukung keberlangsungan peradilan HAM di Indonesia. 


Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kejaksaan Agung sempat membuka kasus 1965-1966 dan penembakan misterius, tapi sampai sekarang tidak berkembang. Apakah ini jadi gambaran susahnya membuka kasus pelanggaran HAM berat?
Memang ada beberapa faktor. Pertama, sulit secara teknis karena hukum acara pidana itu positivistik. Semua harus berdasarkan bukti, harus ada saksi, barang bukti yang asli, ada standar hukum yang ketat. Seperti kita tahu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat, khususnya di masa lampau, barang bukti, saksi, itu sudah tidak ada atau tidak memadai. Jadi, secara teknis harus ada terobosan hukum agar hukum acaranya bisa dilihat dengan mempertimbangkan kesulitan kasus pelanggaran HAM berat. Itu bukan kewenangan Komnas HAM, harus betul-betul terobosan hukum yang didukung negara, DPR, dan bisa melibatkan Komnas HAM.


Lalu? 
Kedua, dukungan politik juga dibutuhkan. Satu proses pengadilan itu membutuhkan dukungan banyak pihak, seperti saksi-saksi mau atau tidak bersaksi, mereka yang diperiksa mau atau tidak dimintai keterangan, itu butuh dukungan politik. Makanya pengadilan HAM itu bisa terbentuk tak jauh dari masa reformasi karena politik HAM masih kuat. Tapi, makin ke sini, kita harus jujur, ya, dukungan terhadap upaya keadilan dan mekanisme pengadilan HAM itu makin lemah. Itu yang harus jadi agenda. Jadi, untuk mekanisme yudisial, problemnya dua, yakni teknis prosedur yang bisa diatasi kalau ada dukungan politik. Ya, seperti perdebatan telur atau ayam duluan. Dukungan politik dulu atau terobosan hukum dulu.


Bagaimana tanggapan Anda tentang kasus HAM lain yang sempat disidangkan tapi para pelaku dinyatakan bebas, seperti Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014? Apakah Komnas HAM akan mendorong agar kasus ini juga diakui pemerintah?
Pengadilan itu bertujuan membuktikan siapa yang salah. Kalau kasusnya sendiri kan ada. Ada orang yang dibunuh, ada orang yang terluka, kehilangan harta benda, kan ada. Yang tidak berhasil dibuktikan oleh pengadilan HAM adalah siapa yang bertanggung jawab. Jadi, putusan bebas terhadap terdakwa tidak menegasikan kenyataan bahwa ada korban pelanggaran HAM berat. Karena itu, sikap kami menyatakan bahwa seharusnya empat kasus yang sudah disidangkan, korban-korbannya berhak mendapat pemulihan. 


Tapi sayangnya Tim PPHAM hanya mengakui 12 kasus itu. Lalu bagaimana? 
Ya, seharusnya pemerintah dong lewat diskresi presiden. Logikanya begitu. Kalau hasil penyelidikan Komnas HAM yang 12 kasus itu bisa dinyatakan kembali oleh presiden sebagai pelanggaran HAM berat dan pemerintah berkomitmen bikin pemulihan, artinya empat lain yang pernah diselidiki Komnas HAM seharusnya dimasukkan ke dalam pertimbangan jika pemerintah membuat kebijakan pemulihan. 


Pemerintah juga akan membangun monumen sebagai bentuk pengakuan atas peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengoreksi pelajaran sejarah. Bagaimana tanggapan Anda?
Sangat penting. Kenapa masyarakat atau suatu bangsa berusaha menghadapi masa lalu? Salah satu tujuannya agar peristiwa atau tindakan seperti itu, kekerasan yang masif itu, tidak pernah terjadi lagi. Bagaimana cara kita memberi tahu generasi yang akan datang bahwa itu suatu kejahatan yang tidak boleh dilakukan kalau tidak ada pengetahuan mengenai pengalaman masa lalu. Jangan ulangi sejarah yang buruk. Kalau tidak ada pengetahuan sejarah, ya, mana bisa. Generasi sekarang saja enggak tahu ada kerusuhan Mei 1998. Orang usia 20-an tahun tidak semua tahu peristiwa itu. Apalagi kasus 1965-1966 itu lebih jauh lagi. Generasi yang pernah merasakan rezim Soeharto masih merasakan ada diskursus soal bahaya laten. 

Jadi, monumen sejarah, museum, kurikulum pendidikan itu sangat penting untuk membangun peradaban. Kalau dalam konteks pelanggaran HAM berat, ya, untuk membangun peradaban hak asasi. Dengan demikian, kita atau anak-cucu kita bisa mengerti peristiwa itu tidak boleh diulangi. Sama seperti bangsa Jerman mempelajari kekejaman Nazi, mereka bikin museum, film-film tentang kejahatan Nazi, dan untuk katakan kepada anak-cucu mereka bahwa bangsa mereka pernah terlibat dalam sesuatu yang sangat keji dan mereka tidak boleh mengulangi itu. 

Nah, Indonesia belum ada satu bentuk pengetahuan kolektif bangsa yang bukan sekadar mengetahui fakta, tapi juga menjadi satu nilai bersama mengenai kita jangan begitu, ya, ke depan. Misalnya, dalam kerusuhan Mei 1998 itu kan penting agar masyarakat tahu, kalau ada kerusuhan, mereka jangan ikut terbawa arus massa. Itu penting. Hal sesederhana itu. Enggak perlu sampai jauh ke politik ideologinya. Jangan ikut melakukan kekerasan. 


Pelajaran dari negara lain seperti apa lagi yang perlu Indonesia contoh?
Sebetulnya yang dekat dengan kita adalah Korea Selatan, bukan karena saya penggemar film Korea ya, he-he. Korea Selatan itu sebenarnya hampir sama dengan Indonesia. Pernah punya rezim militer. Ada kasus-kasus kekerasan terhadap mahasiswa, ada pembantaian. Yang paling terkenal adalah Tragedi Gwangju pada 1980. Tragedi Gwangju itu oleh pemerintah Korea Selatan setiap tahun diperingati, di mana presidennya datang ke kota itu dan berpidato. Saya pernah datang sekali ke sana. Bukan perayaan pesta, melainkan berparade dan mengenang orang-orang yang tewas. Itu kan waktu itu satu kota dikepung, enggak bisa keluar.

Bukan cuma peringatan, tapi juga muncul dalam produk budaya. Perfilman Korea Selatan bolak-balik bikin film tentang tragedi itu. Bahkan di kota itu ada museum yang menjelaskan sejarah peristiwa Tragedi Gwangju. Menariknya lagi, Korea Selatan yang mengalami demokratisasi bikin museum tentang demokratisasi di negara lain. Mereka mengklaim bahwa mereka mengalami demokratisasi, mengalami transisi, dan berubah menjadi demokratis. Museum semacam itu atau model produk budaya pengetahuan semacam itu menginspirasi sekali. Itu membentuk nilai, lho. Kalau pendidikan HAM itu bentuknya kursus di kelas, akan membosankan. Beda kalau dalam produk pop seperti di Korea Selatan.


Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo berharap pemerintah tidak akan mengulangi pelanggaran HAM berat. Apakah Anda yakin begitu dan bagaimana cara mencegah supaya tidak berulang? 

Satu, adanya perubahan institusi dan hukum. Ada perubahan budaya juga dalam aparat penegak hukum dan aparat negara. Ada perubahan budaya di masyarakat. Mencegah pelanggaran HAM itu tidak seperti mencegah banjir dengan meninggikan tembok. Nah, itu harus dilakukan secara sistematis dan dalam berbagai aspek atau bidang di dalam masyarakat, seperti pendidikan, politik hukumnya, dan kesetaraan gender. Macam-macam. Jadi, saya rasa pasca-1998 itu istilah reformasi hukum harus terus dilanjutkan supaya reformasi hukum dan reformasi sistem keamanan negara terwujud. Itu tidak bisa dengan kata-kata. Tidak mungkin kita katakan Indonesia sudah mencegah pengalaman serupa terjadi lagi dalam tempo satu bulan. 


Sejumlah pegiat HAM menyebutkan kinerja TNI-Polri masih sangat rawan pelanggaran HAM berat. Bagaimana pandangan Anda tentang itu? 
Kalau Anda lihat apakah pelanggaran HAM sudah berhenti, kan tidak. Masih sering terjadi. Itu memperlihatkan budaya HAM kita itu belum terbentuk sebagai budaya kolektif, baik di dalam masyarakat maupun penyelenggara negara. Apalagi kalau kita bicara HAM bukan sekadar negara dengan masyarakat, tapi sudah ke wilayah privat, sektor bisnis yang juga kegiatannya berpotensi melanggar HAM. Jadi, memang belum terbentuk budaya HAM yang kita bayangkan bisa mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat. Salah satu yang bisa dilakukan, ya, di kurikulum pendidikan yang betul-betul mengedepankan nilai dan prinsip HAM. Termasuk mengenai kesadaran hukum, dan itu tidak bertentangan dengan nilai Pancasila. 

Anda juga seorang pengajar, apakah posisi Anda sebagai Ketua Komnas HAM mempengaruhi waktu mengajar Anda saat ini? 
Sampai sekarang saya masih mengajar, tapi hanya sedikit kelasnya. Paling satu semester hanya empat kali pertemuan. Biasanya malam mengajar kelas S-2. Saya sebelum mengajar, lama di LSM. Saya mengajar mulai 2010.


Lebih sedikit mengajar karena sudah sibuk di Komnas HAM atau bagaimana? 
Dari dulu memang sedikit karena saya bukan pengajar penuh. Saya pengajar tetap, tapi tidak ada kewajiban untuk ke kampus. Saya hanya datang mengajar dan membimbing tulisan tesis. Sejauh ini belum berubah. Yang terberat itu sebenarnya membimbing tesis. Kalau mengajar tidak terlalu berat. Sebab, kalau membimbing tesis itu saya harus baca draf, lalu periksa dan ngobrol dengan mahasiswa mengapa menulis itu. Lalu nanti bertemu lagi, tapi kok belum jadi lebih baik. 

Setiap mahasiswa itu punya tema berbeda-beda, jadi saya mempelajarinya harus dengan cepat. Karena sejatinya dosen itu tidak paham banyak hal, cuma dosen tahu belajar dengan cepat. Jadi, besok misalnya ada tesis tentang perubahan iklim, ya, saya harus belajar dulu tentang itu. Lalu soal ASEAN, tentang Serbia dan Kosovo. Saya kan tidak belajar tentang Kosovo, tapi saya harus segera belajar itu secara umum, lalu nanti saya tinggal menguji argumentasi mahasiswa itu. Jadi, kalau nanti bimbingan mahasiswa saya banyak karena saya sudah di Komnas HAM, mungkin saya akan minta agar tidak ditambahkan lagi bimbingan saya sampai saya selesai di Komnas HAM. 


Apa saja nilai yang paling Anda tekankan saat mengajar?
Di dalam ruang kelas, tak ada jawaban yang tidak benar. Yang ada hanya argumen yang tidak disusun dengan benar. Jadi, karena ini ilmu sosial, yang dikedepankan bagaimana kita cari fakta dan memaknai fakta serta fenomena itu. Saya selalu sampaikan di kelas, silakan berpendapat apa saja. Saya tidak akan menyalahkan argumen mahasiswa selama kalian bisa menjelaskan mengapa memilih argumen semacam itu. Karena saya mengajar HAM, jadi isu yang dibicarakan sangat sensitif, ya. Ini ruang akademik, jadi dibolehkan bicara apa saja. Sebab, kalau sudah ke luar kelas, kita sudah dibatasi dengan sopan santun, politik, hukum, dan sebagainya. Jadi, mari di dalam kelas, mari kita uji argumentasi kita dengan teori-teori dan konsep. 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Atnike Nova Sigiro. Tempo/Febri Angga Palguna


Lalu bagaimana cerita awal Anda bergerak di dunia perempuan dan penegakan HAM? 
Saya itu entah bagaimana hidup ini membawa saya ke HAM. Jadi begini, saya kuliah di FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Indonesia, masuk pada 1994. Saya merasakan gerakan reformasi mahasiswa 1998. Saya ikut semua gerakan itu, seperti Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2. Tapi saya enggak ikut menduduki MPR/DPR, karena waktu kejadian Trisakti itu, saya dipukulin aparat sampai masuk Rumah Sakit Carolus. Nah, saat kerusuhan Mei itu, saya lihat sendiri dengan mata kepala di Jatinegara itu dibakar semua. 

Setelah kerusuhan itu, saya merasa tidak aman di Carolus, akhirnya saya minta pulang. Karena saya habis dipukulin, saya sempat dapat perawatan juga, makanya saya enggak diizinkan orang tua untuk menduduki MPR/DPR. Tapi saya enggak merasa kehilangan momentum menduduki MPR/DPR itu karena menurut saya simbol-simbol itu tidak penting. Yang penting, sudah terjadi perubahan politik di Indonesia. 


Bagaimana pengalaman Anda ikut pergerakan mahasiswa saat reformasi?
Saya sempat dimarahi almarhum ayah saya saat ikut demonstrasi. Karena pada 1998 itu saya sudah menyusun skripsi. Akhirnya saya diultimatum pada 1999 karena dulu saya sangat aktif. Selain ikut pergerakan demonstrasi, saya kerja sebagai penyiar radio di Trisakti. Kebetulan saat demo itu, saya ada di situ. Lalu akhirnya almarhum ayah saya bertanya, saya dibayar berapa di radio, lalu ayah ganti gaji saya tapi selesaikan skripsi. Akhirnya skripsi saya selesai tahun 2000. Tapi masih sering ikut demo juga seperti kalau ada kenaikan uang SPP. 


Lalu setelah selesai kuliah, apa yang Anda lakukan?
Setelah lulus kuliah, saya kerja di ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Di situ saya 10 tahun. Di situlah saya sering terlibat dengan isu-isu pelanggaran HAM berat. Di situ saya belajar banyak tentang pelanggaran HAM berat, termasuk bertemu dengan korban-korban 12 kasus yang diakui pemerintah saat ini. Tugas saya saat itu mendorong jaringan korban ke berbagai wilayah. Saat itu ada ide pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Banyak diskusi tentang itu. Saya di ELSAM sampai 2010. 

Setelah itu?

Setelah itu saya berhenti karena jenuh. Saya pindah ke sebuah LSM namanya Forum Asia. Tugas saya waktu itu adalah HAM di ASEAN. Saya waktu itu belajarnya sampai tentang HAM di Filipina, Myanmar, dan negara lain di Asia Tenggara. Nah, kondisi saat ini di Myanmar ini seperti mengingatkan saya. Saya merasa dekat saja karena pernah merasakan sempat ada perubahan di negara itu. Sampai sekarang malah mundur lagi. Saya di Forum Asia sampai 2017.

Lalu?

Tujuh tahun di Forum Asia, saya ke Jurnal Perempuan. Lagi-lagi saya penyegaran karena jenuh. Tapi saya diminta jadi direktur karena mereka sedang tidak ada direkturnya. Saya empat tahun di Jurnal Perempuan. Nah, pada 2017 itu, kami ada tujuh orang, termasuk Haris Azhar dan kawan-kawan NGO lain, berpikir bahwa di NGO tidak bisa seumur hidup. Bagaimana kita bisa berkarya ketika tidak lagi kerja di sebuah NGO. 

Ya sudah, kita bikin NGO sendiri untuk tetap bisa berkarya, tidak sebagai pengurus, tapi bisa meluangkan ide-ide. Nah itulah, pada 2017 kami bikin Yayasan Lokataru. Idenya itu agar ada wadah di mana para aktivis tidak bisa lagi bekerja untuk hak asasi hanya karena dia tidak lagi bekerja untuk sebuah lembaga. Sampai 2021 saya selesai di Jurnal Perempuan. Lalu saya lebih sering mengajar dan bantu-bantu di Lokataru. Tapi sekarang saya sudah tidak lagi aktif di Lokataru. Hanya mendirikan. Tapi kalau ngobrol dengan kawan-kawan masih.


Pegiat HAM identik dengan laki-laki, bagaimana menurut Anda?
Saya tidak merasa begitu. Saya sudah bekerja di bidang HAM 20 tahun lebih selalu bertemu dengan perempuan. Jumlah pegiat HAM yang perempuan itu tidak kalah oleh laki-laki. Waktu saya di Forum Asia, saya lebih sering melihat perempuan mengambil kepemimpinan dalam kerja-kerja HAM. Dan di Indonesia trennya begitu. 

Banyak direktur lembaga HAM sudah tidak pria semua. Kontras misalnya, sekarang direkturnya perempuan. Walhi, direkturnya juga perempuan. YLBHI juga sempat dipimpin perempuan. Lalu LBH Jakarta sekarang dipimpin perempuan. Jadi, di Indonesia, partisipasi perempuan dalam lembaga HAM itu sudah banyak. Saya enggak melihat ada ketimpangan lagi. Perempuan pejuang HAM itu sudah banyak. 


Bagaimana membawa nilai HAM ke rumah? 
Misalnya, menghormati orang terlepas apa agamanya, sukunya, itu penting. Tapi mengajarinya enggak bisa memaksa. Harus memberikan pengertian ke anak. Misalnya, soal anak perempuan dan laki-laki hanya boleh memakai baju warna tertentu. Saya jelaskan, semua orang boleh memakai baju warna apa saja, termasuk pria pakai baju merah muda. Juga soal kebebasan beragama. Jangan dijadikan pasal atau ayat, bicarakan sederhana saja. Lalu ajak bicara tentang pentingnya menghargai penyandang disabilitas dan pelindungan terhadap korban pelecehan seksual. Itu harus kita ajarkan. Anak tidak boleh pegang-pegang badan orang lain karena itu melanggar tubuh pribadi dia. Anak juga harus menolak kalau ada yang pegang-pegang. Tidak boleh merundung kawan yang perempuan. 


Apa saja hobi Anda? 
Saya hobi menonton film, mendengarkan musik. Olahraga pengin jadi hobi, tapi tidak ada waktu, he-he. 

Menonton film saat masa pandemi bagaimana? 
Habis semua saya tonton film secara daring. Pandemi membawa hikmah itu. Saya sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang film Korea. Saat masa pandemi, saya belajar menonton film seri Korea. Film seri Korea yang pertama saya tonton itu Kingdom yang bercerita tentang zombie. 


Apakah itu bikin ketagihan?
Memang nagih, tapi tergantung tuntutan pekerjaan. Kalau dulu waktu masih banyak WFH (work from home), saya bisa satu seri film sampai habis itu dalam waktu satu malam. Tapi saya lihat ulasannya dulu, filmnya nilainya berapa, aktornya siapa, baru kalau bagus saya tonton. 


Kalau film bioskop?
Film streaming digital ini merusak bioskop karena saya jadi enggak terlalu tertarik ke bioskop, kecuali ada film yang pengalamannya harus menonton di bioskop. Dulu saya suka menonton film Hollywood di bioskop karena memang standar film di bioskop, ya, seperti itu. Tapi sekarang saya sudah mulai malas menonton di bioskop. Saya lebih suka menonton film-film Asia, bukan cuma Korea Selatan, ada Jepang, Mandarin, India, masih bisa saya nikmati. Saya suka menonton film yang kalau sudah selesai itu saya merasa kagum. 


Film Indonesia?
Sayang sekali. Menurut saya, jarang ada yang bagus. Kalau bagus itu kan seperti memuaskan dahaga kita, ya. Ada beberapa film Indonesia yang bagus tapi ternyata adaptasi film luar. Terakhir film Indonesia yang saya suka itu Yuni dan Ngeri-ngeri Sedap

BIODATA

Atnike Nova Sigiro

Pendidikan:
1. S-1 FISIP Universitas Indonesia (2000)
2. S-2 University of London (2007)
3. S-3 FISIP Universitas Indonesia (2018)

Pekerjaan:
1. Koordinator Program Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) (2000-2010)
2. Dosen Program Pascasarjana Diplomasi, Universitas Paramadina, Jakarta (2010-sekarang)
3. Manajer Program Advokasi HAM ASEAN dan Asia Timur The Asia Forum for Human Rights and Development (Forum Asia), Jakarta & Bangkok (2010-2012, 2013-2017)
4. Direktur Eksekutif & Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan (2017-2021)
5. Salah satu pendiri Yayasan Lokataru (2017)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus