Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM tiga bulan ke depan, pekerjaan rumah Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bertambah satu: duduk kembali bersama DPR untuk membahas ulang anggaran pendidikan pada APBN Perubahan. Kewajiban ini mengikuti l-ahir-nya keputusan Mahkamah Konstitusi, Rabu dua pekan lalu, yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang No. 13/2005 tentang APBN tahun 2006. Para pemohon adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidik-an Indonesia (ISPI), Yayasan Nurani Dunia, serta perorangan dari kalangan pendidikan. Mereka patah arang melihat komitmen anggaran sebesar 12 persen, yang sudah disepakati pemerintah dan DPR Juli tahun lalu, ternyata hanya direalisasi 9,1 persen pada saat pengesah-an APBN.
Padahal, sebelumnya Bambang Su-di-byo berkali-kali mewartakan ang-gar-an pen-didikan 19,3 persen. Kontroversi pun membuncah. Jika APBN 2006 bernilai Rp 647 triliun, jumlah yang disebutkan Pak Menteri itu setara dengan Rp 125 triliun. Sedangkan yang tercantum di atas kertas adalah Rp 45,2 tri-liun. Itu pun terbagi dua: Rp 36,7 triliun untuk Departemen Pendidikan Nasio-nal, dan Rp 8,5 triliun untuk Departemen Aga-ma.
Apa yang akan dilakukan Depart-emen Pendidikan Nasional setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi itu? Kepada wartawan Tempo Widiarsi Agustina, Cahyo Junaedy, Akmal Nasery Basral, dan fotografer Cheppy A. Mukhlis, yang menemuinya di ruang kerjanya Rabu pekan lalu, Bambang Sudibyo bicara panjang-lebar.
Pendapat Anda tentang putusan Mah-ka-mah Konstitusi?
Sebetulnya putusan ini buat pemerin-tah tidak ada yang baru. Mahkamah me-ngatakan APBN 2006 belum memenuhi ketentuan UUD 1945, tapi dalam amar putusannya tidak ada perintah kapan ketentuan UUD, khususnya Pasal 31 ayat 4, itu harus dipenuhi. Dalam butir pertimbangan Mahkamah dikatakan hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai macam keterbatasan fiskal yang dihadapi pemerintah, seperti tarif dasar listrik yang batal naik karena tak disetujui DPR. Itu arti-nya, dalam APBN Perubahan 2006 harus dicantumkan subsidi un-tuk ta-rif da-sar listrik yang besarnya Rp 10 tri-liun. Pada-hal subsidi sebesar itu dapat di-guna-kan untuk memperbesar persenta-se anggar-an pendidikan 2006. Kalau dana Rp 10 triliun ini dapat di-alokasikan ke anggar-an pendidikan, maka target kesepakat-an antara pemerintah dan DPR untuk me-ningkatkan 12 persen anggaran pendidikan pada tahun 2006 ini akan terpenuhi.
Bukankah target 12 persen yang men-jadi kesepakatan antara DPR dan peme-rintah itu sudah disepakati Juli 2005? Mengapa dalam pengesahan APBN tiga bulan kemudian nilainya turun menjadi 9,1 persen?
Dalam pembahasan itu banyak sekali pilihan yang harus diambil DPR dan pe-merintah. APBN kita ketat sekali dan sudah dipatok buat bayar bunga utang Rp 70 triliun, lalu obligasi rekap, subsidi BBM, juga subsidi listrik. Jadi, r-uang g-erak untuk memenuhi target 12 per-sen ikut menyempit. Ini problem real. Peme-rintah seperti melakukan zero sum game.
Tapi, sebelum Mahkamah meng-ambil putusan, Anda menjelaskan anggaran pen-didikan nasional tahun ini sudah mencapai 19,3 persen dengan memasukkan gaji guru dan pendidikan kedinasan?
Pemerintah ingin menunjukkan kepada Mahkamah dan publik bahwa, jika merujuk pada UUD 45, pemerintah sudah mendekati target. Lalu UUD 45 itu diinterpretasikan melalui UU Sistem Pendidikan Nasional. Jika mengguna-kan undang-undang ini, pemeri-ntah me-ngakui hanya mencapai 9,1 per-sen. Sebenarnya ini sebuah cara untuk me-nunjukkan sebetulnya ketentuan UUD 45 itu lebih ringan dibanding interpretasi UU Sisdiknas. Cara itu setidaknya menyadarkan para hakim bahwa se-betulnya, jika dilihat berdasarkan UUD 45, pemerintah hampir memenuhi ke-wajibannya.
Anda terlihat tidak konsisten. Di Mahkamah Anda menggunakan ar-gu-men UUD 45, sementara di DPR ke-tika menggodok alokasi anggaran Anda meng-gunakan UU Sisdiknas.…
Tidak. Baik di Mahkamah maupun DPR kami menunjukkan dua-dua-nya. Cara pemohon menghitung yang keliru, yang menyebutkan 8,2 persen. Sesuai de-ngan UU Sisdiknas, mestinya angka-nya 9,1 persen. Sehingga kami katakan ke Mah-kamah, ”Menuntutnya saja keliru, apa mau dilanjutkan?”
Yang menjadi masalah adalah penjelas-an pemerintah yang memasukkan anggar-an pendidikan kedinasan senilai Rp 11 tri-liun. Padahal, dalam UU Sisdiknas, kom-ponen ini tidak masuk dalam kategori anggaran pendidikan….
Bukan begitu. Pemerintah ingin me-nunjukkan kepada Mahkamah, sebetul-nya ada pengeluaran yang dikelua-rkan oleh pemerintah untuk pendidikan juga, dalam hal ini pendidikan kedinasan. Tapi pendidikan kedinasan yang dilaku-kan itu tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Kalau itu dibenahi, pendidikan kedinasan bisa sesuai dengan UU Sisdiknas, maka sebetulnya angka itu lebih mendekati lagi.
Jika Departemen Pendidikan Nasio-nal diibaratkan rumah, di dalamnya ada PGRI, ISPI, dan lain-lain. Sekarang per-mohonan uji materiil itu muncul dari para penghuni sendiri?
Yang dituntut mereka bukan Depdiknas, pemerintah, atau DPR, tapi UU Nomor 13/2005 tentang APBN 2006. Jadi, ti-dak serangan gugatan yang bersifat personal atau kelembagaan. Tidak ada pertentangan antara Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan Ketua PGRI, Profesor Sudiarto. We’re friend.
Atau, Anda malah merasa tertolong se-hingga tidak perlu lagi ke DPR meminta peningkatan anggaran?
Saya tidak ingin merasa tertolong (ter-senyum, terdiam sebentar). Sepe-rti An-da tahu, saya pernah jadi Menteri Keuangan. Saya sangat bersimpati de-ngan Bu Ani (Menteri Keuangan Sri Mul-yani—Red). Saya memahami betul constrain yang dihadapinya. Sekarang ini setiap ada masalah, at the end, yang menyelesaikan, ya, Bu Ani. Akhirnya Menteri Keuangan harus ambil pilihan. Di Mahkamah, kami presentasi bahwa 19,3 persen itu adalah satu cara untuk memberikan wawasan utuh tentang betapa seriusnya kami memenuhi UUD, sekali-gus pada saat yang sama tentang beratnya realitas yang dihadapi pemerintah.
Setelah putusan ini, kekurangan anggaran pendidikan dalam APBN Perubah-an 2006 akan diambil dari mana?
Begini, pemerintah sedang menghadapi banyak tekanan baru. Ada sejumlah pos yang tidak dianggarkan dari APBN tapi menjadi beban baru. Dari tarif dasar listrik sampai suku bu-nga SBI yang tinggi. Dalam konteks ini, pre-siden dalam rapat kabinet kemarin memastikan akan memperbaiki batas atas persentase anggaran pendidikan dalam APBN Perubahan. Angkanya berapa, itu bukan kewenangan saya, tapi Menteri Keuangan yang akan menghitung. Saya tak dapat menyebutkannya. Tapi juga ada tekanan lain. Kalau DPR tidak menginginkan kenaikan TDL, kan artinya pada saat itu juga sebetulnya DPR sepakat untuk tidak terlalu besar menambah anggaran pendidikan. Jadi, masalahnya kembali soal zero sum game. Ini yang kadang-kadang sulit dipahami oleh orang yang belum pernah menjadi Menteri Keuangan.
Jika APBN Perubahan tetap tidak memenuhi target 20 persen dan ada ”anggota rumah” lainnya yang memohon uji materiil lagi, Anda siap?
Ya, tidak apa-apa. Inilah proses konsti-tusional yang harus dilalui. Yang pen-ting bagi pemerintah adalah memberikan signal bagi komunitas pendidikan bahwa kami berjuang menangani soal pendidikan. Sebelum saya masuk ang-gar-an Depdiknas hanya Rp 16 triliun, sekarang menjadi Rp 36,7 triliun dalam dua tahun. Bahkan, setelah didiskontokan dengan inflasi, angkanya tetap s-ignifikan.
Pos apa saja yang menjadi prioritas da-lam alokasi anggaran pendidikan?
Di Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah) ada wajib belajar sembilan tahun dengan biaya sekitar Rp 20 tri-liun. Lalu untuk Bantuan Operasional Se-kolah (BOS), baik di bawah Depdiknas maupun Departemen Agama untuk MI (Madrasah Ibtidaiyah). Untuk BOS saja dikucurkan dana Rp 11,2 triliun.
Bagaimana pengawasannya?
Saya mengontrol alokasinya. Kalau ta-hun ini alokasinya tidak jelas, tahun berikutnya kami tinggalkan. Sejauh ini penyalurannya baik menurut laporan Fo-rum Rektor yang menjadi pengawas program ini. Apalagi program ini tidak melewati banyak pintu. Cara menyalurkannya dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Pusat, lalu ditransfer ke KPPN Daerah melalui o-rder Depdiknas. Lalu dari KPPN Daerah di-salurkan melalui sekolah-sekolah.
Ada indikasi lapangan bahwa dana BOS yang diterima sekolah tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ini bahkan terjadi di Jakarta....
Sebagai warga negara, kejadian se-per-ti itu seharusnya dilaporkan ke Dinas Pen-didikan Provinsi dan Depdiknas. Jika ada laporan konkret, kami akan langsung memberi tahu inspektorat jenderal untuk menelisiknya. Contohnya di Yogyakarta, ada kepala sekolah yang tetap memungut biaya SPP yang disebut ”tabungan wajib”. Ini nggak bener. Kemudian, ya, kita tegur. Tapi kalau yang beredar hanya kabar tanpa bukti, itu namanya fitnah.
Bisa dijelaskan tentang kurikulum 2006 dan perbedaannya dengan kurikulum berbasis kompetensi?
Kurikulum berbasis kompetensi itu ha-nya kurikulum eksperimen. Se-bagai eksperimen, kurikulum ini belum di-tetapkan sebagai kurikulum nasional. Kurikulum nasional terakhir adalah kurikulum 1994. Sekarang memang tidak ada lagi kurikulum nasional seperti itu. Kurikulum 2006 ini tidak seperti kurikulum 1994. Sekarang ini hanya be-rupa rambu-rambu kurikulum nasio-nal. Soal pengaturan kapan sekolah me-mulai kurikulum itu saya serahkan kepada gubernur, agar sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Saya ha-nya menetapkan jarak antara batas awal dan akhir minimal tiga tahun.
Apa tujuannya?
Saya berharap sekolah menjadi man-diri, karena kini sekolah diberi kebebasan penuh untuk berkembang. Saya berharap kemandirian ini akan berdampak pada lulusan sekolah yang juga akan memiliki kemandirian. Selama ini sekolah-sekolah yang ada hanya perpanjangan birokrasi dari Dinas Pendidikan. Akibatnya, kebebasan sekolah ini terbatas dan menggerus kemampuan sekolah itu sendiri.
Anda yakin dampaknya bagi peningkatan indeks pembangunan manusia?
Tentu. Contoh jelasnya, program ini da-pat menekan buta huruf dan memba-ngun kemandirian sekolah. Ini ber-ujung pada naiknya HDI (human deve-lopment index). Bayangkan, dua per-tiga dari kom-ponen HDI ditentukan oleh tingkat buta huruf.
Provinsi mana yang tingkat buta hu-ruf-nya paling tinggi?
Jawa Timur juara satu. Padahal pro-vinsi ini adalah wilayah yang paling banyak menyumbangkan presiden bagi Indo-nesia, mulai dari Soekarno, Abdurrahman Wahid, serta SBY. Ini negeri bu-ta huruf: 30 persen angka buta huruf di In-donesia berasal dari sini. Kedua, Jawa Te-ngah, 20 persen. Daerah ini banyak me-nyumbangkan Menteri Pendidikan se-perti Fuad Hassan, Yahya Muhaimin, dan Bambang Sudibyo. Yogyakarta, yang menyumbangkan dua presiden—Soe-harto dan Megawati lahir di sini—mem-beri kontribusi 10 persen. Sulawesi, yang menyumbangkan seorang presi-den, B.J. Habibie, dan Wakil Presiden Ju-suf Kala juga termasuk kota yang memi-liki penduduk buta huruf terbanyak di Su-lawesi. Dan basis paling besar justru di Kabupaten Bone, daerah asal Jusuf Kalla.
Karena itu, Anda menggenjot program sekolah gratis?
Sebenarnya tidak ada sekolah gratis. Yang ada hanyalah sejumlah komponen biaya sekolah yang ditalangi lewat pro-gram Bantuan Operasional Se-ko-lah (BOS). Gratis terbatas. Misa-lnya, BOS tidak menalangi biaya darma-wisata atau kegiatan Pramuka. Ini tidak ada da-lam BOS. Jika dana BOS dipakai untuk kegiatan seperti ini, malah akan melang-gar undang-undang. Jadi, kalau tidak mau bayar, ya, jangan ikut. Untuk keba-nyakan sekolah di pedesaan, hampir se-lu-ruh biaya itu memang ditalangi oleh BOS sehingga kesannya memang sekolah gratis.
Provinsi mana saja yang sudah mene-rapkan sekolah gratis?
Kita memiliki 450 kabupaten dan 80-an kota. Di daerah kabupaten memang biaya operasional dapat ditalangi BOS, ke-cuali di ibu kota kabupaten. -Sekolah di kota kenapa tidak terlihat gratis? Ka-re-na biaya hidup di kota juga di atas dana BOS yang disiapkan pemerintah. Selain itu, standar mutu juga lebih ting-gi.
Tapi, di Jakarta ada beberapa sekolah gratis yang akhirnya melakukan pu-ngut-an liar….
Kalau di Jakarta, memang BOS jauh dari cukup. Kalau mau dipaksa harus gratis, siapa yang akan nombok?
Bagaimana standardisasi kompetensi guru SD?
Menurut UU Sisdiknas, guru SD harus sarjana, S1.
Menurut Romo Mangunwijaya, seharusnya guru SD malah profesor karena pendidikan dasar justru paling vital….
Untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan SD, diperlukan guru yang dapat membangun afeksi yang le-bih ba-nyak terkait dengan kepribadian, kecerdasan emosional dan sosial. K-alau se-orang profesor matematika harus meng-ajar pada PAUD, saya kira malah kontra-produktif. Tapi kalau yang mengajar ada-lah seorang profesor psikologi atau bidang pendidikan, itu baru cocok.
Berapa banyak, sih, guru SD yang memenuhi kriteria harus S1 itu?
Masih di bawah 20 persen. Yang b-agus adalah SMA, yang sudah mencapai 70 persen. Sedangkan SMP sekitar 65 per-sen. Tapi saya bingung dengan PGRI ten-tang hal ini. Mengenai anggar-an pendidikan, mereka menuntut agar se-suai dengan UU Sisdiknas. Tapi soal standar-disasi guru, mereka sama sekali tidak menuntut. (Angka yang rendah) itu bisa dikategorikan sebagai pelang-garan undang-undang. Tapi lihat, pemerintah kan tidak langsung menuntut.
Maksud Anda, PGRI juga inkonsis-ten?
Saya tidak bilang begitu.
Belakangan ini muncul kontrove-rsi soal pemberian gelar profesor riset. Anda sendiri ikut teken surat keputus-an bersama Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara....
Ini sebenarnya upaya pemberian peng-hargaan kepada mereka yang secara riil telah memberikan sumbangsih ke-pada keilmuan. Karena itu, saya melalui Dikti meminta mereka ikut mengajar. Pembicaraan kami dengan Ketua LIPI ternyata ikut mendukung.
Bagaimana jika muncul kesan ba-hwa ini jalur cepat untuk mendapat gelar profesor?
Tidak. Ini bukan cara mudah. Yang men-dapat gelar profesor ini buka-nlah orang baru, tapi senior yang punya pro-duk keilmiahan menumpuk dan jelas. Yang penting, mereka terus membantu proses belajar dan penelitian. Ini yang saya kira lebih baik dipertimbangkan. Misalnya Pak Indria Samego. Saya dan beliau bersamaan di UGM. Saya jadi profesor tahun 2000, Pak Indria tahun 2005. Padahal, menurut saya, beliau la-yak mendapat gelar itu lebih cepat. Jadi, gelar profesor riset juga tak bisa diberikan kepada semua orang.
Prof Dr Bambang Sudibyo, MBA Lahir: Temanggung, 8 Oktober 1952 Pendidikan
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo