Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azan menggema dari masjid di lu-ar Balai Budaya Puskat, Yog-ya-karta. Achmad, 32 tahun, se-orang karyawan di sana, bergegas mengganti sepatunya dengan sandal. Dengan menenteng sajadah, dia menyusuri jalan setapak menuju sebuah bangunan yang masih berada dalam kom-pleks Balai Budaya. Bangunan itu ternaungi rumpun bambu. Achmad me-nuju pancuran air wudu. Tak lama, dia sudah khusyuk menghadap Tuhan.
Bangunan berbentuk bujur sangkar- tempat Achmad memanjatkan doa itu ber-atap kerucut mirip joglo. Orang yang baru pertama kali datang ke sana mungkin akan kebingungan. Di dinding sebelah barat terdapat kaligrafi Arab dengan terjemahan ”Dan Allah Tidak Me-nyukai Kebinasaan”. Mirip masjid. Tapi coba tengok dinding sebelah selatan, ada gambar burung merpati dan kalimat ”Pandanglah Burung-burung di Langit”. Kali ini tanpa kaligrafi, dan hiasan itu lebih pas terpasang di gereja.- Lho?
Tunggu, masih ada dua sisi dinding- la-gi. Di dinding bagian utara terdapat gam-bar swastika simbol agama Hindu- dengan tulisan ”Aku Hidupi Semua Tum-buh-tumbuhan”. Satu lagi, dinding- timur tercatat sebaris tulisan ”Biarlah- Setiap Makhluk Bersorak Sorai”, me-nun-jukkan tempat ibadah agama Bud-dha.- Simbol dan kalimat bijak yang ber-beda-beda itu memang hanya ada di bagian tengah keempat dinding. Selebih-nya dipenuhi gambar sekumpu-lan pohon bambu dengan dedaunan menjuntai-. Pucuknya menjalar sampai langit-la-ngit,- semakin ke atas warna hijaunya semakin pudar.
”Daun bambu yang memudar dan menyatu di atas itu menggambarkan Tuhan kita satu,” kata Romo Y.I. Iswarahadi, Direktur Studio Audio Visual Pusat Kateketik (Puskat) Yogyakarta.
Bangunan tempat Achmad menjalan-kan- salat itu memang dirancang khusus sebagai tempat ibadah. Semua pemeluk agama—tak terbatas empat agama yang tergambar di dinding—bisa memakainya- untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Menurut Iswara, filosofinya, ”Di atas sana tidak ada sekat, meski di sini kita memuja-Nya dengan cara yang berbeda-beda.”
Keempat dinding rumah ibadah itu me-miliki panjang yang sama, delapan meter. ”Siapa pun boleh berdoa di sini,” kata Iswarahadi. Lukisan bambu sengaja- dibuat karena lokasinya memang ber-ada di antara hutan bambu. Jaraknya se-kitar delapan kilometer dari pusat Ko-ta Yogya menuju obyek wisata Kaliurang. Tempat ibadah ini dibuat menyatu de-ngan alam, karena alam menjadi bagian dari doa. Kalimat bijak yang dipakai dikumpulkan dari pimpinan berbagai agama. Ternyata tiap agama punya ayat yang berkaitan dengan lingkungan.
Bangunan itu unik memang. Saat pimpinan agama bersitegang mem-buat- aturan main pembangunan rumah ibadah-, di sini aturan itu tak berlaku. Aturan baru itu dituangkan dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, yang ditetapkan pada Selasa dua pekan lalu. Karena masih dianggap kurang adil, hingga sekarang peraturan itu masih dikecam (lihat Suara Protes Masih Terdengar).
Gagasan pendirian tepat ibadah bersama datang dari Pastor Dr Ruedi Hofmann SJ dan Gijzelaar yang berasal dari Swiss, sepuluh tahun lalu. Kedua-nya kini berada di Dili, Timor Timur. -Mere-ka- sekaligus arsitek seluruh bangun-an di la-han seluas 3,3 hektare itu. Tujuh jenis- pohon bambu tumbuh- subur di areal- yang terletak di tepi Sungai- Boyong itu, menaungi bangunan, beberapa cottage-, ru-mah panggung yang disewakan -untuk berbagai acara.
Pembangunan rumah ibadah itu diilha-mi perintah Yesus untuk mengasihi- sesama. Menurut Iswarahadi, Yesus se-la-lu membuka diri terhadap orang di luar kelompok Yahudi. ”Beliau bahkan sering memberikan contoh orang ber-iman dari golongan lain,” katanya. De-ngan landasan teologis itu, Romo Ruedi menganggap pentingnya bergaul dengan- penganut agama lain di luar agama yang dianut.
Awalnya berbagai kecaman muncul. ”Protes keras justru datang dari agama kami (Katolik) sendiri,” kata Iswarahadi. Mereka mempertanyakan gambar yang dipilih burung merpati, bukannya salib. Orang-orang Katolik juga mempertanyakan mengapa mendirikan tempat ibadah untuk orang bukan Katolik.
Sementara kaum muslim mensyaratkan tidak boleh ada gambar, tapi harus- ada kaligrafi. Mereka pun menghindari gambar yang mengandung unsur pe-muja-an. ”Setelah banyak orang menerima dan melakukan ibadah di sini, lama-lama ya tidak apa-apa,” kata Iswara-hadi.
Tokoh agama yang pernah melakukan iba-dah dan mengadakan lokakarya antar-agama di tempat itu antara lain Prof Ab-dul Munir Mulkan, Th. Sumartana (alm), Gedong Bagoes Oka, Bikhu Panya-varo dari Mendut, juga sejumlah uskup. An-dai kata bangunan serupa didirikan di banyak tempat, mungkin ribut mempersoalkan izin pendirian tempat ibadah tidak akan muncul.
Agung Rulianto, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo