Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Debat Pemerkosaan Cenderung Destruktif

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA adalah simpul penting dalam kasus pemerkosaan massal bulan Mei lalu. Tim Relawan yang dimotori Romo Sandyawan, S.J. mencatat ada 168 korban pemerkosaan--angka yang mengundang kekagetan sekaligus keraguan. Debat kian hangat ketika lembaga hak asasi Asia Watch menyangsikan data Tim Relawan. Berikut ini wawancara TEMPO dengan Sidney Jones, Direktur Eksekutif Asia Watch.

Asia Watch melaporkan jumlah korban pemerkosaan massal yang lebih sedikit dibandingkan dengan versi Tim Relawan. Bisa Anda jelaskan alasannya?

Kami menyebut jumlahnya mungkin lebih rendah berdasarkan pengujian beberapa kasus, meskipun kami juga mempertimbangkan kasus pemerkosaan yang tidak terlaporkan. Data Tim Relawan terkumpul dari berbagai sumber yang tidak seragam kredibilitasnya. Sebagai sumber, kredibilitas dokter yang menangani korban tentu lebih tinggi. Ini lain dengan seorang pejalan kaki yang menyaksikan perempuan yang stres dan menyangkanya sebagai korban pemerkosaan.

Pada beberapa kasus, sebagian dari laporan itu mungkin kredibel. Tapi sebagian lainnya tidak. Misalnya, seseorang melihat tetangganya diperkosa dan lantas meninggal di Singapura. Penting bagi si pewawancara untuk bertanya bagaimana dia tahu tempat si korban meninggal. Bila laporan bersumber dari telepon seseorang yang panik, memang mustahil menanyakan hal yang detail. Lebih baik abaikan saja data yang meragukan dan gunakan yang betul-betul verifiable, yang bisa dicek, dan berasal dari sumber independen.

Apakah Anda pernah bertemu dengan korban pemerkosaan selama melakukan investigasi?

Saya tidak bertemu dengan korban selama kunjungan saya ke Indonesia, tapi itu tidak berarti saya berpendapat pemerkosaan tidak ada. Sewaktu saya di Jakarta, pertengahan Agustus lalu, beberapa pejabat membantah data Tim Relawan dan itu adalah klimaks rasa skeptis dan tidak percaya. Dalam situasi begitu, tidak mungkin korban pemerkosaan mau menemui orang asing.

Kabarnya, Anda bertemu dengan korban yang dibawa Romo Sandi ke Washington?

Saya memang bertemu dengan korban yang dibawa Romo Sandi ke Washington. Dia diperkosa pada bulan Juni oleh laki-laki yang mengaku memerkosa perempuan Cina saat kerusuhan Mei.

Ada kecurigaan bahwa pemerkosaan Mei itu terorganisasi dan sistematis, semacam ethnic cleansing di Bosnia. Bagaimana pendapat Anda?

Saya tidak punya cukup informasi untuk menyatakan ada pemerkosaan sistematis. Angka adalah poin penting dalam isu ini. Dua orang diperkosa dalam tiga hari tidak bisa menjadi bukti adanya organisasi di belakangnya. Bila kasusnya di atas 100, indikasi pemerkosaan terorganisasi lebih kuat. Tapi, untuk membuktikan ada pemerkosaan sistematis pada etnis Cina, dibutuhkan bukti yang lebih kuat ketimbang yang selama ini saya dapatkan.

Apa yang Anda lihat sebagai poin utama dalam kasus pemerkosaan massal?

Debat ada tidaknya pemerkosaan cenderung destruktif. Ada bukti yang lebih kuat untuk bentuk kekerasan lain yang terorganisasi seperti penjarahan atau pembakaran rumah dan toko. Bila bukti penjarahan bisa menuju proses pengadilan, dengan sendirinya tuntutan pembuktian pemerkosaan akan lebih tinggi. Dua jenis pelanggaran itu berkaitan.

Kekhawatiran saya, ketakutan pada pemerkosaan digunakan untuk meneror etnis Cina. Beberapa elemen rasial ekstrem sedang tumbuh di Indonesia seiring dengan iklim politik yang mulai terbuka. Mereka percaya bahwa etnis Cina bisa diancam dengan ketakutan akan pemerkosaan. Satu-satunya jalan untuk meng-counter ini adalah dengan memastikan bahwa data pemerkosaan itu solid dan bukan desas-desus.

Apakah Anda pernah menjumpai kasus serupa ini di luar negeri?

Kolega saya di Bosnia menemukan kesulitan yang sama dalam investigasi pemerkosaan. Di sana terbukti jelas bahwa pemerkosaan memang terjadi. Ada lebih dari 30 ribu kasus yang dilaporkan. Tim PBB memperkirakan ada sekitar 800 pemerkosaan selama perang yang lebih dari setahun. Beberapa pihak percaya angkanya lebih rendah. Memang pemerkosaan adalah pelanggaran hak asasi yang paling susah diinvestigasi. Bila ada sebuah mal terbakar, mayat yang terbakar bisa dihitung. Tapi tidak gampang menghitung perempuan yang mengalami trauma atau terlalu takut akan stigma sosial untuk melaporkan apa yang terjadi.

Aksi advokasi sering memakai statemen yang hiperbolik. Bagaimana strategi yang terbaik? Teliti dengan fakta, dengan risiko kehilangan perhatian sosial, atau mendramatisasi insiden?

Saya tidak percaya hiperbol bisa membantu penegakan hak asasi. Dan tidak ada hubungan hiperbol dengan kasus ini. Yang terjadi adalah situasi chaos yang dilaporkan berbagai grup, terkadang dengan telepon. Banyak di antaranya yang tidak mungkin dituliskan dengan detail. Pilihannya memotong kasus yang banyak guna mendapat yang sedikit tapi kuat. Dalam Kasus 27 Juli, saat itu dilaporkan lebih dari 100 orang hilang, dan setelah pengecekan yang ketat oleh Komnas HAM--bahkan sampai door to door--jumlah yang hilang tinggal puluhan. Untuk kasus pemerkosaan, memang perlu waktu untuk mendapat gambaran nyata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus