Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung itu diliputi warna hitam. Di bagian belakang ada undak-undakan sederhana yang muram. Tiang-tiang tinggi tertancap di beberapa bagian pentas. Seperangkat gamelan diletakkan pada panggung kecil di sudut ruang. Sinar lampu redup. Bayang-bayang menghilang.
Begitulah suasana panggung pementasan Suku Naga, 29-30 September lalu, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, sebagai bagian dari Art Summit Indonesia II. Ada suasana muram tentang sebuah suku yang harus menyingkir atas desakan arus modernisasi.
Suku Naga adalah karya Rendra yang dipentaskan pertama kali 23 tahun lalu dan berupaya mengangkat problem sosial dalam kesenian berbentuk teater. Problem sosial dalam seni merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah mati. Semangat itulah yang tampaknya akan diwujudkan Rendra melalui Suku Naga, meski dalam pementasan kali ini ia gagal.
Suku Naga berkisah tentang suku yang menempati sebuah lembah yang rindang di Negeri Astinam. Kepala Suku Naga, Abisavam (Adi Kurdi), bersama penduduknya hidup dalam sebuah tatanan yang dibangun untuk menghargai alam. Bahwa tanah adalah anugerah yang harus dipelihara. Bahwa penjualan lahan hanya akan menjadi sumber konflik.
Ketika modernisasi datang, keteduhan suku Naga porak-poranda. Modal asing berusaha masuk untuk mengeruk bahan tambang yang bersembunyi di balik kuningnya padi. Dan modal selalu bersekutu dengan kekuasaan. Suku Naga terusik. Mereka terasingkan.
Dalam pertunjukan berdurasi tiga jam ini, Rendra tampaknya terbuai oleh tema lama tentang kemurnian alam dan tentang suku asing yang disingkirkan "modernisasi". Inilah sebuah tema yang terasa kental dalam diskursus sosial pada era 1970-an. Sayang sekali, untuk pementasan saat ini, Suku Naga jadi kehilangan gereget.
Tentu saja pementasan ini bisa menjadi sebuah nostalgia tentang bagaimana teater yang "subversif" bisa eksis dalam sebuah era yang menempatkan kesenian Rendra sebagai ancaman bagi kekuasaan. Tapi cukupkah itu? Rasanya tidak. Teater, atau karya apa pun yang diniatkan sebagai alat untuk mengenang, hanya akan menempatkan teater itu atau tokoh di belakangnya sebagai pihak yang penting dan menonjol. Artinya, sebagai karya seni, Suku Naga versi tahun 1998 ini jadi kehilangan substansi.
Dalam aksi panggung Suku Naga, kenyataan itu tampak pekat dalam serangkaian kor yang diciptakan penyair burung merak ini. Penonton yang terbiasa mendengarkan lafas Rendra ketika membacakan puisi akan merasakan bagaimana roh Rendra meluncur dari mulut setiap pemainnya. Kor itu juga bisa dipahami sebagai bentuk keseragaman. Dan ketika keseragaman itu bertemu dengan lafas Rendra, yang terjadi adalah pemusatan pengadeganan dalam pementasan. Persoalannya barangkali terletak pada penyutradaraan yang dirangkap oleh Rendra sebagai penulis naskah. Jika saja penyutradaraan ini dilakukan orang lain, salah satu personel Bengkel Teater misalnya, setidaknya kemungkinan pemusatan tersebut bisa dihindari.
Rendra menganggap penyutradaraan oleh dirinya sesuatu yang penting. "Regenerasi dalam Bengkel Teater dilakukan bukan dengan memilih sutradara lain, tapi dengan membiarkan anggota Bengkel Teater mendirikan teater dengan nama lain seperti ketika Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri," tutur Rendra kepada TEMPO. Artinya, Bengkel Teater memang identik dengan Rendra dan kesan itu akan terus dipertahankan.
Di luar masalah itu, keasyikan menyaksikan Suku Naga memang akhirnya hanya kita rasakan dalam aksi panggung Adi Kurdi atau Ken Zuraida (Ratu Astinam), yang masih andal mengolah tubuh dan vokalnya. Musik yang digarap Dedek Wahyudi melalui kelompok gamelan Nyai Seninjong mampu memperkuat adegan. Adi Kurdi yang menari masih kelihatan lincah dan luwes meski tubuhnya telah bergelambir dan jauh lebih gemuk daripada ketika ia memainkan peran yang sama pada 1975. Akting pemain lainnya kelihatan kedodoran.
Bloking dan tata panggung menunjukkan ciri khas pementasan Bengkel Teater: sederhana dan memberikan fokus yang kuat pada setiap tokoh utama dalam setiap adegan. Namun, kekuatan ini tidak didukung tata cahaya, yang berkesan monoton. Di luar problem teknis tersebut, dibandingkan dengan karya-karya teater Rendra seperti Mastodon dan Burung Kondor atau Panembahan Reso, drama Suku Naga kehilangan kekuatan untuk bersaing. Ide yang disampaikan bukan baru dan cenderung berkesan pengulangan. Tidak jelas apakah itu karena kita terlalu sering mendengarkan Rendra sehingga hafal terhadap setiap ide yang ia sampaikan. Mungkin bukan Rendra yang salah, tapi kita yang telah kehilangan alternatif.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo