Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menarikan Naluri, Menirukan Imaji

Yukio Waguri menampilkan karya seni Butoh. Ia masih sibuk dengan gerak-gerik meniru sesuatu.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jika berhasrat menarikan sekuntum bunga, kau dapat menirunya hingga menyerupai sembarang bunga. Banal dan biasa. Namun, jika kau menghidupkan keindahan bunga itu beserta rasa yang bangkit dalam tubuhmu, bunga yang kau cipta itu menjadi unik dan nyata, hingga penonton pun terhanyut olehnya."

Begitulah tutur Kazuo Ohno, seorang tokoh yang tak mungkin lagi dihapus dari sejarah perkembangan seni Butoh. Dan kita seakan mendapat kebenaran kata-kata itu, tak hanya lewat duet Kazuo dengan putranya, Yoshito Ohno, dalam Ka Cho Fu Getsu, melainkan juga pada Unetsu--repertoar bersuasana liris dalam selubung aura yang magis dari grup Sankai Juku pimpinan Ushio Amagatsu--yang dipentaskan di Jakarta tiga tahun lalu.

Namun, seni Butoh tak hanya sebatas yang diperkenalkan oleh Ohno dan Sankai Juku. Sejak ditemukan Tatsumi Hijikata pada akhir dasawarsa 1950--suatu ekspresi ragawi yang oleh para pelakunya diklaim sebagai pemberontakan terhadap kaidah tari--Butoh telah berkembang menjadi beragam aliran, seperti yang ditampilkan Yukio Waguri bersama kelompok Kohzenza dalam rangkaian Art Summit Indonesia II-1998, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 25-26 September lalu. Beragam aliran itu, menurut Waguri, yang pernah berguru kepada Hijikata, semua bersumber dari tiga landasan gerak Butoh, yakni improvisasi, konstruksi, dan koreografi. Karya-karya Butoh yang diciptakan Waguri merupakan paduan antara improvisasi dan koreografi.

Dengan komposisi bertajuk The Topography of Image, Waguri mencoba memvisualkan tema roh tanah yang melambangkan asal mula dibentuknya manusia. Saksikan, bagaimana Waguri dan tiga penari lain (Asuka Shimada, Yuriya Ikeda, dan Mayo Miwa) memainkan ekspresi tubuh yang berubah-ubah sesuai dengan citranya tentang pelbagai hal, dari bentuk mulur-mungkret dan lengket serupa getah karet, imaji dunia tanah yang lembab-basah, hingga aneka spesies binatang dari reptilia, mamalia, hingga insekta.

Pada beberapa bagian, tampak gerakan-gerakan berproyeksi serba besar seakan hendak menguasai ruang. Semua itu sesuai dengan imajinasi yang menjadi tumpuan penciptaan atau gambaran Waguri tentang proses terbentuknya alam semesta melalui beberapa fase: dunia yang belum berbentuk dicitrakan sebagai tanah basah berlumpur. Berikutnya, lumpur itu mengental menjadi batuan tanah, lantas mengering menjelma menjadi binatang, dan akhirnya seluruh bentuk itu kembali mengabur dan menyebar menjadi cahaya atau udara.

Seluruh fase itu dihadirkan dengan awal kesenyapan. Suasana gelap untuk beberapa saat, kemudian dua bencah cahaya membias perlahan menampakkan tiga lembar tirai menjuntai, sewaktu bagian tengah menjorok ke dalam seakan hendak menegaskan perspektif kedalaman ruang. Di tengah panggung ada dua sosok yang disatukan selubung putih diam merentang. Terjadi tarik-ulur dengan gerak-gerik plastis, lantas keduanya padu, saling dekap, saling lumat, sampai lenyap. Disusul suara gemuruh genderang, digegapkan cericit burung dan salak anjing yang mengiringi munculnya sosok "manusia purba" berbebat selembar cawat dengan rambut gimbalnya dilumur pupur. Gerak-geriknya kadang kaku, patah-patah, kadang meliuk lentur, menampakkan perilaku ganjil dan musykil, membersitkan kenangan pada dunia binatang. Sesekali, sosok primitif itu mengacung-acungkan segenggam jerami. Fase-fase berikutnya menggambarkan pembebasan sosok purba itu dari belenggu peradaban: dari pakaian tradisional Jepang hingga gaun panjang ala Barat yang semua dikenakan tidak sebagaimana lazimnya.

"Catatanku mengenai Butoh penuh jejak dari alam-bunga, burung-burung, asap, hantu, ruang, dan sebagainya," tutur Waguri. Ia menekankan prinsip dasar dari Butoh bahwa tubuh adalah "kosong", ruang terbuka tempat segala unsur alam dimungkinkan merasuk dan memancar ke segenap saraf. Itu sebabnya kita tak menyaksikan rangkaian gerak-gerik yang membentuk komposisi sebuah cerita di sana. Yang ada cuma tema dan titik tolak gerak. Tema itu tentu saja merupakan hasil konstruksi pikiran--unsur yang terlalu dominan--sebagai panglima yang memberi instruksi kepada otot-otot sadar dalam tubuh kita. Sampai di situ, pikiran masih berperan sebagai pemberi komando sekaligus kerangka bagi seluruh kemungkinan gerak raga. Selanjutnya ia akan "dikesampingkan" agar unsur alam, sel, dan saraf tak sadar yang menghasilkan gerak refleks--reaksi spontan tubuh--berkesempatan melakukan aktualisasi.

Wajarlah jika dalam Butoh kita tak menemukan kemutlakan desain, pakem, atau pola baku, sebagaimana yang biasa kita temui dalam konvensi balet, tari modern Barat, maupun tari tradisional Jepang. Dalam khazanah tradisi kita, prinsip gerak seperti ini dikenal oleh beberapa komunitas kesenian sebagai "gerak naluri". Pikiran yang mempunyai pola telah dieliminasi, dan tubuh sepenuhnya dibebaskan untuk menarik naluri--berarti mengubah sesuatu yang abstrak menjadi konkret. Dengan kata lain, di dalam pertunjukan, tubuh penari mesti siap "menjadi" sesuatu yang dibentuk imajinasi. "Aku akan bahagia jika penonton menganggap diriku seperti seekor kupu-kupu di musim dingin," kata Waguri. Pernyataan itu justru menegaskan betapa sesungguhnya Waguri belum mampu memenuhi keinginannya sendiri.

Barangkali tidak relevan membandingkan pementasan Waguri kali ini dengan garapan Sankai Juku yang berlandaskan pada prinsip konstruksi. Di sini kaidah estetika masih dipandang penting untuk diperhitungkan. Meskipun demikian, Waguri tetap memanfaatkan teknik yang tak jauh beda: set, kostum, properti, tata cahaya, dan tata suara. Dalam pentas Waguri, kekuatan tata artistik justru melemahkan kehadiran para penari, yang mestinya menjadi unsur utama. Tata pentas yang mengesankan keluasan dan kedalaman ruang membuat para pemain seakan tenggelam. Musik yang amat dominan telah mengalami pergeseran fungsi dari faktor yang membuat suasana sempurna menjadi faktor pemberi aba-aba gerakan yang sering dipaksa agar sesuai. Bahkan tata cahaya, terutama pancaran lampu dari arah depan yang menghasilkan bayangan besar pada layar belakang, terasa lebih indah daripada tarian aslinya.

Menilik prinsip dasar gerak pertunjukan ini, yakni paduan antara improvisasi dan koreografi, agaknya Waguri lebih dekat dengan metode yang digunakan Kazuo Ohno, terutama untuk karyanya Bunga-Bunga Burung-Burung Angin Bulan. Namun, dalam soal pencapaian artistik, Ohno terasa lebih "menjadi". Waguri masih sibuk dengan gerak-gerik meniru sesuatu, belum menjelma menjadi sesuatu. Ibarat membaca sebuah teks, kita masih sadar bahwa kita tengah berhadapan dengan teks itu dan tak sempat terhanyut sampai memasuki dunia lain. Maka, sepanjang 70 menit pertunjukan, kita masih menyaksikan Yokio Waguri yang penuh rasa ingin dan belum menjadi kupu-kupu di musim dingin.

Sitok Srengenge

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus