Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Delima Silalahi, Pejuang Hutan Adat Batak

Buat Delima Silalahi, mendampingi masyarakat adat Tano Batak yang memperjuangkan hak hutan adat seperti jalan sunyi.

7 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi. Dok. Edward Tigor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Delima Silalahi meraih Goldman Environmental Prize 2023.

  • Ia mendampingi masyarakat adat Tano Batak yang memperjuangkan hak hutan adat.

  • Perempuan selalu berjuang di garda depan dalam menuntut hak adat mereka.

Tak pernah sedikit pun terbayangkan di benak Delima Silalahi bakal menerima penghargaan pegiat lingkungan bergengsi seperti Goldman Environmental Prize 2023. Bagi Delima, bekerja mendampingi masyarakat adat Tano Batak yang memperjuangkan hak hutan adat mereka merupakan sebuah keikhlasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tak ada sedikit pun keinginan saya dan kawan-kawan menjadi pahlawan atau mendapatkan penghargaan," kata Delima kepada Tempo dalam wawancara daring, Jumat pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delima bercerita tentang pengalaman luar biasanya menerima penghargaan tersebut. Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) itu merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional. Padahal, sebelumnya, ia merasa berjuang mendampingi masyarakat adat Batak ibarat berjalan di jalan yang gelap dan sunyi.

Delima menerima penghargaan Goldman Environmental Prize untuk kategori negara pulau dan kepulauan di Opera House San Francisco pada Senin pekan lalu. Ia juga mendapat jadwal makan malam bersama tokoh lingkungan dunia. Di situlah ia memanfaatkan perjamuan makan itu untuk memperluas jaringan.

Selain tentang penghargaan Goldman Environmental Prize, Delima bercerita tentang suka-dukanya mendampingi masyarakat adat memperjuangkan hak atas hutan adat mereka. Delima juga bercerita tentang kekhawatiran keluarganya saat pergi masuk-keluar hutan selama berhari-hari. Berikut wawancara Tempo dengan Delima Silalahi.


Bagaimana perasaan Anda memenangi penghargaan Goldman Environmental Prize 2023?
Tentu saya senang. Meski penghargaan individu, ini sejatinya untuk gerakan masyarakat adat di Tanah Batak. Saya hanya terpilih. Sejatinya ini kerja bersama KSPPM dan gerakan masyarakat adat di Tano Batak dan Indonesia. Tentu kami sangat senang kerja kami di tingkat akar rumput, bekerja di desa, tidak begitu terpublikasi dan memang sejatinya bukan untuk publikasi, tapi kami merasa diapresiasi dunia internasional. Kami jadi semakin bersemangat lagi melakukan advokasi yang lebih baik untuk pemenuhan hak-hak masyarakat adat, hutan, dan bumi kita.


Bagaimana seremoni penyerahan penghargaannya dan apa saja yang Anda alami?
Saya tidak membayangkan sebelumnya akan dapat penghargaan semacam ini. Sebab, apa yang kami lakukan selama ini bukan demi menjadi pahlawan atau penghargaan. Tapi pada saat seremoni itu, saya merasakan, ternyata ketika melakukan sesuatu dengan gembira, sukacita, dan bermakna, kita akan dihargai.

Saya sangat terkejut dihargai masyarakat banyak. Ternyata masyarakat internasional masih banyak yang peduli pada masalah hutan. Mereka ada ribuan orang hadir dan memberi apresiasi, sampai memeluk dan menangis. Karena mereka merasa ternyata ada beberapa orang di belahan dunia ini yang bekerja untuk hutan, bukan demi kepentingan sendiri. Saya merasa berada di lingkungan yang saya idamkan. Karena berjuang untuk masyarakat adat itu adalah berjalan di jalan sunyi.

Delima Silalahi menerima Goldman Environment Prize 2023 di Opera House San Francisco, California, Amerika Serikat, 24 April 2023. Dok. Goldman Environment Prize

Bagaimana suasana makan malamnya?

Soal acara makan malamnya kan itu soal bagaimana membangun relasi. Mereka datang untuk sekadar bertemu dan tanyakan kabar. Acara makan malam itu lebih ke saling menguatkan.


Bagaimana proses Anda masuk penilaian dan menang?
Mungkin untuk proses bisa ditanyakan ke Goldman, ya. Saya tidak tahu prosesnya sejak awal. Jadi, ada organisasi yang menominasikan saya. Setiap tahun The Goldman melakukan seleksi terhadap individu yang dinominasikan orang lain tanpa diketahui orang itu. Jadi, dibentuk panitia riset independen yang meriset orang tersebut. Ketika saya ditelepon pihak Goldman, saya pikir itu penipuan. Sebab, saya dan KSPPM enggak tahu sama sekali dan orang-orang yang memberikan testimoni tentang saya itu tidak cerita. Mereka sangat rahasia dan punya juri sendiri.

Kapan Anda mendapat kabar?

Saya dapat kabar pada akhir Oktober lalu. Saya ditelepon dan saya anggap seperti penipuan. Baru sadar setelah mereka kirimkan dokumen-dokumennya. Tapi, karena ini penghargaan individu, jadi saya harus tanya ke kawan-kawan di KSPPM. Saya diskusikan lagi dengan kawan di KSPPM. Saya lakukan ini bukan demi jadi pahlawan, melainkan hanya agar bermanfaat bagi banyak orang. Lalu kawan dari KSPPM meminta saya menerima penghargaan ini. Ini menjadi penghargaan untuk kami semua. Jadi, saya akhirnya mengisi persetujuan menerima penghargaan tersebut.


Apa arti atau makna kemenangan ini bagi perjuangan Anda dan KSPPM?
Maknanya sangat besar. Selama ini kami merasa bekerja jauh di desa. Tidak pernah diliput orang. Kami hanya berusaha agar hak-hak masyarakat adat terpenuhi. Kami enggak pernah memikirkan adanya penghargaan seperti ini. Jadi, soal makna penghargaan ini, saya merasa sekecil apa pun yang kita lakukan ternyata itu bermakna di mata orang. Saya melihat ada kecenderungan di tengah masalah tentang lingkungan, ada masyarakat yang ingin mengubah bumi ini lebih baik sampai terpenuhinya hak masyarakat adat.

Kami jadi berpikir bahwa kami tidak bekerja sendirian. Sebab, terus terang di Indonesia sendiri masih banyak yang tidak mengakui masyarakat adat, hak-hak mereka. Kerja-kerja kami dilecehkan dan dianggap tidak penting. Tapi ternyata dunia internasional mengakui kerja kami. Jadi, ini sangat bermakna buat kami dan komunitas lain yang sama dengan kami. Apa yang kami lakukan selama ini bukan tindakan kriminal dan tidak salah.


Bagaimana awal mula aktivitas Anda merebut kembali hak kelola atas hutan adat di Sumatera Utara?

Saya bergabung dengan KSPPM, sebuah LSM lokal yang mendampingi petani dan masyarakat adat untuk isu lingkungan serta pemenuhan hak tanah dan ekosob (ekonomi, sosial, budaya) pada Desember 1999. Sebelumnya, saya sudah tertarik dengan isu sosial dan lingkungan karena latar belakang saya kuliah di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Lalu, pada masa kecil, saya juga sering bermain di sawah orang. Ada pancuran, sungai, dan lain-lain.

Tapi saat kuliah itu saya pelajari banyak sekali masalah lingkungan, misalnya illegal logging. Di KSPPM, saya belajar banyak tentang hal itu. Tentang hak masyarakat adat itu di tanah Batak, 60 persen wilayahnya masuk dalam klaim hutan negara. Atas klaim tersebut, negara memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan itu. Tidak ada skema lain yang bisa dilakukan untuk kembalikan tanah adat masyarakat. Agar tanaman pohon kemenyan bisa dihidupkan lagi.

Dulu, sewaktu saya sekolah, teman saya dengan orang tua petani kemenyan, itu pasti dia orang kaya. Jauh berbeda dibanding saya yang anak guru. Anak petani kemenyan itu lebih punya uang. Tapi sekarang petani kemenyan itu semakin miskin. Untuk sekolahkan anaknya ke perguruan tinggi semakin susah. Dari diskusi di KSPPM dengan petani kemenyan, ternyata terjadi penurunan setiap tahun sejak tanah adat diberikan kepada perusahaan.

Kami di KSPPM harus menyusun strategi agar masyarakat adat mendapatkan kembali haknya. Walaupun skema hutan adat ini bukan sesuatu yang paling tepat untuk menjadikan masyarakat adat berdaulat di tanahnya, tapi setidaknya ini skema paling pas saat ini. Mereka bisa kelola hutan adat sesuai dengan kearifan lokal. Kami bisa rasakan kerusakan hutan adat itu jelas terasa. Buktinya, tidak ada lagi sungai-sungai jernih di hutan adat, sampai pola pertanian mereka.

Delima Silalahi meraih Goldman Environment Prize 2023 berkat perjuangannya bersama kelompok masyarakat adat dalam melindungi hutan adat di Sumatra Utara. Dok. Edward Tigor


Bagaimana akhirnya pemerintah bisa memberikan hak pengelolaan hutan adat seluas 7.213 hektare kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak pada 2022?
Proses ini panjang. Saya bekerja untuk KSPPM sudah 23 tahun. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 yang menguatkan hutan adat bukan hutan negara, itu menjadi satu peluang yang kami gunakan bagaimana masyarakat adat kelola hutan adat sesuai dengan kearifan lokal mereka. Tapi putusan MK 35 itu bukan otomatis, karena harus ada perda dan lain-lain. Jadi, itu sangat panjang.

Jadi, pada 2022 itu hanya sebagian kecil dari yang sedang diperjuangkan masyarakat adat Batak. Kami bersama AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Tano Batak dan gerakan lain mendesak agar pemerintah segera mengakuinya. Waktu itu dimulai pada 2016 saat Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Pencadangan Hutan Adat ke Panduman Sipituhuta. Kala itu masih SK Pencadangan karena belum ada perda.

Nah, sebelum tujuh SK Hutan Adat itu, yang kami advokasi adalah terbitnya perda di daerah. Dan kami bersyukur Pemkab Tapanuli Utara menerbitkan Perda Pengajuan Hak-hak Masyarakat Adat. Pemkab Samosir juga sedang dalam proses. Pemkab Toba juga sedang berproses, tapi ada kendala.


Lalu, bagaimana pekerjaan rumah Anda dan kawan-kawan yang belum selesai?
KSPPM dan AMAN Tano Batak sudah ajukan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup itu sekitar 33 komunitas masyarakat adat untuk dilepaskan di lima kabupaten. Ada Kabupaten Toba, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Simalungun. Yang ada perda itu Tapanuli Utara dan Toba. Pada 2019, Pemkab Humbang Hasundutan menerbitkan perda khusus untuk Panduman Sipituhuta. Belum perda payung. Ada tiga masyarakat adat di Humbang Hasundutan yang tidak bisa menggunakan lahan adatnya jadi serba menggantung karena perda pembahasannya belum ada.

Di Tapanuli Utara, kami sudah ajukan pada 2021. KLHK membentuk tim verifikasi untuk memverifikasi 18 kelompok masyarakat adat. Dari 18 kelompok masyarakat adat itu, ada lima yang direkomendasikan mendapat SK Hutan Adat. Tiga di Tapanuli Utara sudah SK Hutan Adat. Dua di Toba itu masih SK pencadangan karena bupati belum bersedia. Di Samosir juga begitu, karena perdanya belum ada.

Saat ini masih menggantung sudah satu tahun dievaluasi oleh Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara dan Kementerian Dalam Negeri. Kita tidak tahu persoalan di mana karena Pemkab Samosir bilangnya masih dievaluasi di sana. Tapi perda ini bukan lahir dari kebijakan politik bupati, jadi tidak dianggap mendesak. Keberpihakan terhadap masyarakat adat itu oleh sebagian pemerintah daerah masih berupa slogan. Jadi, nasib masyarakat adat itu, kalau pemerintah bilang ada, ya, ada, tapi kondisinya miris.


Jadi, mayoritas masyarakat adat Tano Batak belum bisa menggunakan tanah hutan adatnya?
Iya. Mereka menggunakan hutan adat karena secara de facto mereka menguasai, tapi mereka terancam karena mereka ambil satu pohon kayu pun bisa dianggap mencuri. Bisa dipidana dan ditangkap. Ini kerap terjadi di Samosir. Jadi, mereka sedang berladang, lalu dipanggil polisi kehutanan, diproses pidana. Menurut kami, itu bentuk kriminalisasi. Nah, sebagian besar lahan itu dikuasai TPL (Toba Pulp Lestari). Namun masyarakat adat berusaha mengklaim lagi karena mereka menganggap TPL tidak ada manfaatnya lagi di wilayah hutan adat mereka. Sekarang masyarakat adat lebih banyak menanam kembali pohon-pohon di wilayah hutan adat mereka. Walaupun harus berhadapan dengan polisi dan terancam dikriminalkan.


Bagaimana upaya masyarakat adat menanam kembali tanaman kemenyan di hutan adat?
Setelah pohon eucalyptus tumbuh di sana dan setelah reformasi masyarakat jadi lebih tahu hak-haknya, mereka berani untuk mengganti tanaman eucalyptus. Karena masyarakat adat benar-benar merasakan apa yang terjadi setelah hutan adat dibabat dan ditanami eucalyptus. Tidak ada manfaat untuk mereka, malah menimbulkan masalah, seperti hewan liar menyerang tanaman mereka serta sungai dan lingkungan rusak.

Delima Silalahi (kiri) memberikan penyuluhan kepada masyarakat adat. Dok. KSPPM untuk Goldman Environment Prize


Bagaimana upaya restorasi lahan hutan adat?
Dari 7.000 hektare yang dikembalikan ke masyarakat adat itu, ada seribuan hektare yang sudah ditanami eucalyptus dan itu harus dikembalikan ke asalnya. Masyarakat adat sudah ada rencana untuk restorasi lahan. Sudah punya bibit tanaman endemik selain kemenyan. Mereka akan kembalikan itu, tapi ternyata tidak mudah. Sebab, ternyata akar-akar eucalyptus itu harus dibongkar.

Sementara di sisi lain itu kewajiban TPL, ya, tapi masyarakat sudah trauma, tidak mau berurusan dengan TPL lagi. Jadi, masyarakat mengelola restorasi itu perlahan satu hektare demi satu hektare dulu. Sebab, tidak murah juga. Untuk membongkar akar eucalyptus satu hektare lahan butuh Rp 15 juta.

Jadi, bayangkan berapa biaya untuk bongkar seribu hektare lahan, untuk sewa alat berat, dan semacamnya. Karena itu, mereka memilih cara tradisional dengan membiarkan akarnya perlahan mati dengan cara dibakar, tapi itu jelas tidak ramah lingkungan. Jadi, ada yang mereka cangkul sedikit demi sedikit. Sebenarnya ini pemerintah punya tanggung jawab memulihkan hutan-hutan adat.

Seperti apa bahaya tanaman eucalyptus bagi hutan adat?
Sangat mengganggu, ya. Ada banyak literatur bahwa eucalyptus itu rakus air dan butuh pupuk kimia tinggi. Ini bikin sungai kering, tanah gersang. Efeknya, tanaman asli seperti kemenyan tidak bisa hidup di tanaman monokultur. Eucalyptus bukan tanaman endemik kita.


Bagaimana tantangan ke depan masyarakat adat Tano Batak?
Kami pikirkan pengembalian tanah hutan adat bukan sekadar hak atas tanah, tapi juga melestarikannya. Nah, untuk masyarakat adat yang sudah tua, pasti sudah paham akan kearifan lokal pengelola hutan mereka. Tapi yang muda-muda ini sudah paham tawaran pengelolaan hutan adat dengan cara lain, termasuk pariwisata dan lainnya. Intinya, ada kekhawatiran pergeseran pengelolaan lahan dari kearifan lokal ke ekonomi.


Apakah masyarakat adat sekarang semakin paham hak-hak mereka?
Iya, sekarang ini perjuangan mereka. Kami hanya fasilitasi, seperti yang dijelaskan undang-undang, lalu bagaimana mereka tidak melakukan kekerasan saat berjuang. Kami hanya bantu mereka. Semua strategi itu mereka yang susun. Masyarakat adat itu punya aturan dan pola musyawarah sendiri. Kami hanya bantu diskusi komunikatif, membantu dokumentasi sejarah, silsilah, sampai peta hutan adat. Karena budaya mereka bukan budaya tulisan, melainkan lisan. Jadi, kami bantu untuk tuliskan.

Sama seperti peta, undang-undang yang mengharuskan hutan adat berbentuk peta. Padahal hutan adat masyarakat itu batasnya batas alam, seperti sungai, pohon, lembah, dan tebing. Jadi, banyak yang bertanya, kok, masyarakat adat enggak tahu luas hutan adat mereka. Karena tidak penting bagi mereka mengenal luas wilayah hutan mereka. Sebab, mereka tidak menilai hutan dengan uang. Pemerintah yang menilai luas hutan dengan nominal uang.

Bagi masyarakat adat, itu enggak penting karena, bagi mereka, hutan itu bukan ekonomi, melainkan komunal, milik bersama. Itu soal identitas dan relasi sosial mereka. Itu pengalaman kami verifikasi dengan tim. Jadi, yang enggak paham masyarakat adat itu pasti bertanya, kok, mereka enggak tahu luas wilayah mereka. Ya, jelas enggak tahu, karena yang mereka tahu soal batas hutan itu, ya, di sana lembah, di sana sungai, dan di sana bukit.

Ya, sudah, kami coba bantu jelaskan ke masyarakat adat tentang mekanisme negara, termasuk pengukuran luas hutan adat. Supaya bisa dibikinkan peta. Peta ini pula yang membantu pemerintah. Tidak mudah sebenarnya mendokumentasikan budaya lisan ke tulisan.


Bagaimana contoh kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan mereka?
Di Tano Batak itu punya aturan adat sendiri. Mereka punya tata ruang. Jadi, mereka ada aturan di mana harus ada permukiman, lalu di mana sawah, di mana letak permakaman, di mana lokasi ladang, tempat penggembalaan ternak, sampai di mana saja lokasi hutan yang tidak boleh dimanfaatkan alias dilindungi. Jadi, ada beberapa tata ruang masyarakat adat, termasuk wilayah untuk permukiman baru, karena ada anak laki-laki mereka yang menikah atau ada lokasi perkampungan baru. Jadi, kalau masyarakat umum melihatnya itu lahan telantar dan tidak dikelola, tapi, kok, diakui oleh mereka.

Lalu soal tanaman kemenyan. Mereka menganggap kemenyan itu penjelmaan perempuan yang memberikan kehidupan lewat getahnya. Nah, mereka merawat dan melindungi kemenyan. Mereka percaya kemenyan baru bisa menghasilkan getah jika tanaman itu dilindungi atau ada pohon-pohon lain yang melindungi. Itu sebabnya mereka menanam kemenyan itu sebagai tanaman monokultur. Jadi, ada pohon-pohon lain yang ditanam di sekitar pohon kemenyan. Bahkan, pohon kemenyan tua pun tidak akan ditebang oleh masyarakat adat, jadi dibiarkan membusuk dan jadi pupuk alami.

Delima Silalahi (kiri) memberikan penyuluhan kepada masyarakat adat. Dok. KSPPM untuk Goldman Environment Prize


Apa peran perempuan dalam memperjuangkan hak masyarakat adat?
Perempuan menganggap bumi sebagai ibu yang fungsinya tidak cuma produksi, tapi juga reproduksi atau harus diteruskan ke generasi berikutnya. Dia harus meyakinkan anak-anaknya mewarisi apa yang mereka punya saat ini. Karena itu, mereka tidak bisa menjual tanah. Karena pikirannya memberikan makan kepada generasi berikutnya. Mereka selalu menganggap tanah hutan itu titipan dan harus diwariskan. Jadi, bagi perempuan Batak, hutan dan tanah itu sangat penting.

Perempuan Batak juga akan menderita kalau hutan tidak ada. Sebab, di masyarakat Batak, khususnya di petani kemenyan itu, ada pembagian peran perempuan dan laki-laki. Misalnya laki-laki hidup di hutan. Mereka bisa berminggu-minggu hidup di hutan, sementara perempuan itu di wilayah domestik, seperti sawah, ladang, kebun kopi, dan urus anak. Ketika ruang hidup laki-laki atau dalam hal ini hutan diambil, akan ada perasaan laki-laki itu kehilangan pekerjaan.

Jadi, akan muncul kebimbangan laki-laki mengambil wilayah domestik perempuan tadi. Karena perempuan akan kehilangan ruang kerjanya yang selama ini menghasilkan uang. Sebab, hasil hutan biasanya disimpan untuk tabungan sekolah anak, biaya pesta, kesehatan, dan lain-lain. Tapi sekarang laki-laki enggak kerja di hutan, jadi kadang ikut istri ke sawah atau ke kebun kopi. Laki-laki juga butuh uang, jadi mengurangi penghasilan perempuan.

Nah, untuk menutupi biaya hidup itu, terkadang perempuan bekerja sebagai buruh tani, dan itu menambah beban biaya makan mereka setiap hari. Hal seperti ini bisa berimbas lagi sampai ke masalah rumah tangga hingga kekerasan dalam rumah tangga. Jadi, ini seperti beban ganda bagi perempuan. Makanya perempuan selalu berjuang di garda depan dalam menuntut hak adat mereka.

Seperti apa pengalaman unik Anda dalam mendampingi masyarakat adat?
Pekerjaan kami dianggap sia-sia karena seperti melawan program pemerintah. Karena pemberian hak kelola hutan kepada perusahaan itu, ya, negara. Ada banyak yang ragu apakah pekerjaan kami akan membuahkan hasil. Tapi bagi saya, semua pekerjaan ini berkesan, karena dilakukan dengan senang hati dan tak pernah mengeluh.

Bekerja bersama masyarakat adat itu seperti menemukan keluarga baru. Lalu kami terkadang merasa siapa sebenarnya kami, apa kuasa kami, saat masyarakat adat mengeluh tanah adatnya dirampas dan mereka minta kami berbicara dengan pemerintah agar mengembalikan tanah mereka. Tapi, ketika masyarakat adat memberikan doa kepada kami, entah doa kesehatan, keselamatan anak-anak kami di rumah, itu menurut saya tidak ada pekerjaan yang bisa mendapat doa baik untuk kami dan keluarga di rumah. Setiap bulan kami didoakan masyarakat adat itu sungguh kebahagiaan.


Bagaimana respons keluarga perihal Anda mendampingi masyarakat adat sampai masuk-keluar hutan dan meninggalkan keluarga?
Pastinya keluarga awalnya menolak karena menganggap pekerjaan saya tidak menghasilkan uang. Keluarga yakin saya bisa bekerja lebih baik di tempat lain. Dulu orang tua berharap anaknya jadi pegawai negeri dan bisa dibandingkan dengan keluarga atau anak tetangga lain. Terlebih di sini budaya patriarki. Saya dibonceng sepeda motor masuk-keluar hutan, lalu tinggal di rumah orang di hutan, banyak yang tanya apa yang saya cari.

Jadi, keluarga banyak yang menentang, tapi kembali lagi bahwa standar kebahagiaan itu berbeda-beda. Kembali lagi, saya didoakan masyarakat adat itu sangat bahagia. Setiap kali kami hendak pergi dari desa masyarakat kampung dan adat berkumpul dan memberikan doa kepada saya, suami, anak, teman kantor dan keluarganya agar selamat dan sehat. Itu sungguh kebahagiaan. Memang tidak ada materi yang kami dapatkan, tapi kebahagiaan semacam ini yang saya sukai.

Ada kalanya muncul pertanyaan setiap kali saya meninggalkan anak untuk bekerja mendampingi masyarakat adat. Tapi untungnya selama ini saya dan suami membicarakan hal seperti ini dengan baik. Saya bersyukur anak-anak saya dan anak rekan-rekan saya tidak ada yang telantar. Walaupun memang itu yang saya khawatirkan. Mungkin lagi-lagi karena doa masyarakat adat, sehingga anak-anak dan keluarga saya baik-baik saja.


Bagaimana upaya Anda mengenalkan pekerjaan kepada anak-anak?
Sejak anak-anak masih kecil, saya ajak ke desa untuk diskusi atau ke hutan, tapi dalam kondisi aman, ya. Malah ada salah satu peristiwa yang tidak bisa dilupakan. Pada 13 Februari 2013, kami rapat ke desa dan bawa anak laki-laki saya yang saat itu berusia 3 tahun. Ternyata di sana ada sweeping oleh polisi, jadi masyarakat ditangkapi polisi. Saat itu saya titipkan anak saya bersama sopir mobil kantor saya. Jadi, saat itu saya harus mendampingi masyarakat yang ditangkap di Polres Humbang Hasundutan. Saya ke Polres mendampingi ibu-ibu yang suaminya ditangkap.

Celakanya, sopir mobil kami ditangkap, kunci mobil diambil, dan anak saya tidur di mobil dalam kondisi terkunci. Saya panik. Akhirnya saya telepon suami dan keluarga. Saya sampaikan ke Wakil Kapolres bahwa anak saya tertinggal di mobil malah dianggap modus untuk menekan polisi. Lalu saya sampaikan, apakah sejahat itu saya korbankan anak. Akhirnya sopir kami dilepas dan anak saya masih tertidur di mobil.

Hal lain?

Selain itu, saya sering membawa buletin internal kami, namanya Prakarsa. Sebagai orang LSM, tentu saya tidak punya banyak uang untuk beli buku bacaan, jadi, ya, sudah saya bawakan saja buku itu ke rumah. Kebetulan anak saya suka baca. Saat ini anak saya yang besar sudah kuliah di UGM di hubungan internasional. Sejauh ini, minatnya pada perubahan iklim dan perspektifnya termasuk kritis dalam soal perubahan iklim. Ini salah satu legasi saya. Setidaknya anak saya paham tentang menjaga lingkungan, tidak buang sampah sembarang, sampai mengkritik tentang isu lingkungan.

Saya juga ajak suami. Saya minta dia antar saya ke desa, ke hutan. Karena di sana masih ada stigma jam malam perempuan. Sedangkan pekerjaan saya itu masuk-keluar hutan dan perkampungan sampai menginap di sana. Pasti ada saja anggapan bahwa saya bukan perempuan baik-baik. Beruntung, suami saya mengerti dan dekat juga dengan masyarakat adat.


Apakah Anda pernah mendapat intimidasi saat bekerja?
Kalau dulu namanya SMS gelap. Bahasanya kasar-kasar, misalnya nanti bisa diperkosa, dibunuh, itu sangat tidak bertanggung jawab. Lalu pernah dibuntuti, lalu kawan-kawan saya beberapa kali mendapat perlakuan kasar dari polisi. Belum lagi berita buruk tentang komunitas kami yang dianggap menggunakan masyarakat untuk diadu domba dengan pihak lain. Intinya, merusak kepercayaan terhadap kami. Terbaru, bulan Februari lalu, saat acara di Danau Toba, empat ban mobil kami ditusuk orang. Saat jemput tamu, satu ban mobil kami pecah dan dibawa ke bengkel. Nah, orang bengkelnya bilang, "Kok, empat ban sobeknya sama?" Nah, itu yang membuat kami lebih waspada.


Seperti apa upaya Anda dan kawan-kawan agar lebih berhati-hati?
Kami punya prosedur operasi standar manajemen risiko. Lagi pula, sebenarnya kami saling melindungi, ya. Masyarakat adat melindungi kami dan kami melindungi mereka. Kami di desa tidak merasa terancam. Ketika di perjalanan, kami tidak pernah jalan sendiri demi saling melindungi. Selain itu, kerja kami berjaringan. Lalu, kalau ada kriminalisasi dan intimidasi, kami meminta bantuan Komnas HAM. Termasuk media membantu mengawasi kami.


Apa hobi Anda?
Hobi saya masak dan menulis. Tapi menulis untuk diri sendiri ya, he-he. Kalau memasak, tentu masakan Batak seperti arsik begitu.

Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi. Dok. Edward Tigor

BIODATA
Nama: Delima Silalahi
Usia: 46 tahun
Pekerjaan: Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat atau KSPPM
Pendidikan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus