Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marchella F.P. mulai menulis untuk tugas akhir kuliahnya di Universitas Bina Nusantara.
Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang merupakan kelanjutan film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini.
Menggunakan TikTok untuk meriset bahan karya selanjutnya.
Sejak tayang pada 2 Februari lalu, film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang sudah ditonton lebih dari 800 ribu orang. Film tersebut merupakan kelanjutan film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini yang tayang pada 2020, dengan jumlah penonton 2,25 juta orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua film tersebut merupakan adaptasi dari buku Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini karya Marchella Febritrisia Putri. Buku yang terbit pada 2018 ini menjadi tonggak kesuksesan perempuan yang kerap disapa Cecel itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa tidak, buku Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini terjual lebih dari 120 ribu eksemplar dan menduduki 10 besar lebih dari delapan bulan. Puncaknya, Marchella meraih penghargaan sebagai Penulis Terbaik 2019 dari Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).
Bagi Marchella, buku Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini merupakan DNA utama dua film yang tayang di layar lebar tersebut. Intinya, cerita dalam film satu napas dengan buku. Walhasil, Marchella pun terlibat dalam proses produksi film setidaknya pada tahap penyusunan naskah. "Pekerjaan rumah saya adalah menjaga nilai agar karya ini tetap sesuai dengan DNA-nya," kata perempuan berusia 33 tahun itu kepada Indra Wijaya dari Tempo dalam wawancara daring, Jumat, 3 Maret lalu.
Selain tentang film dan buku, Marchella berbagi cerita mengenai peran media sosial dalam menulis, karakter generasi Y dan Z, hingga hobi barunya meramu kopi. Selain itu, ia bercerita tentang kegemarannya mengoleksi berbagai benda bertema Astro Boy. Berikut ini wawancara lengkapnya.
Marchella F.P. Dokumentasi TEMPO/Muhammad Hidayat
Bagaimana keterlibatan Anda dalam pembuatan film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang?
Kalau membahas film, sebenarnya keterlibatan paling masif itu di film pertama, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini atau NKCTHI. Saat itu, kami dikarantina satu pekan di Bali bersama sutradara dan Visinema. Di buku saya, sebenarnya cuma ada karakter Ibu dan satu anaknya, Awan. Nah, dari situ, kami mencari bentuk cerita karena buku saya kan flash fiction, bukan buku yang bercerita banyak.
Akhirnya kami bikin cerita dengan benang merah utama tentang Aurora yang mau kirim surat untuk anaknya di masa depan itu. Cerita itu kami kembangkan lagi waktu di Bali. Awalnya, kami sepakat Awan anak tunggal atau dia punya kakak dan adik. Lalu kami bayangkan Awan ini memang anak bontot. Dia punya kakak-kakak dan kira-kira saudaranya berapa. Akhirnya keluarlah tiga anak: Angkasa, Aurora, dan Awan.
Lalu?
Setelah bertukar pikiran, keluarlah karakter Bapak yang protektif dan sangat menjunjung budaya Timur. Lalu ada tokoh Ibu yang kebanyakan seperti ibu-ibu di Indonesia, yang mengalah, diam, dan tidak berkomunikasi dengan baik dalam rumah tangganya. Kami mulai dari karakter-karakter itu dan sebenarnya ceritanya diperkuat dengan riset-riset yang saya lakukan untuk buku Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini. Jadi, waktu riset itu, saya bikin Instagram Stories, buka cerita, tanya-jawab dengan teman-teman, buka isu berbeda-beda. Waktu itu saya terima 500-7.000 cerita.
Nah, cerita-cerita itu sebenarnya yang membantu kami membangun film-film berikutnya. Dari cerita-cerita itu, kami paham bahwa pasar NKCTHI itu ternyata relasi orang tua dan anak. Itu menjadi problem utamanya. Kayak komunikasi antar-generasinya berbeda, tapi maksudnya mirip. Nah, itu yang dianggap sebagai gesekan antar-generasi. Masalah kedua adalah pencarian jati diri. Barulah problem berikutnya percintaan, karier, dan sebagainya.
Berangkat dari sana?
Dari situlah cerita dikembangkan sampai ke film berikutnya, Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang. Sebenarnya, awalnya mau bikin film dari buku Kamu Terlalu Banyak Bercanda dulu. Itu buku saya yang kelima.
Jadi, yang di sini (dalam film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang), saya sekadar diberi naskah. Pada pengajuan pertama, ceritanya kurang cocok dengan nilai NKCTHI. Lalu diberi opsi kedua dan ketiga hingga menjadi final dalam film yang sekarang ini. Saya sebatas mengecek naskah. Saya percaya karya di media lain yang bukan bidang saya serta saya tidak ngerti produksi film seperti apa dan segala macamnya.
Jadi, saya percayakan. Ibaratnya, saya menitipkan anakku ke pihak ketiga itu. Jadi, bisa dibilang, dalam film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang, saya enggak terlalu banyak terlibat. Cuma, pekerjaan rumah saya itu menjaga nilai agar karya ini tetap sesuai dengan DNA-nya.
Bagaimana cara Anda menjaga nilai film itu agar tidak keluar jalur dari film pertama?
Ibaratnya, saya ibunya. Melahirkan anak, mendidik anak ini. Cuma, dalam perjalanannya, ketika masuk sekolah, pasti dia akan tumbuh dengan caranya dan itu akan terlihat dalam prosesnya. Pastinya ada diskusi dengan sutradara dan para penulis skenarionya. Kami cari bagaimana bentuk yang pada akhirnya karya ini bukan cuma milik saya atau Visinema, tapi juga karya yang dinikmati banyak orang.
Lalu bagaimana hasilnya menurut Anda?
Enggak meleset, sih. Sebab, sudah tiga kali naskah diperbaiki sampai naskah kami sepakati. Di naskah terakhir itu, saya sudah oke, tapi belum tahu jadinya akan seperti apa. Tapi pas lihat film, saya dan tim bahagia sekali karena menurut kami takarannya sudah pas.
Bagaimana respons penonton terhadap film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang?
Beda responsnya. Kurang-lebih, bagi yang sudah menonton NKCTHI, pasti sudah familiar dengan warna dan karakternya. Lalu, dalam film kedua ini, ada beberapa yang enggak nonton film pertama tapi mereka masih paham alur ceritanya. Bahkan film ini lebih banyak disuarakan anak kedua dan perantau. Banyak yang bereaksi, misalnya teman-teman yang merantau sekolah di Yogyakarta atau di kota lain. Banyak dari mereka yang merasa ceritanya sesuai dengan mereka, seperti berjauhan dengan keluarga. Kalau film NKCTHI, lebih luas, ya, karena anak pertama bersuara, anak kedua bersuara, anak ketiga bersuara, dan orang tua juga bersuara.
Seperti apa pesan yang ingin Anda sampaikan dalam film kedua, film yang sama-sama bertema keluarga ini?
Sebenarnya, banyak buku saya yang menggambarkan keadaan saja. Sesuatu yang sangat Indonesia sekali, yakni banyak memendam, susah bersuara, enggak enakan, tapi itu menjadi konflik tanpa disadari. Saya banyak bikin berdasarkan realitas yang ada di sekitar saja, sih. Jadi, bukan keluarga yang hangat, penuh cinta, ya, enggak, keluarga yang hidupnya tragis sekali juga enggak. Jadi, ini kehidupan yang sangat umum, dekat dengan kawan-kawan pembaca saya. Jadi, ada 50-60 persen bagian mereka dalam karya saya.
Seberapa penting arti keluarga menurut Anda?
Penting karena itu inti kehidupan kita semua. Kata psikolog, kan manusia usia 0-7 tahun itu inti memori. Ini yang membentuk pola hidup seseorang. Pola hidup seseorang ke depan itu berdasarkan apa yang terjadi di masa kecil. Jadi, sepenting apa, ya, jelas keluarga itu guru pertama, sekolah pertama. Itu menjadi dasar kita menjalani hidup.
Benarkah film yang kedua ini penontonnya tak seramai film pertama?
Itu tergantung, sih. Karena jaraknya tiga tahun, trennya sudah bergeser. Banyak orang yang enggan nonton di bioskop dan menunggu nanti juga akan main di Netflix atau apa pun itu. Saya sering sekali dengar itu. Jadi, intinya, selama tiga tahun itu, banyak yang berubah dan enggak bisa diprediksi. Cuma, saya bahagia sebatas yang bisa saya kontrol. Ini film enggak malu-maluin untuk saya ajak teman-teman nonton di gala. Orang-orang di sekitar saya enggak perlu pura-pura untuk tertarik menonton film ini.
Ada pengulas film yang menganggap film NKCTHI masih lebih baik dibanding Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang. Apa komentar Anda?
Soal ulasan, itu kan menariknya berkarya, yakni ada aksi dan reaksi. Yang menyedihkan itu, menurut saya, ketika tidak ada reaksi, anyep, hilang, enggak ada orang suka dan enggak suka. Menurut saya, itu ngapain dibikin film kalau seperti itu. Tapi, saat ada reaksi suka-enggak sukanya, itu serunya bikin karya berikutnya. Enggak harus berbentuk film, tapi bisa berupa lagu, buku, dan lain-lain. Untuk karya berikutnya, pasti ada perbandingan kan.
Bagaimana cerita awal mula Anda menulis?
Saya mulai menulis pada 2008. Memang mulanya berangkat dari desainer grafis. Saya memang kuliah desain. Saya belajar dan kerja di agensi. Lalu belajar menulis. Itu pun baru dikenal pada 2011, jadi sudah 12 tahun menulis. Kalau ditanya bagaimana cara menulis, itu yang saya mulai pertamanya adalah visualnya. Karena saya memang kuliah di desain visual, memang awalnya ingin bikin buku visual, bukan bikin buku dengan tulisan banyak. Makanya, terlihat di buku Generasi 90an, itu buku tugas akhir kuliah saya. Pada 2011-2012, saya lulus. Di buku itu memang penuh gambar. Cuma berikutnya diberi caption-caption dan berlanjut lima tahun kemudian ada buku NKCTHI.
Sebenarnya, saya awalnya merasa tidak punya bakat menulis karena penulisan bahasa Indonesia saja saya tidak betul. Bahkan saya menulis "di" dan "ke" (disambung atau tidak disambung) saja tidak bisa. Saya benar-benar hanya paham visual, yakni bikin buku anak. Sembari bikin buku anak, saya belajar menulis dan bertemu dengan penerbit. Saya lebih berfokus pada IP atau intellectual property (hak milik intelektual) dari buku dan judul-judul yang saya punya.
Marchella FP. TEMPO/Muhammad Hidayat
Lalu, bagaimana cara Anda membuat kalimat-kalimat yang menyentuh yang disukai anak muda?
Kayaknya, kalau saya mencoba membedah diri saya, saya suka mengobservasi manusia saja. Saya suka belajar melihat manusia. Ibaratnya, waktu kecil, saya enggak boleh keluar rumah. Saya hanya duduk di balkon atau depan pagar sembari melihat anak-anak lain. Lalu saya melihat, kok, si A jahatin si B? Lalu si B nangis, tapi si C kenapa tidak membela? Nah, seperti itu saya melihat interaksi manusia dari jauh dan kita tidak ada di dalamnya. Itu kan ada penilaian-penilaian tentang hidup. Itu yang sering saya lakukan sejak kecil, bahkan sebelum sekolah.
Lalu ada pemikiran-pemikiran yang saya pelajari sejak kecil dari setiap interaksi manusia. Saya suka menulis diary kalau istilahnya anak-anak zaman 1990-an. Bertambah besar, pemikiran-pemikiran itu mulai dicatat dan dirapikan. Kalau bicara soal mengapa bisa menulis secara tersusun, itu di luar kapasitas saya. Saya tidak tahu membedahnya bagaimana karena latar belakang keluarga saya tidak ada yang jadi penulis, bahkan seniman sekalipun. Jadi, kayaknya itu titipan saja tentang mengolah kalimatnya. Dan terbantu karena latar belakang saya di desainer grafis dan sempat di agensi. Jadi, saya bisa meriset data yang saya punya, lalu saya simpulkan menjadi potongan-potongan kalimat itu.
Bagaimana anak muda zaman sekarang menurut Anda?
Sebelumnya, kalimat-kalimat saya bukan motivasi, cuma mencoba menjabarkan saja perasaan manusia. Dari situ, mereka terbantu dalam mengekspresikan karya. Tidak semua orang bisa mudah mendeskripsikan perasaan. Saya pun seperti itu. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan secara verbal, misalnya ngobrol, marah, suka, atau tidak suka. Dulu saya tidak punya kemampuan sosial semacam itu. Akhirnya kemampuan saya justru menulis. Nah, mungkin kalau lewat menyambungkan kalimat-kalimat, anak muda itu, mungkin kita yang sekarang ini, hasil dari generasi boomer yang pola didiknya keras, tidak ada komunikasi antar-generasi. Akhirnya kita tidak bisa mengungkapkan perasaan marah, sedih, atau senang. Mungkin dengan bantuan kalimat dan membaca, perasaan kawan-kawan terbantu tersalurkan. Itu sebenarnya mempermudah kita mendeskripsikan dan menyusun emosi kita.
Kalau bicara soal generasi yang lebih muda lagi, bagi saya, mereka itu menyeramkan dalam arti mereka jauh lebih pintar, lebih gesit, dan lebih terbuka. Mereka seperti dididik generasi X yang punya trauma dari generasi sebelumnya. Itu berarti didikan dari generasi X ini sekarang anaknya berteman dengan orang tuanya. Enggak seperti saya dan generasi saya yang dulu ngomong dengan orang tua saja ragu. Anak sekarang jauh lebih ekspresif dengan orang tua, bahkan berani bilang mau sekolah di mana, mau kuliah di mana. Kalau mau dibilang, setiap generasi punya karakternya sendiri dan tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, melainkan bagaimana caranya bisa bertahan di antara generasi mereka. Tapi kalau diadu dengan generasi sekarang, jelas saya kalah. Misalnya bicara soal desain grafis, mereka bisa software yang lebih canggih dari saya.
Lalu?
Jadi, kelebihannya berbeda antar-generasi ini. Ada yang bilang generasi sekarang ini generasi stroberi. Tapi, menurut saya, itu hanya bentuk yang berbeda yang tidak bisa dipatahkan untuk melabeli suatu generasi lebih buruk atau enggak karena semua itu rentetan dari pola didik generasi boomer, generasi X, dan generasi Z. Semua ada keterkaitan. Bedanya, anak sekarang mudah mengakses informasi. Banyak anak sekarang yang matang lebih cepat. Saya melihat keponakan saya yang masih usia SD tahu sesuatu hal yang saya dulu baru tahu saat SMP. Mereka seakan-akan lebih matang daripada usianya. Tapi itu terjadi karena ibu-ibu mereka punya akses informasi yang cepat dan ilmu mendidik anak yang lebih baik.
Jadi, ya, saya suka melihat fenomena antar-generasi. Tidak ada satu generasi yang merasa lebih baik daripada generasi lainnya. Jadi, zaman berubah dan bagaimana caranya kita terbuka. Dan kita tahu kompetisi dunia kreatif lebih keras karena anak-anak ini lebih cepat mengejarnya dari apa yang saya dapatkan dulu. Jadi, ini yang membuat saya tidak gampang terlena dan merasa terhebat karena (buku saya) sudah best seller. Sebab, besok-besok anak muda ini bisa lebih hebat dalam berkarya.
Ada stereotipe bahwa generasi sekarang lebih lemah. Berarti Anda tidak setuju dengan hal itu?
Tidak. Sama sekali tidak setuju. Hanya berbeda-beda karakter. Kalau mau dibahas soal melankolis, dari segi musik, saya dengar lagu zaman bapak saya juga sedih sekali. Sedih yang sangat sedih. Mungkin saat itu kebanyakan dari mereka merantau dan kangen rumah. Ya, mungkin bedanya sekarang lebih ekspresif saja karena ada platformnya. Dulu mungkin kesedihannya disimpan, dipendam. Ya, menariknya, manusia tumbuh dengan zamannya.
Dunia kreatif semakin maju. Bagaimana prediksi Anda tentang dunia kreatif di masa mendatang?
Pastinya semakin banyak tantangannya. Kalau dulu, kita dapat hiburan cuma dari satu tempat, entah televisi atau radio. Sekarang platform semakin banyak. Saya bikin buku lima tahun lalu dengan sekarang saja beda caranya. Pasar dan platform juga sudah berbeda. Contohnya, pada 2012, saya masih pakai Twitter dengan pengikut 30 ribu sudah besar sekali pada masa itu. Lalu saya tumbuhkan NKCTHI di Instagram dan ternyata bisa dapat jutaan pengikut.
Sekarang pasarnya lebih besar lagi di TikTok. Di situ semua bisa tumbuh dengan cepat. Siapa pun bisa menjadi apa pun. Itu bukan era generasi saya. Orang dengan usia saya sudah jarang aktif, hanya pasif main TikTok. Saya cuma bisa beradaptasi. Pada akhirnya, saya tidak bisa menyerap banyak hal seperti anak-anak muda sekarang. Misalnya soal K-pop, saya tidak terlalu mengerti, padahal pasarnya gede banget.
Jadi, saya lihat industri kreatif itu sangat luas, tidak bisa diprediksi, bisa pilih mau main di kolam besar atau kolam kecil. Bisa menjadi pilihan yang enggak gampang karena banyak yang indie tapi jadi gede atau yang berkarya dalam label tapi, ya, segitu-gitu saja. Tidak ada formula yang tepat atau paling baik menurut saya. Tidak ada lagi formula sederhana A ditambah B menjadi C.
Marchella F.P. Dokumentasi Pribadi
Sepertinya Anda sedang mendalami TikTok. Apakah itu benar?
Iya. Saat ini saya sedang mendalami TikTok. Telat memang, tapi saya perlu tahu ini pasarnya seperti apa. Jadi, di TikTok, kita bisa punya pengikut cuma 100 tapi kontennya ditonton sampai jutaan itu bisa terjadi sekarang. Ini kesempatan lain. Jadi, kalau tidak mau beradaptasi, ya, sudah, ketinggalan. Tidak bisa lagi merasa yang tua makin jago. Jadi, industri kreatif ini akan semakin seru, semakin banyak bidangnya. Banyak hal yang enggak tertebak. Jadi, jalannya cuma satu: terbuka untuk belajar hal lain.
Apa yang Anda lakukan di TikTok?
Sebenarnya ini platform yang tidak pernah saya pakai. Awalnya, saya anti-TikTok karena menurut saya isinya cuma joget-joget. He-he-he. Tapi saya baca dan riset bahwa ternyata TikTok ini masa depan. Belajar dari media sosial, dulu Friendster ada, tapi setelah itu tidak ada. Beralih ke Facebook, lalu siapa yang main Facebook sekarang? Sebab, generasi sudah berubah. Jadi, satu-satunya cara adalah saya harus ikut masuk, meski nantinya bukan saya sendiri yang main TikTok. Tapi setidaknya saya harus tahu. Saya benar-benar merasa memulai dari nol di TikTok. TikTok menjadi sarana saya meriset buku selanjutnya.
Platform ini sedang saya pakai untuk tahu dan mengenal pasar saya yang baru. Pasar saya di buku Generasi 90an sekarang sudah hampir 40 tahun usianya. Lalu pasar buku dan film NKCTHI sekarang sudah lulus kuliah kebanyakan, bahkan sudah mulai bekerja sehingga fokus pikirannya sudah berubah. Sekarang buku berikutnya yang aktif mengkonsumsi produk atau konten-konten di TikTok adalah generasi selanjutnya. Jadi, saya ingin semakin mengenal mereka. Mereka suka konten seperti apa? Apakah lucu-lucuan? Kalau iya, seperti apa lucunya? Saya memang enggak bisa sok muda agar bisa tahu mereka. Jadi, lebih ingin tahu mereka saja.
Menurut Anda, mana yang lebih menarik di antara Twitter, Instagram, atau TikTok?
Sekarang, sih, TikTok, karena saya lebih sering di sana. Sebab, mereka secara psikologi mengubah cara pandang kita. Cepat sekali, lho. Tidak suka satu konten, tinggal scroll cari yang lain. Saya tidak suka menyamankan diri pada satu platform itu. Saya harus berusaha relevan dengan keadaan dan pasar. Saya yakin masih banyak penulis lain yang lebih bagus daripada saya. Tapi saya sadar bahwa keberhasilan karya saya karena relevan dengan pasar. Jadi, kalau ditanya saya nyaman di mana, saya nyaman belajar terus.
Anda punya beberapa usaha di dunia kreatif? Bagaimana ceritanya?
Saya punya perusahaan namanya PT Kebahagiaan Itu Sederhana. Saya dan rekan-rekan menjalankan manajemen intellectual property. Contoh sederhananya adalah karya seperti Doraemon, Ghibli, Disney, dan Marvel. Bagaimana suatu karya atau intellectual property bisa hidup lebih panjang daripada kreatornya, tidak berhenti pada satu media. Misalnya, bagaimana Doraemon yang sudah puluhan tahun dan penciptanya sudah meninggal, tapi buku, film, dan karyanya masih dikenal serta laku dibeli. Nah, itu yang sedang kami pelajari bareng-bareng.
Sejauh ini, kami sudah bikin lebih dari 10 IP, termasuk IP event, seperti festival musik Generasi 90an, entah itu konser 90-an. Kami punya buku, produk lain, dan taman NKCTHI. Itu yang kami kelola. Jadi, seperti yang saya cerita di awal, saya tidak berfokus jadi penulisnya. Saya berfokus bagaimana intellectual property satu judul ini tidak meledak di satu media karya saja. Sebab, pesan besarnya sudah ada. Jadi, di media buku jalan, lalu di film juga jalan dengan profesional. Perusahaan saya itu akan mengatur semua IP karya saya dan nanti ada IP karya seniman yang lebih muda lagi.
Lalu dengan kesibukan di perusahaan kreatif, bagaimana cara Anda membagi waktu untuk menulis?
Pasti ada kendala. Ini ibarat dunia akhirat buat saya. Dunia kreatif itu akhiratnya dan bisnis itu duniawinya. Dua hal ini yang harus kita jalani. Enggak mungkin kita ibadah terus setiap hari, tapi enggak cari makan. Atau kita cari makan saja tanpa ibadah. Itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Keteteran pasti, ya. Cuma, seperti sekarang, saya habis selesaikan menulis buku, lalu saya cuti dari perusahaan saya. He-he-he.
Apa hobi Anda?
Hobi ini baru saya temukan di masa pandemi Covid-19. Bikin kopi, jadi barista di rumah, lalu bikin kue dan masakan di rumah. Dan hobi enggak ngapa-ngapain itu saya suka. He-he-he.
Bagaimana cerita Anda mengenal kopi?
Sebelumnya saya enggak bisa mengkonsumsi kopi karena ada GERD. Sampai satu momentum saya temukan kopi yang enggak bikin asam lambung naik. Ternyata saya sensitif dengan susu sapi dan kopi. Jadi, susunya saya ganti dengan oatmeal. Sejak saat itu, saya bisa minum kopi. Akhirnya saya coba bikin sendiri dan temukan sesuatu hal di luar pekerjaan saya.
GERD menjadi penyakit yang banyak diderita anak muda sekarang. Bagaimana menurut Anda?
Generasi sekarang kan punya tekanan masing-masing. Sekarang tekanannya itu bisa dilihat dengan mudah. Membandingkan hidup itu tekanan sosialnya semakin gampang. Sekarang akses informasi semakin mudah. Saat pagi bangun tidur lalu buka Twitter saja, kita sudah tahu semua hal. Kita bisa temukan kisah-kisah yang bisa memicu stres. Walhasil, badan kita lebih mudah kena stres karena dapat hal negatif terus-menerus. Saya pun kini membatasi mana informasi yang boleh saya tahu dan tidak.
Anda mengoleksi berbagai benda bertema Astro Boy. Sejak kapan Anda menyukai karakter tersebut?
Sejak SMP. Seingat saya, saat itu sedang datang ke pasar barang bekas, lalu saya temukan kotak pensil hologram bergambar Astro Boy. Sejak saat itu jadi suka sekali. Mukanya cakep banget. Ternyata, setelah saya baca-baca, Astro Boy itu tidak melukai orang duluan. Dia hanya akan membela orang lemah dan orang yang dilukai. Menurut saya, Astro Boy itu orang baik. Selain itu, saya suka intellectual property yang bisa bertahan panjang. Selain suka, saya bisa duplikasi atau terapkan di karya-karya saya.
Apa saja benda bertema Astro Boy yang Anda koleksi?
Semuanya, dari handuk, baju, hingga action figure. Sebab, setiap kali saya pergi atau teman pergi ke mana dan lihat ada benda berbau Astro Boy, pasti ingat dengan saya dan mereka beli. Bahkan alamat surat elektronik saya dulu ada nama Astro Boy. Itu tingkatnya di atas suka, deh. He-he-he.
Sedang ramai juga sepatu Astro Boy. Apakah Anda tertarik membelinya?
Ada teman yang mau kasih kado itu, tapi saya bingung juga mau dipakai ke mana. Nanti saya dikira cosplayer. He-he-he.
BIODATA
Nama: Marchella Febritrisia Putri
Lahir: Jakarta, 16 Februari 1990
Pekerjaan: penulis dan wirausaha bidang kreatif
Pendidikan
- Sarjana Desain Komunikasi Visual Universitas Bina Nusantara
Buku
- Generasi 90an (2013)
- Diary Suka-suka Generasi 90an (2013)
- Generasi 90an: Anak Kemarin Sore (2015)
- Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2018)
- Kamu Terlalu Banyak Bercanda (2019)
- Tidak Ada yang ke Mana-mana Hari Ini (2020)
Film
- Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020)
- Generasi 90an: Melankolia (2020)
- Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang (2023)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo