Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Didiet Maulana meluncurkan buku Kisah Kebaya.
Ia mengenal kebaya sejak kecil dari cerita neneknya.
Kebaya kini bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Pada ulang tahunnya ke-40 baru-baru ini, desainer Didiet Maulana meluncurkan buku tentang kebaya. Judulnya Kisah Kebaya. Buku yang disebutnya sebagai “primbon” kebaya itu dibuat sebagai hasil riset yang lama, hampir 6,5 tahun. “Saya sebut begitu karena saya tulis cukup lengkap tentang kebaya,” kata Didiet ketika berbincang dengan Dian Yuliastuti dari Tempo melalui aplikasi meeting, Rabu, 20 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didiet mulai mengenal kebaya dari cerita neneknya sewaktu ia kecil. “Jika tak ada beliau, mungkin buku ini juga tak terbit,” ujarnya. Bahkan ia membuat satu bab khusus tentang sang nenek. Kini kebaya sudah jauh berkembang, bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, kebaya Kartini bisa berevolusi untuk mereka yang berkerudung. “Kebaya bisa bertransformasi dengan cantik. Kita lihat berbagai macam inspirasi, sangat adaptif.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan busana kasual berbahan tenun ikat dan selembar kain tenun Sumba sebagai latar, Didiet mengisahkan proses pembuatan buku, wastra Nusantara, kegiatannya mendorong para perajin wastra agar lebih maju, hingga kesehariannya selama masa pandemi.
Mengapa tertarik membukukan kebaya?
Karena saya belajar arsitektur, saya terbiasa membaca konsep dulu, kuat fondasinya, harus tahu seluk-beluk dan akarnya sehingga bisa mengubahnya. Awalnya, saya bikin kebaya karena ada tantangan diajak ikut peragaan busana kebaya untuk Hari Kartini pada 2012. Dari situ mulai tergerak cari referensi keluar-masuk toko buku, mencari dokumentasi sejarah, dan perkembangan kebaya. Tapi buku yang ada ini belum memuaskan dahaga.
Waktu itu belum niat bikin buku, tapi mau bikin dokumentasi kumpulan (referensi). Saya cari buku di toko loak di Bandung, Kuningan, Blok M. Juga keluar-masuk perpustakaan waktu ke Amerika, Belanda, dan Jepang, menemukan beberapa paper penelitian tentang kebaya sehingga mendapat pengetahuan secara teori.
Anda sangat serius memburu referensi kebaya…
Sambil mencari buku, dibarengi belajar bikin kebaya ke penjahit di Solo dan beberapa daerah. Saya tertarik pada para penjahit yang dulunya tidak mengenyam fashion, bisa membuat kebaya yang indah. Saya belajar dan baca. Nah, pas ada pameran lukisan koleksi Istana, ada satu ruangan berisi lukisan para perempuan memakai busana nasional dan berkebaya. Dari situ sepertinya mendapat “wangsit” untuk menyebarkan pengetahuan tentang kebaya. Sepertinya belum saatnya mengeluarkan profil buku Didiet Maulana.
Sepertinya nenek Anda menjadi inspirasi tentang buku itu?
Ya, waktu kecil sering diceritain sama nenek tentang kebaya. Entah ngerti atau tidak waktu itu, ternyata saya menyerap informasi itu. Beliau memakai kain dengan wangi akar cendana. Ini menjadi bagian penting saya dalam urusan kebaya. Dari beliau, saya mengenal kebaya masuk ke berbagai acara, dari formal ke kasual. Jika tak ada beliau, mungkin buku ini juga tak terbit. Ada satu bab khusus saya tulis tentang beliau. Saya juga waktu kecil diberi boneka Jepang, pakai kimono. Dari sana bisa dibandingkan, ternyata kebaya tak sepopuler kimono.
Anda menyebut buku ini sebagai “primbon”-nya kebaya, apa maksudnya?
Saya sebut begitu karena saya tulis cukup lengkap tentang kebaya. Bagian satu, dari mengenal busana nasional, kebaya, filosofinya, hingga langgamnya. Lalu bab dua, pakem kebaya hingga kini, mencipta kebaya dengan pola penjahitan, pengepasan, dan sedikit tentang baju kurung. Di bab tiga, ada eksplorasi kebaya, karya saya, mix and match kebaya, apa saja yang menjadi inspirasi cipta kebaya, proses mendesain, pemilihan materi kebaya, aplikasi, finishing, kelengkapan, aksesori, padu padan tas, selendang, alas kaki, sampai sanggul.
Di bab ini juga lengkap padu padan kebaya dan teori warna. Ada siasat dan trik pakai kebaya. Saya tulis juga tentang stagen, cara pakai kain. Anak muda suka yang mudah dicerna dengan pengantar menarik dilengkapi ilustrasi. Bab terakhir, kreasi saya tentang kebaya. Setiap kebaya, ada kisahnya. Mudah-mudahan buku ini bisa jadi suvenir juga untuk ke luar negeri. Sekarang sedang diterjemahkan (ke bahasa Inggris).
Saya pengen buku yang praktis, handy, size-nya unik. Bisa dibawa ke Pasar Baru atau Mayestik kalau mau bikin kebaya. Semakin kumel bukunya, saya seneng.
Didiet Maulana pada peluncuran buku terbarunya yang berjudul Kisah Kebaya. Dokumentasi Didiet Maulana
Anda riset sampai ke keraton hingga blusukan ke pasar ketemu mbok-mbok berkebaya?
Saya banyak blusukan di Solo, riset di perpustakaan Kraton Mangkunegaran. Banyak sekali referensinya, dari foto dan buku. Di pasar pun banyak, lihat mbah-mbah masih pakai kebaya. Ternyata ada budaya yang bisa hidup dan tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan zaman, berevolusi. Fenomena ini, buat saya, bisa memberi masukan. Makin banyak visual, akan makin menarik.
Dari apa yang saya riset, bisa saya ubah. Dengan perkembangan zaman, banyak yang berkerudung, kebaya pun bertransformasi. Seperti kebaya Kartini bisa berevolusi untuk mereka yang berkerudung. Itu saya terapkan waktu bikin kebaya acaranya Ibu Mufidah Jusuf Kalla. Dengan tampilan, mengetahui pakem, maka kebaya bisa bertransformasi dengan cantik. Kita lihat berbagai macam inspirasi, sangat adaptif.
Apa tantangan saat riset?
Yang utama itu butuh waktu, energi, dan biaya lumayan. Tantangannya bagaimana mengalokasikan aset untuk riset tersebut. Buku ini banyak teori, hasil riset, penuh sumber daya, dan bukan melulu tentang kebaya yang saya buat.
Ada kisah menarik yang ditemui?
Waktu di Pasar Triwindu Solo, saya ketemu dengan penjual kebaya. Saya tanya, bagaimana cara memakai kebaya zaman dulu. Dia bilang, itu langsung pakai kutang, ya kulitnya, ya, ke mana-mana. Dengan senang hati mereka bercerita tentang kebaya yang dulu dipakai, meski sekarang mereka juga pakai kerudung. Cukup seksi mungkin waktu itu.
Tapi, pada satu masa, ada padu padan kebaya yang menarik tapi tidak vulgar—sebuah estetika yang tidak vulgar dan dengan bentuk khas Indonesia. Dari riset tentang kebaya, banyak hal baru, ketemu banyak sahabat baru, termasuk mbah-mbah penjual kebaya. Ini membuat saya sadar, perjalanan bukan bikin buku saja, tapi ada hal mulia setelah ini.
Anda giat datang ke berbagai sentra. Berapa banyak komunitas, perajin, dan penenun yang berkolaborasi dengan Anda?
Banyak, ya, komunitas. Kalau kerja sama, mungkin 200-300 perajin di berbagai daerah, dari Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Maluku, sebentar lagi mungkin Kalimantan.
Apa bentuk kolaborasi dengan mereka?
Biasanya memakai kain tenun dari komunitas tersebut dan didesain menjadi baju dan koleksi show.
Aktivitas Didiet Maulana dengan kain tradisional Indonesia. Dokumentasi Didiet Maulana
Anda juga membuat laman untuk berbagi ilmu belajar desain, bagaimana perkembangannya?
Cukup menggembirakan. Sejak Maret-Desember (2020) kemarin ada enam ribuan anggota yang belajar. Dari ibu rumah tangga, korban PHK, wirausaha baru, hingga ada pula yang sekadar hobi. Seperti transfer ilmu, padahal saya belajar secara autodidaktik. Biasanya 2-3 kali sebulan, ada kelas dan modul, dikasih PR, workshop, dan dipraktikkan.
Anda juga berbagi pengetahuan dan membuat kurikulum belajar fashion untuk SMK, di mana saja?
Ada di SMK 3 Kediri dan SMK Denpasar. Saya tertarik berbagi kurikulum ini karena SMK membuat manusia yang siap kerja dan menjadi pribadi mandiri. Saya siapkan mereka dan percaya bisa mengamalkan ilmunya langsung ke masyarakat. Saya percaya, lewat pendidikan, bisa lebih baik. Sekolah fashion di Jepang itu ada satu semester mereka harus membuat kimono, sehingga bisa bagus sekali mereka membuat kimono. Saya memiliki banyak harapan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mendukung. Yang diajarkan bukan hanya kebaya, melainkan juga produk lokal dan bisa menjadi value daerah itu. Misalnya tentang tenun Sumba. Keberagaman itu harus dimantapkan lewat jalur pendidikan.
Bagaimana ceritanya Anda mencintai dan tergerak dengan wastra Nusantara?
Itu pada 2009-2010, ketika ramai-ramai batik mau diklaim negara tetangga. Saya lihat kita terlalu banyak punya, tapi tidak bisa menghargai. Sebagai generasi muda, kenapa kita tidak kenalkan budaya kita ke anak cucu ketimbang marah-marah? Bukan saatnya kompetisi, tapi kolaborasi, lebih damai. Saya ingin menggaet anak muda pakai tenun ikat jadi pakaian sehari-hari, mau ke pasar, mal, dan tempat kerja. Pakaian kasual bukan formal saja. Dengan begitu, makin banyak yang beli dan perajin pun akan lebih hidup.
Dari interaksi dengan para ibu-ibu perajin, penenun, apa yang Anda dapat?
Selain inside, pasarkan produk, saya diajak mengenal diri sendiri ketika mengenal budaya. Produk tidak hanya indah, tapi prosesnya, punya filosofi, memiliki cerita, ada story telling, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang prosesnya. Ada proses edukasi juga. Kita harus mengapresiasi proses dan hasil secara holistik.
Ada pengalaman unik saat ke pelosok?
Oh, tentu. Saya setiap kali pergi, kaya bawa kulkas, koper gede, buat beli kain, kerajinan. Yang unik itu kalau lagi berbelanja. Karena sering kehabisan uang tunai, enggak ada ATM, kan. Jadi sering ada drama pinjam-meminjam dulu, entah ke sopir atau ke asisten. Nanti sampai kota, baru diganti.
Biasanya dari mana Anda mendapatkan inspirasi untuk desain?
Semakin banyak eksplorasi daerah, semakin banyak dapat inside atau banyak ide dari mana-mana. Makin banyak lihat, makin banyak inside. Untung kemarin sempat ke mana-mana sebelum masa pandemi Covid-19.
Didiet Maulana memerikas baju pengantin hasil rancangannya sendiri. Dokumentasi Didiet Maulana.
Tapi ada rencana Anda yang tertunda setahun kemarin karena pandemi?
Banyak, tapi akhirnya datang dengan format baru, dilakukan secara daring. Kami memastikan, untuk bisa bertahan, harus adaptif. Tidak bisa ke mana-mana juga.
Jadi, apa saja kegiatan Anda selama hampir setahun pandemi?
Pelatihan daring untuk program perajin di Mandalika dan beberapa daerah tujuan wisata, sempat menggelar fashion show virtual juga. Lalu mendampingi kawan-kawan komunitas virtual tour ke beberapa daerah. Kebetulan saya ikut di paguyuban Kesengsem Lasem, komunitas perajin batik di Lasem. Kami mencoba menggiatkan dan menyemangati mereka di tengah situasi ini. Mereka butuh booster optimisme dan kasih edukasi marketing, branding, supaya produk mereka cepat terjual.
Apa yang Anda petik dari kondisi ini?
Kita ini sering terlalu kalut sampai lupa bersyukur. Alhamdulillah, tanpa dipaksa, tahun lalu diajak berakselerasi untuk lebih baik. Saya banyak meditasi, berdoa, bersyukur, membatasi diri. Kadang kita merasa kuat. Tidak memforsir diri. Membatasi konsumsi, juga dunia medsos. Saat ini, waktu sangat berharga sekali. Sekarang meminimalkan risiko. Toh, sekarang bisa dilakukan secara online. Saya ingat juga nasihat nenek, untuk banyak bersyukur, mikir dan berkata baik. Ucapan atau pikiran itu doa. Ada yang ngatur, tidak mikir aneh-aneh. Dibawa enak saja sekarang.
Anda juga senang membaca. Berapa banyak buku dibaca saat pandemi?
Mungkin ada 30. Saya cepat baca. Masih ada 100 lagi numpuk. Dari buku biasanya saya belajar dan rangkum untuk saya bagikan lagi kalau ada kesempatan bicara. Ragam buku, ada buku tentang kepemimpinan, pemberdayaan, kewirausahaan, pemasaran, dan politik. Saya juga suka antropologi dan sejarah, sama buku meditasi.
Suka menonton film?
Itu suka saya lakukan saat lagi males baca. Saya nonton film politik, strategi, dan film Korea juga tuh sangat menarik tentang start-up. Jadi, banyak ilmu yang didapat. Film romantis, tentang keluarga, juga suka. Petualangan untuk memuaskan dahaga tidak bisa traveling, nonton siaran di National Geographic.
Sempat grooming kucing peliharaan?
Ha-ha-ha. Di-grooming sendiri pakai sampo . Tapi kemarin sempat ada yang sakit, jadi dibawa ke dokter. Ada lima, kucing biasa. Ada yang ambil dari depan rumah, ada yang cantik kayak anggora. Tapi jadi bersih karena dirawat.
Terakhir, apa harapan Anda untuk wastra Nusantara?
Saya ingin kain Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Mudah-mudahan semakin banyak yang memproduksi, perajin juga teregenerasi dengan baik. Saya pengen pendidikan tentang kebudayaan Indonesia bisa masuk ke vokasi dan sekolah umum. Saya percaya dan yakin profesi ini bisa menjamin kehidupan.
Didiet Maulana bersama model Indonesia pada fashion show di Senayan City, Jakarta. TEMPO/Nurdiansah
Didiet Maulana
Lahir: Jakarta, 18 Januari 1981
Pendidikan: Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan
Aktivitas: Pendiri Brand Ikat Indonesia (2011) dan mentor enterpreneur
Prestasi:
- Berkolaborasi dengan beberapa brand ternama nasional dan internasional, seperti Tumi untuk Grammy Awards (2016), Starbucks (2018),World Bank, BCA, Disney Indonesia, dan Garuda Indonesia (2019).
- Desainer resmi Putri Indonesia 2012-2015, 2018
- Desainer resmi pertemuan menteri dalam APEC 2015
- Mewakili desainer Indonesia, terpilih oleh Kedutaan India 2015
- Mewakili Indonesia dalam World Economic Forum 2016
- Ikon Nikon Indonesia 2017
- Duta untuk Samsung 2017
- Diundang fashion show Svarna IKAT oleh Kerajaan Pahang Diraja Malaysia 2018
- Workshop Tenun Tanimbar (2020)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo