Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA anekdot di kalangan media: apa saja yang dikatakan Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama layak dijadikan judul. Tidak ada pejabat publik yang gaya bicaranya lebih ajaib daripada dia. Kerap, jika ada yang mendebatnya, ia bilang, "Lu berani taruhan berapa sama gue?"
Gaya bicara Ahok-panggilan Basuki-yang blakblakan ini memunculkan banyak pertentangan. Musuhnya bakal bertambah setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Kamis pekan lalu. Putusan Mahkamah itu mengesahkan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden lalu. Secara otomatis, Ahok-yang kini menjabat wakil Jokowi-akan menjadi orang nomor satu di Ibu Kota.
Front Pembela Islam terang-terangan menolak Ahok memimpin Jakarta. Gerakan Pemuda Keadilan dari Partai Keadilan Sejahtera Jakarta juga pernah menyerukan hal sama. Mereka menilai Ahok tidak merepresentasikan mayoritas warga Jakarta yang beragama Islam.
Tentu Ahok menyadari penolakan itu, tapi dia merasa tidak terganggu. Ia berpendapat orang yang tidak suka kepadanya biasanya karena dua hal: kepentingan mereka terganggu dan rasis. "Tinggal dihadapi saja. Memangnya negeri ini punya elu? Semakin rasis, gue semakin senang," katanya.
Ahok memang berbeda dengan Jokowi, yang lebih adem dan banyak berhitung. Ahok cepat bertindak jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengannya-termasuk menutup diskotek Stadium karena dijadikan sarang penjualan narkoba. Jika ada kebijakan yang ia anggap benar, meski itu tidak populer, ia juga tetap melaksanakannya.
Misalnya, Ahok tidak peduli dituding ingkar janji terkait dengan kebijakannya membangun enam ruas jalan tol. Padahal ia dulu menolak pembangunan jalan tol di Jakarta. Alasan Ahok, jalan tol Jakarta Outer Ring Road sudah terkoneksi semuanya. Maka enam ruas jalan tol itu diperlukan-termasuk untuk jalur pengiriman logistik. "Kalau alasannya bikin macet, transportasi massal tahun depan sudah bagus, gue siapin elu bus yang setiap 10 menit lewat," tuturnya.
Kami menemui Ahok, Kamis siang pekan lalu, ketika pendukung Prabowo-Hatta berdemonstrasi di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin hingga di dekat Monumen Nasional. Lebih dari 500 polisi menjaga Balai Kota, yang berada tepat di seberang Monas. Namun perbincangan kami dengan Ahok berlangsung cair, tidak ada ketegangan, meski suasana di luar sedang "gerah". Dia tidak pernah menghindar dalam menjawab pertanyaan apa pun. Ia juga tidak menghindar ketika diminta memakai baju Pitung merah dan bersenjatakan golok saat sesi pemotretan. "Gila lu semua ya ngerjain gue," katanya.
Dua tahun bekerja dengan Jokowi, apa kritik Anda terhadap dia?
Beliau tidak begitu tepat waktu.
Karena selalu blusukan?
Iya. Jadi tidak bisa dihitung waktunya. Dia terlalu lambat dalam mengambil keputusan, tapi itu strategi dan ada alasannya. Dia meyakini itu benar, ya, itu hak dia, dong. Saya terima saja sebagai wakil beliau. Kalau gue lebih hebat, tentu gue akan nyalon jadi gubernur saja kemarin melawan dia (Jokowi). Tapi gue tahu diri, gue kagak laku. Dia dipilih orang jadi presiden, gue kagak, he-he-he.
Ketika nanti menjadi gubernur, apakah style galak Anda tetap dipertahankan?
Itu yang susah, karena kalau kamu memerankan karakter yang bukan karakter kamu, itu akan capek.
Sebenarnya galak Anda ini pencitraan?
Bukan. Ada juga yang mengatakan ini bagian dari gaya strategi memimpin. Padahal bukan juga. Paling enak jadi diri sendiri. Ya, sekarang gue lebih jinak. Kata-kata gue sudah lebih halus. Kata-kata "kampret" sudah tidak keluar lagi.
Dengan gaya Anda ini, apa tidak ada resistensi?
Orang tidak suka kepada saya biasanya karena dua hal: kepentingannya terganggu dan rasis.
Lebih susah menghadapi yang mana?
Dua-duanya tidak susah, gue hadapi saja. Memangnya negeri ini punya elu? Semakin rasis sama gue, gue semakin senang.
Partai Keadilan Sejahtera dan Front Pembela Islam mempersoalkan Jakarta dipimpin oleh nonmuslim.
Terserah mereka. Kalau Ahok jadi presiden, lebih stres mereka.
Apa persiapan Anda menjadi Gubernur Jakarta?
Tidak ada. Kan, sama saja. Dari dulu yang mengurus administrasi juga saya.
Rasanya memimpin Jakarta sendirian, beban lebih berat?
Beban tanda tangan iya, karena semua surat masuk ke saya dan harus dibaca.
Apa enaknya menjadi gubernur jika dibandingkan dengan menjadi wakilnya?
Tidak usah permisi. Hajar saja semaunya.
Selama ini memangnya harus permisi ke Jokowi?
Memindahkan orang harus tanda tangan Gubernur. Beliau ini feeling-nya berbeda. Strateginya dia selalu bilang "jangan dulu" atau "sebentar". Kalau saya tidak ada strategi seperti itu.
Untuk berbicara kepada media harus permisi juga?
Tidak ada. Keputusan di rapat selama ini juga tidak pernah permisi. Tapi saya sudah tahu beliau maunya apa. Pak Jokowi tahu saya memutuskan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Jokowi terkesan agak pelan dalam pembenahan birokrasi.
Dia bukan pelan. Dia itu berhitung. Ada feeling dia yang tidak bisa saya jelaskan.
Ada wanti-wanti khusus dari Jokowi untuk Anda?
Tidak ada. Sejak terpilih, dia tidak berubah sama sekali, cengengesan terus. Meski dia sudah setengah presiden, kami terus berkomunikasi. Dia terkadang meminta pendapat saya tentang kebijakan tertentu.
Kebijakan apa?
Proyek monorel. Dia telepon, minta pendapat saya bagaimana hadapi media. Kalau saya yang salah bicara, dia kasih tahu ajudan saya. Tidak menegur langsung, dia orang Jawa.
Banyak orang khawatir dia tidak bisa lepas dari pengaruh Megawati. Itu tecermin selama dia menjadi gubernur atau hal lain.
Saya bilang ke Pak Jokowi, kalau menteri yang ditunjuk nanti dipersepsikan negatif oleh orang, dia akan punya beban berat. Politik itu kan soal kepercayaan. Kayak, misalnya, penunjukan Rini Soemarno dan Hendropriyono.
Jokowi sadar hal itu disorot?
Beliau sadar. Ya, kita tunggu saja menterinya seperti apa.
Apa yang Anda tidak sukai dari Jokowi?
Ya, salah satunya itu tadi, gue ingin ganti orang buru-buru, dia tahan. Gaya Jokowi itu menerapkan teori membunuh kodok. Kodok yang dilemparkan ke air panas yang mendidih di kuali tidak akan mati karena kodok berdarah dingin, jadi langsung loncat. Tapi Jokowi melempar kodoknya ke air dingin, yang membuat kodok itu berenang dan diam. Setelah itu, kompor dipanaskan pelan-pelan. Sampai mati kodok itu tidak akan loncat karena tidak merasa dibunuh. Kalau gue, enggak usah lempar kodoknya, langsung gue tembak saja. Selesai.
Menurut Anda, siapa yang cocok menjadi wakil gubernur?
Saya tidak mau pusing. Yang penting dia sudah teruji karakternya. Kalau secara politik, saya tidak mau wakil gubernur yang lebih bagus daripada saya, karena nanti saingan sama saya di pemilihan gubernur 2017, ha-ha-ha.
Anda berniat maju lagi?
Harus maju lagi. Kalau tidak, saya tidak punya legitimasi namanya.
Tapi kan Anda berasal dari kelompok minoritas, repot lho maju lagi?
Gue tidak mikir minoritas. Lebih repot di Belitung Timur ketimbang Jakarta. Di sana fraksi Partai Bulan Bintang itu mencapai 55 persen.
Anda sepertinya gila jabatan?
Salah, gue enggak gila jabatan. Gue cuma gila doang. Kalau orang sadar bahwa dia gila, artinya orang itu pasti waras. Yang repot adalah orang yang sebenarnya gila tapi tidak sadar. Apalagi yang mengira dia menang tapi sebenarnya enggak, itu juga repot.
Siapa itu?
Gue enggak bilang siapa, lho.
Kembali ke calon wakil gubernur, siapa preferensi Anda?
Kalau mau yang punya mental pekerja dan harus dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), mending si Djarot bekas Wali Kota Blitar. Sepuluh tahun menjabat dan reputasinya jelas.
Anda memiliki andil untuk memilih?
Tidak. Cuma usul dan bisik-bisik saja.
PDIP juga menawarkan Boy Sadikin....
Oke saja. Bagi saya, siapa saja.
Apakah Boy sesuai dengan karakter Anda?
Kita bicara jujur, ya. Lu baca Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 itu, deh. Wakil itu tidak ada wewenang. Tugas dan kewajiban lu, ya, bantu gue. Titik. Tidak usah banyak ngoceh.
Bagaimana dengan Wali Kota Surabaya Rismaharini?
Secara karakter, saya pikir belum tentu cocok dengan saya. Dia sama Bambang D.H. (bekas Wali Kota Surabaya) saja ribut. Bisa tidak ketemu dengan saya.
Kalau dari Partai Gerindra menawarkan siapa?
Mereka menawarkan Mohammad Sanusi (Ketua Fraksi Gerindra Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta). Tapi, kalau saya perkirakan, bisa saja nanti tidak ada wakil karena dua-duanya (PDIP dan Gerindra) tidak mau tanda tangan (setuju). Bagaimana?
Pembagian jatahnya?
Sebagian orang Gerindra berpikir wakil gubernur tetap jatah Gerindra karena orang PDIP sudah jadi presiden. Salah sendiri orang PDIP pergi.
Apakah PDIP bakal menerima?
Tidak. Pikiran PDIP lain lagi. Karena mereka merasa telah memberi DKI-1 ke Gerindra, jatah wakil jadi milik mereka.
Ada tidak kemungkinan Anda diajak Jokowi ke Istana?
Mau ngapain jadi pembantu presiden? Di sini (jadi DKI-1) itu RI-3, Bos.
Tapi pernah ditawari jadi menteri?
Tidak. Dia (Jokowi) sudah tahu gue enggak mau juga.
Lho, sudah ditawari?
Makanya enggak ditawari juga, kan? Karena dia sudah tahu.
Selama ini apa yang hilang jika tidak ada Jokowi?
Kalau saya diserang, Pak Jokowi biasanya bela saya. Sekarang sama juga sih, meski nantinya dia jadi presiden. Apalagi jika kebijakan saya nanti menguntungkan pusat. Misalnya BBM bersubsidi gue cabut di Jakarta. Di Jakarta saja, kalau kebijakan itu dilakukan, bisa hemat sampai Rp 30 triliun.
Kebijakan itu akan Anda lakukan?
Iya.
Kapan?
Per Januari 2015.
Seluruh bahan bakar minyak bersubsidi?
Bensin Premium. Kalau itu saja, saya masih berani.
Bagaimana dengan solar?
Tidak akan dicabut karena solar ada hubungannya dengan logistik. Kalau bensin tidak ada pengaruh. Pengaruh di angkutan umum dan Kopami saja.
Kemudian bagaimana nasib angkutan umum?
Mereka harus ubah ke gas.
Memang ada stasiun pengisian bahan bakar gasnya?
Kami pakai MRU atau mobile re-fuelling unit atau disebut mobile SPBG's procurement. Itu yang kemarin Pak Jokowi resmikan di Waduk Pluit. Nanti akan standby di taman-taman.
Apakah akan cukup jumlah MRU-nya?
Cukup. Gampang itu. PGN (Perusahaan Gas Negara) juga siap. Nanti konverternya bagian dari program Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral).
Selisih harganya bagaimana?
Kalau bensin tak bersubsidi Rp 10 ribu, gas bisa hanya Rp 5.000. Orang pasti beralih.
Hitung-hitungan dampaknya bagaimana jika BBM bersubsidi dicabut di Jakarta?
Hampir tidak ada dampak. Lama-lama saya yakin masyarakat akan menyesuaikan sendiri. Yang penting diyakinkan bahwa kita punya logistik yang cukup buat masyarakat.
Nantinya pekerjaan rumah apa yang Anda prioritaskan?
Semua prioritas, karena jabatan saya tinggal tiga tahun. Transportasi, banjir, dan kemacetan. Kemudian yang tidak terpikir orang adalah penataan PKL (pedagang kaki lima).
Kenapa?
Saya ingin membersihkan kawasan kumuh. Itu terkait dengan kemacetan dan banjir. Penataan PKL juga akan sejalan dengan rumah susun, yang dihubungkan dengan pasar terpadu dan PKL juga. Ini harus dibereskan.
Pembenahan kampung kumuh kan tidak populer dan ditentang?
Dari awal sudah saya katakan kami ini taat terhadap konstitusi, bukan konstituen. Misalnya pembangunan enam ruas jalan tol. Orang ribut, kan?
Jokowi dulu menolak pembangunan jalan tol.
Saya juga sama, tidak perlu menambah rasio jalan. Yang perlu ditambah adalah transportasi massal. Tapi saat itu usul dua ruas tol harus dilakukan, untuk angkutan barang logistik.
Oke. Maksud Anda, kalau dua boleh, kenapa tidak enam?
Tanggung. Gue sadar risiko politiknya. Gue kalau hajar mengerjakan enam jalan tol sekaligus akan mengakibatkan kemacetan. Saya berani kehilangan jabatan supaya Jakarta ada tambahan jalan di atas. Bukan hanya itu, saya juga menyelesaikan lagi tiga koridor busway. Artinya, kalau ini selesai dalam tiga tahun, kita punya 9 koridor layang busway. Bayangkan, kita punya 12 koridor busway di bawah dan 9 koridor di atas.
Muncul tuduhan bahwa keputusan Anda menyetujui pembangunan enam ruas jalan itu menelikung Jokowi, karena keluar saat Jokowi cuti untuk kampanye.
Udah gue laporin ke beliau bahwa enam ruas jalan tol itu penting. Kami juga bertemu dengan PU, dan setuju bahwa enam ruas itu harus segera dibangun menjelang Asian Games 2019.
Jokowi setuju?
Setuju saja. Gue jelasin konsepnya. Ini risiko buat gue, jalan tol belum jadi, gue sudah berhenti pada 2017 kalau tidak terpilih lagi. Tapi, jika ruas tol selesai, orang Jakarta menikmati.
Anda dituduh ingkar janji.
Saya tidak peduli dibilang ingkar janji. Memang gue ingkar janji, lu mau apa? Tidak usah pilih gue lagi. Beres, tokh. Tidak usah banyak berdebat.
Kapan Anda mulai berubah pendapat, kemudian menyetujui pembangunan enam ruas jalan tol itu?
Setelah kami berhasil menyambungkan Jakarta Outer Ring Road. Kalau itu tidak nyambung, tidak ada guna. Kami juga berpikir akan membangun light rail transit (LRT)-seperti di Chicago.
Siapa yang bangun?
Patungan. Saya lagi suruh orang ke New York dan Chicago, dia pulang nanti gue mau menenderkannya. Dalam tiga tahun, gue mau semua mal, bandara, dan perumahan mewah dilewati LRT.
Ini berbeda dengan monorel?
Beda. Kalau monorel itu keretanya jepit ke beton jalannya. Kalau mau bikin cabang tidak bisa. Kalau kereta api bisa disambung.
Nasib proyek monorel bagaimana?
Tergantung. Mereka punya duit tidak bangun monorel? Duitnya tidak bisa ditunjukkan. Mereka ini memanfaatkan gue karena tahu gue ingin punya transportasi massal. Gue tahu mereka sebenarnya menginginkan bisnis properti ruang udara di stasiun-stasiun monorel.
Mereka ini siapa?
Ya, PT JM (Jakarta Monorail).
Anda memberi tenggat penandatanganan perjanjian kerja sama pembangunan monorel dengan PT Jakarta Monorail pada September.
Kalau tidak, jelas coret.
Seandainya monorel mengubah konsepnya, yakni meniadakan desain ruang udara tadi di setiap stasiun, apakah Anda akan setuju?
Mereka tidak akan mau.
Sudah pasti?
Berani taruhan berapa lu sama gue? Laporan keuangan mereka itu sudah jelas, kok, 80 persen pemasukannya dari properti. Mereka ini pebisnis properti yang tahu gue ngebet ingin punya kereta karena mau atasi macet.
Situasi panas pemilihan presiden kemarin membuat posisi Anda terjepit?
Langsung saya selesaikan kejepitnya itu. Langsung gue putusin, gue dan keluarga pilih Prabowo. Gue sudah kampanye ke mana-mana. Kalau Jokowi yang menang, ya, memang nasib gue jadi gubernur, Bos. Lu jangan ribut.
Kalau hati Anda sebenarnya ke mana?
Ingin jadi presiden sendiri saja.
Jadi pada 2019 akan mencalonkan diri jadi presiden?
Tergantung. Kalau Pak Jokowi bagus, ya, tidak usah nyalon.
Tapi pada 2019 kan masih ada inkumben. Berat sepertinya.
Tergantung juga. Kalau dia jadi penakut dan enggak beres kerjanya, gue nyalon.
Masak, Jokowi takut?
Ya, makanya. Kan, gue tidak tahu. Karakter sejati baru teruji saat dikasih kekuasaan.
Dengan gaya Jokowi yang sudah Anda kenal, menurut Anda, apakah dia bisa memimpin negara?
Kalau tidak bisa, masak terpilih? Biar sejarah yang membuktikan.
Hubungan Anda dengan Prabowo bagaimana?
Yang jelas, gue tidak punya nomor telepon dia. Kalau bertemu begitu saja. Dihitung hanya sepuluh kali.
Terakhir bertemu di Hambalang sebelum pemilihan umum membicarakan apa saja?
Santai-santai saja.
Strategi pemilu?
Enggak. Bawa keluarga, kok.
Dia orang yang menguji loyalitas?
Tidak tahu. Gue tidak merasa diuji. Gue kan orang cabutan.
Tapi Anda pengurus pusat Gerindra?
Tidak pernah ada SK-nya. Tidak pernah diajak rapat.
Artinya, pada 2017, Anda bukan dari Gerindra jika maju lagi jadi DKI-1?
Tergantung. Bisa juga gue calon independen. Mana gue tahu.
Bukannya sudah ditaksir PDIP?
Mana gue tahu juga.
Megawati menyukai Anda?
Memang sudah dekat dari dulu. Sebelum masuk politik.
Prabowo tidak pernah tanya Jokowi kepada Anda?
Tidak.
Basuki Tjahaja Purnama Tanggal dan Tempat lahir: Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 PENDIDIKAN: S-2 (magister manajemen) Jurusan Manajemen Keuangan Universitas Prasetiya Mulya (1993)| S-1 (insinyur) Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Geologi Universitas Trisakti, Jakarta (1989) |S-1 (tidak lulus-sampai semester I) Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (1984) | Sekolah Menengah Atas III Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD), Jakarta (1984) |Sekolah Menengah Pertama Negeri Nomor 1 Gantung, Belitung Timur (1981) |Sekolah Dasar Negeri Nomor 3 Gantung, Belitung Timur (1977) KARIER: Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (2014) | Pelaksana Tugas Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (2014) | Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (2012-2014) |Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golongan Karya (2009-2014) | Bupati Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung (2005-2010) |Direktur PT Nurindra Ekapersada, Belitung Timur (1992-2005)>>Asisten Presiden Direktur Bidang Analisa Biaya dan Keuangan PT Simaxindo Primadaya, Jakarta (1994-1995) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo