Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saat ini banyak pendakwah yang muncul dari ruang digital.
Irfan merupakan santri di Pondok Pesantren Al-Miftah, Mlangi, Yogyakarta.
Sekarang, makna menjadi ustad atau kiai tidak hanya otoritas keagamaan, tapi juga simbol kesuksesan.
OLOK-OLOK Miftah Maulana Habiburahman kepada penjual es teh saat memberikan ceramah di Magelang, Jawa Tengah, berbuntut kontroversi panjang. Pendakwah yang dikenal di kalangan preman, pejudi, dan pekerja dunia malam itu mendapat banyak cercaan. Bahkan Miftah mengundurkan diri dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Nama Miftah memang pernah melambung. Ia mulai dikenal luas setelah memberikan ceramah di salah satu klub malam di Bali pada September 2018. Miftah juga mendapat sorotan setelah menjadi penuntun publik figur Deddy Corbuzier dalam memeluk agama Islam pada pertengahan 2019.
Bagi Irfan Afifi, budayawan sekaligus penulis yang bermukim di Yogyakarta, para pendakwah yang terkenal di tengah masyarakat bisa dibaca sebagai fenomena baru. Fenomena itu, kata Irfan, berada di lanskap teknologi digital yang mengubah terbentuknya otoritas baru dalam umat Islam. Ia menyebutkan saat ini banyak pendakwah yang muncul dari ruang itu. Hanya, para dai itu bukan berasal dari otoritas keilmuan dengan jarak belajar yang panjang. “Alias, dalam bahasa yang lebih mudah, muncul karena viral,” ujarnya.
Irfan merupakan santri di Pondok Pesantren Al-Miftah, Mlangi, Yogyakarta. Alumnus Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada itu juga dikenal sebagai pendiri dan pengelola media pemikiran bernama Langgar.co. Sejumlah buku ia tulis: Saya, Jawa, dan Islam (Tanda Baca, 2019); Jurgen Habermas, Senjakala Modernitas (IRCiSoD, 2019); dan Bukan Tersembunyi, Melainkan Tak Terlihat (Omah Ilmu, 2019). Irfan juga editor sejumlah buku, seperti Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa karya Nancy K. Florida serta Suluk Kebudayaan Indonesia: Menengok Tradisi Pergulatan, dan Kedaulatan Diri.
Irfan juga menyoroti kontroversi olok-olok Miftah yang ditanggapi dengan adanya usulan sertifikasi pendakwah. Usulan itu datang dari anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Maman Imanul Haq. Maman meminta Kementerian Agama memberikan sertifikasi kepada juru dakwah untuk memastikan para pendakwah memiliki kapasitas yang memadai dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan.
Menurut Irfan, usulan ini mungkin diperlukan. Namun ia berharap usulan tersebut benar-benar dikawal secara serius. Ia ingin sertifikasi melibatkan semua pihak yang ada di Indonesia. Jika hanya dikawal oleh satu golongan, tutur Irfan, hal itu akan menimbulkan bias dalam hal menyeleksi pendakwah. “Saya membayangkan harus dikawal serius,” ujarnya.
Dari Yogyakarta, Irfan menerima wawancara wartawan Tempo Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita melalui sambungan telekonferensi pada Selasa, 17 Desember 2024. Lebih dari satu jam Irfan menyampaikan perihal tren pendakwah di zaman kiwari hingga cara beragama masyarakat hari ini di semesta dunia digital.
Anda menyebut fenomena baru keagamaan dalam lanskap dunia digital. Bagaimana penjelasan Anda?
Ini modus atau medium baru yang memungkinkan orang-orang seperti Miftah lahir. Bahkan, dalam beberapa hal, dia menjadi pusat baru otoritas keagamaan karena bersinggungan langsung dengan umat. Ia menjadi trending di media sosial, viral. Ini fenomena baru yang mungkin belum disadari secara utuh oleh teman-teman di pesantren, yang sebenarnya mengubah banyak hal.
Apa contohnya?
Misalnya orang seperti Gus Iqdam yang masih sangat muda. Itu bisa menyedot banyak umat. Artinya, dia punya otoritas atau diperhitungkan di kalangan agamawan. Ada juga kaitannya dengan faktor ekonomi. Sekarang, makna menjadi ustad atau kiai tidak hanya otoritas keagamaan, tapi juga simbol kesuksesan.
Irfan Afifi saat pembacaan orasi Budaya di Kampung Buku Jogya, 2018. Langgar.co
Apakah ini corak baru dalam diskursus keagamaan?
Orang-orang yang viral seperti Miftah ini dilahirkan dari ekspektasi orang-orang yang sebenarnya punya mimpi yang sama: bisa viral, kaya, untung-untung bisa mendapat posisi pejabat dan sejenisnya. Ini perubahan baru yang konsekuensinya, dalam diskusi agama, pasti baru.
Apakah ruang digital memungkinkan hal itu terjadi? Sebab, berbagai pengkultusan kepada pendakwah sangat luar biasa.
Jadi, kalau menggunakan teori sosiologi, saya membayangkan, seiring dengan perubahan modus produksi ekonomi masyarakat itu, terjadi perubahan cara beragama seseorang. Alias, misalnya, masyarakat desa yang dulu petani, corak keagamaannya juga ditentukan oleh corak ekonomi produksinya. Misalnya persawahan, corak keagamaannya penuh ritus. Sedangkan di kota yang corak keagamaannya berasal dari orang yang berdagang atau berbisnis, dia akan memilih agama yang cara menyebarkan keagamaannya lebih puritan, suka yang tegas-tegas, suka hitam-putih.
Jika corak beragama ditentukan modus produksi ekonomi, lalu model dakwah seperti apa yang dikehendaki di era media sosial?
Karena modus produksi ekonominya juga salah satunya lewat digital, akhirnya corak dai-dai yang ada di medsos berubah total. Misalnya dulu dai yang alim atau punya kualifikasi pengetahuan yang teruji sudah mengabdikan diri di pesantren di sebuah masyarakat, kemudian dikenal. Namun, setelah kita terjun ke dunia online, tidak ada lagi persyaratan seperti itu. Asalkan viral, dia bisa merebut otoritas keagamaan. Bahwa dainya ganteng, ceramahnya enak, tidak terlalu berat, itu tuntutan media digital hari ini.
Apakah itu yang membuat banyak orang membela ketika Miftah mundur dari jabatannya?
Mungkin begitu. Fenomena sentimen di zaman ini, suka atau tidak suka akhirnya memainkan peranannya dalam pemilihan materi konten di dunia digital. Jadi, bukan pada benar atau salahnya, melainkan pada senang atau tidak senang.
Para pendakwah di media sosial ini mungkin pengetahuan agamanya biasa saja. Anda setuju?
Saya membayangkan itu bukan hal penting. Ada modus baru, apakah dia alim atau tidak. Kalau tidak ikut medium ini, dan tidak viral, ya Anda bukan siapa-siapa. Akhirnya, titik tekannya bukan soal alim, melainkan bagaimana dia mengelola atau mem-branding dirinya agar tampil menjadi laku dan diminati, cocok dengan permintaan pasar.
Kriteria apa yang bisa menjadi patokan untuk memilih kajian keagamaan yang solid?
Dalam doktrin pesantren, sebenarnya yang baik itu jangan lewat online. Tapi mungkin ini tidak cocok dengan dunia digital hari ini. Sebab, saat ini orang sibuk bekerja, tidak bisa meluangkan waktu untuk datang ke pengajian. Makanya, dalam kaidah di pesantren, akhirnya muncul sanad. Artinya, penceramah itu mengajinya di mana, muridnya siapa. Intinya melihat profilnya.
Lalu, bagaimana kita memilah kajian mana yang benar-benar berbobot?
Menurut saya, kajian yang berbobot itu sebenarnya tergantung audiens-nya. Namun mungkin penonton itu butuhnya yang ringan-ringan sehingga ngapain juga membahas yang berat-berat, he-he-he....
Cara berdakwa Miftah dimulai dari kalangan kelompok pinggiran. Di sana ia bicara apa adanya tanpa memperhatikan diksi bahasa. Tapi, ketika dibawa ke media sosial, diksi bahasa yang kasar menjadi masalah. Bagaimana pendapat Anda?
Orang itu kesadarannya masih dalam konteks pengajian offline. Walau pendakwah-pendakwah itu sudah direkam dan disiarkan di media sosial, kesadarannya masih di ruang offline. Maka, ketika hal itu dikonsumsi banyak orang, yang mungkin beragam dengan budaya yang berbeda, akhirnya persepsi yang muncul akan berbeda.
Jadi, apa saran Anda?
Seharusnya para dai mulai sadar, apa pun yang ia sampaikan dalam ceramah harus ada kultur baru yang disiapkan. Dia harus menata bahasa atau kalimat. Mau tidak mau harus ada perubahan kultur karena segala sesuatu akan menjadi sangat sensitif.
Jika Anda mempunyai saran, kepada siapa kita harus mengaji?
Ikuti ceramah agama yang memberikan nilai, membawa kita pada kualitas akhlak yang lebih baik. Saya tidak bisa memberikan saran detail karena fenomenanya beragam.
Kriteria seperti apa yang Anda rasa pas dalam konteks Islam Indonesia?
Dalam konteks Islam Indonesia, kita harus memiliki capaian lebih. Islam Indonesia itu coraknya memang lebih ramah terhadap tradisi atau kebudayaan Indonesia. Nah, itu yang harus dipertahankan. Yang harus dipertahankan itu adalah Islamnya para wali dulu. Jadi, kita punya preseden atau teladan di masa lalu yang menyebarkan Islam secara lebih arif di masyarakat. ●
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo