Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Instansi Perpajakan Bermasalah

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAENG Mochamad Nazier kembali ke Kementerian Keuangan dalam suasana prihatin. Tiga hari sebelum Menteri Keuangan Chatib Basri melantiknya sebagai Ketua Komite Pengawas Perpajakan, Jum­at dua pekan lalu, kepolisian menangkap Kepala Subdirektorat Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Heru Sulastyono karena diduga korupsi. Sepekan sebelumnya kepolisian juga menahan pegawai pajak Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno dengan dugaan korupsi dalam pengurusan restitusi.

Kedua kasus tersebut, menurut Nazier, merupakan masalah serius. Kenyataan bahwa penyimpangan ketiga oknum tersebut telah lama terendus justru membuatnya semakin gemas. "Kenapa selama ini didiamkan?" katanya. Dia berandai-andai, jika saja pihak internal Bea-Cukai dan Pajak menindak mereka lebih dulu ketimbang kepolisian, upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap instansi perpajakan tak akan terganggu. "Artinya ada masalah di sistem internal."

Nazier bertekad segera bekerja membantu Menteri Keuangan untuk membenahi masalah tersebut. Dia memang bukan orang baru di Kementerian Keuangan. Dua dekade lebih kariernya dihabiskan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dia tahu persis di mana saja celah yang biasa dimanfaatkan oknum petugas untuk mengambil keuntungan pribadi. "Saya tak tahu apakah sekarang masih ada. Saya yakin masih," katanya. "Meski dengan modus-modus baru dan tak semasif dahulu."

Menurut dia, program reformasi birokrasi selama ini tak fokus mencegah terjadinya kejahatan aparat perpajakan—mencakup Bea-Cukai dan Pajak. Akibatnya, kata dia, bersih atau tidaknya lembaga tersebut masih lebih banyak dipengaruhi pemimpinnya. Karena itu, dia akan memprioritaskan pembenahan sistem pencegahan pelanggaran di instansi perpajakan. "Karena ini terkait trust," ujarnya.

Kamis siang pekan lalu, Nazier menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya dan Mitra Tarigan di kantor Komite Pengawas Perpajakan, Gedung Juanda 2 lantai 14, kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat. Selama dua jam wawancara, dia ditemani anggota Komite Pengawas Perpajakan yang juga Sekretaris Direktur Jenderal Bea dan Cukai di era Anwar Suprijadi, Kamil Sjoeib.

Setelah reformasi birokrasi, institusi perpajakan—Bea-Cukai dan Pajak—lagi-lagi tersandung kasus korupsi. Apa yang salah menurut Anda?

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, kasus HS di Bea-Cukai adalah kejadian lama. Belum jelas apakah setelah reformasi birokrasi dia masih menerima suap yang dituduhkan. Pertanyaannya, kalau memang sejak dulu, apakah internal kantornya selama ini tak mendeteksi. Kenapa selama ini didiamkan? Kalau indikasi itu direspons sedari awal oleh internal, tentu tidak perlu menunggu sampai diledakkan oleh kepolisian seperti sekarang.

Kasus HS bisa dibilang kesalahan Kantor Bea-Cukai?

Seperti instansi pajak, cara kerja Kantor Bea-Cukai itu selalu berupa satu rangkaian. Setiap kali masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, barang impor akan ditangani petugas penerimaan, pemeriksa, dan seterusnya. Biasanya, kalau satu bersih, bersih semua. Bisa juga satu bermain, semuanya pun bermain. Pasti informasi siapa yang kerap bermain itu sudah tahu sama tahu. Itu dulu, entah apakah sekarang masih seperti itu. Saya yakin masih, tapi tak semasif dulu. Pasti ada masalah sistem di sini.

Apa yang akan Anda lakukan di Komisi Pengawas Perpajakan untuk membenahi masalah tersebut?

Kami baru masuk kantor pada awal pekan lalu. Kami sudah bertemu dengan Pak Anwar (mantan Ketua Komisi Anwar Suprijadi) untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan dan yang bisa dilanjutkan. Yang jelas, Menteri Keuangan berpesan agar kami berfokus pada hal yang strategis dan bisa dicapai dengan cepat. Dalam waktu dekat, kami segera menyampaikan beberapa hal yang hendak dilakukan Komisi kepada Menteri.

Apakah memerangi pelanggaran oleh instansi perpajakan termasuk urusan strategis?

Ya. Karena ini terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan. Karena itu, pekan-pekan ini kami juga akan bertemu dengan Direktur Jenderal Pajak serta Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Baru setelah itu saya berharap kami bisa merumuskan rekomendasi untuk Pak Menteri.

Untuk apa bertemu dengan pimpinan Pajak dan Bea-Cukai?

Ya, itu tadi. Saya ingin bertanya apakah mereka sudah memiliki sistem untuk mencegah pelanggaran terjadi di lingkungannya.

Bukankah sistem pencegahan penyimpangan dalam reformasi birokrasi sudah digagas di era Menteri Keuangan Sri Mulyani?

Mungkin sudah ada. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Kalau saya ditanya apakah efektif dilakukan, pasti jawabannya belum. Buktinya, kasus-kasus masih muncul. Di sinilah fungsi Komisi Pengawas Perpajakan untuk merekomendasikan kepada Menteri Keuangan bagaimana caranya agar sistem itu bisa benar-benar bekerja mengurangi atau bahkan menghapus kecurangan aparat kami. Untuk itu, harus ada pemetaan risiko di setiap tingkatan tugas instansi perpajakan.

Seingat kami, Komisi pernah membuat daftar titik rawan terjadinya pelanggaran di instansi Pajak dan Bea-Cukai....

Betul. Tapi kan seharusnya mereka menyusun juga. Maksud saya, Dirjen Bea-Cukai dan Dirjen Pajak harus membuat daftar dan menganalisis setiap risiko pelanggaran seperti itu. Baru kemudian melakukan mitigasi, bagaimana caranya agar risiko itu tidak terjadi.

Bisakah Anda contohkan risiko terjadinya pelanggaran di Dirjen Bea-Cukai?

Lagi-lagi seperti importasi barang di Pelabuhan Tanjung Priok. Pemeriksaan barang impor dilakukan oleh petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan (KPP) Bea-Cukai. Tapi ternyata ada intelijen Bea-Cukai juga mengawasi. Ketika KPP meloloskan barang tersebut, giliran intelijen menangkapnya. Akhirnya importir ketakutan, melobi, bagaimana caranya agar lolos. Akhirnya semuanya lolos. Nah, risiko seperti ini yang lebih berbahaya dan harus dipetakan. Intelijen itu tak menandatangani satu pun dokumen impor, sehingga kelak tak akan terlacak jika ada masalah.

Apakah modus seperti itu masih terjadi sekarang ini?

Saya tidak tahu sekarang. Yang jelas, saya sudah berencana mengusulkan satu cara agar pencegahan pelanggaran bisa efektif. Tapi ini belum saya bahas di Komisi.

Bagaimana caranya?

Menurut saya, perlu ada sistem, di samping pengawasan internal, yang diadakan khusus untuk mencegah kecurangan. Harus ada peraturan menteri yang menyatakan setiap kepala unit, eselon dua, di Kementerian Keuangan, terutama Pajak dan Bea-Cukai, bertanggung jawab membangun dan menerapkan fraud control system tersebut dari pemetaan risiko untuk pencegahan, mitigasi, penindakan, hingga monitoring. Indikatornya juga harus jelas sehingga setiap saat bisa dievaluasi dan diaudit oleh Inspektur Jenderal. Apabila tidak dilakukan, copot saja.

Mengapa membakukan sistem seperti itu menjadi sangat penting?

Karena, kalau terjadi kasus, bisa diketahui sistem di unit tersebut kurang efektif atau mungkin tak diterapkan. Lewat sistem itu juga bisa diketahui penanganan kasus kepabeanan dan cukai sudah sampai sejauh mana. Saya sedih beberapa hari lalu melihat seorang Direktur Penindakan dan Penyidikan Ditjen Bea dan Cukai, dalam acara salah satu stasiun televisi, tak bisa menjawab pertanyaan tentang beberapa kasus yang diajukan pembawa acara.

Apakah tidak khawatir pekerjaan Komisi Pengawas Perpajakan seperti hanya sebagai perancang sistem?

Yang paling berbahaya itu bukan kasus orang per orang, melainkan jika pelanggaran itu bersifat sistemik. Dan kenyataan bahwa kasus berulang kali terjadi, bahkan kasus lama tak ditangani, bisa menjadi indikator masalahnya sudah bersifat sistemik. Itulah sebabnya pendekatan untuk menanganinya juga harus by system.

Apa Komisi tidak bisa terjun langsung memeriksa dugaan pelanggaran aparat perpajakan?

Undang-undang mengamanatkan kepada Menteri Keuangan untuk membentuk, menyusun aturan main, dan apa saja tugasnya. Apa pun hasil kerja kami, dari pengamatan, pengumpulan informasi, penerimaan pengaduan, hingga pengkajian, ujung-ujungnya hanya berupa saran dan rekomendasi kepada Menteri Keuangan.

Apakah Anda tidak gemas untuk menindak kasus-kasus yang terjadi?

Saya gemes, tapi tidak mungkin tiba-tiba saya main cek sana-cek sini atau ngomong sesuatu di luar kewenangan kami sebagai kepanjangan tangan Menteri Keuangan. Selain itu, kami memang tidak boleh masuk ke operasional dan substansi kasus karena sudah ada instrumen yang menjalankannya.

Maksud Anda, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transparansi Sumber Daya Aparatur di Ditjen Pajak dan Pusat Kepatuhan Internal di Ditjen Bea dan Cukai yang bisa masuk ke lapangan?

Ya. Kami hanya bisa mencermati seberapa efektif keberadaan mereka untuk mengurangi atau menghilangkan terjadinya pelanggaran.

Kendati banyak instrumen pengawas, kasus pelanggaran aparat perpajakan tak juga hilang?

Itu juga akan kami evaluasi. Jangan-jangan hanya ada bungkus tapi enggak ada isinya. Selain itu, saya melihat reformasi birokrasi tak memiliki program manajemen perubahan untuk mengubah perilaku individu dalam organisasi. Akibatnya, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan, bukan kesadaran setiap aparat.

Masih terjadinya pelanggaran di Bea-Cukai dan Pajak menunjukkan adanya masalah di unsur pimpinan kedua instansi itu?

Kata kuncinya menurut saya adalah tone from the top. Harus ada irama dari atasan yang kuat dan bersih untuk menerapkan pola dan budaya kerja anti-kecurangan dan korupsi di institusi Bea-Cukai dan Pajak. Itulah yang susah. Saya tak ingin membandingkan orang per orang. Tapi mengapa dahulu zaman Pak Anwar Suprijadi pelanggaran di Bea-Cukai bisa ditekan sedangkan sekarang tidak? Padahal instrumen pencegahannya, dari peraturan hingga sistemnya, sama.

Mungkin ada baiknya dibentuk lembaga pengawas perpajakan dari eksternal Kementerian Keuangan....

Tidak perlu juga. Meski kami tidak mengurus kasus per kasus, bukan berarti kami tak mencermati dan menangani pelanggaran. Irjen Kementerian Keuangan adalah salah satu anggota Komisi Pengawas. Kalau ada pengaduan, kasus korupsi misalnya, jelas siapa orangnya, bisa langsung dikerjakan di sana karena mereka punya aparat investigasi dan dengan mudah bisa memanggil aparat Bea-Cukai dan Pajak. Selama ini mereka sebenarnya sudah bekerja, termasuk berhubungan dengan PPATK dan penegak hukum. Hanya memang tidak gembar-gembor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Daeng Mochamad Nazier:
Tempat dan tanggal lahir: Subang, Jawa Barat, 2 November 1952 Pendidikan: Sarjana Keuangan Bea dan Cukai Institut Ilmu Keuangan, Jakarta, 1979 l Master of Arts Development Economic Williams College, Amerika Serikat, 1984 l Doctor of Philosophy Public Policy Analysis Carnegie-Mellon University, Amerika, 1989 Karier: Ketua Komite Pengawas Perpajakan (2013-sekarang) l Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK (2007-2012) l Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri (2005-2007) l Staf Ahli Menteri Keuangan (2004-2005) l Kepala Badan Informasi dan Teknologi Departemen Keuangan (2001-2004) l Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan jabatan terakhir Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi (1980-2001).