Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Ahmad Fathanah merupakan pintu gerbang untuk hukuman yang lebih berat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Luthfi Hasan Ishaaq. Menurut majelis hakim, Fathanah terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Uang itu merupakan bagian dari dana Rp 40 miliar yang dijanjikan Elizabeth Liman jika perusahaannya berhasil mendapatkan izin tambahan kuota impor 8.000 ton daging sapi.
Dengan demikian, Fathanah diganjar hukuman penjara 14 tahun dan denda Rp 1 miliar untuk kasus penyuapan. Hakim juga menilai Fathanah terbukti melakukan pencucian uang aktif, sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pencucian uang aktif berarti Fathanah terbukti membelanjakan uang itu untuk rumah, mobil, dan perhiasan. Sedangkan dakwaan tentang pencucian uang pasif pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dianggap tak terbukti.
Sebetulnya hukuman itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yang meminta majelis hakim menghukum Fathanah penjara 7 tahun 6 bulan dan denda Rp 500 juta untuk perkara korupsi serta penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar untuk perkara pencucian uang. Hukuman yang lebih ringan daripada tuntutan jaksa ini disebabkan oleh gagalnya pembuktian pencucian uang pasif.
Bagaimanapun, hukuman terhadap Fathanah bisa dijadikan patokan penting untuk vonis terhadap Luthfi. Jika vonis terhadap seorang "makelar proyek" seperti Ahmad Fathanah saja sudah mencapai 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, seorang anggota Komisi Pertahanan DPR, yang saat skandal ini berlangsung sedang menjabat Presiden Partai Keadilan Sejahtera, tentu harus diganjar hukuman jauh lebih berat. Hukuman itu bukan hanya kurungan yang lebih lama dan denda yang lebih tinggi. Seluruh harta benda yang diduga dibeli dengan uang hasil korupsi pun harus disita.
Majelis hakim memang gagal membuktikan dakwaan pencucian uang pasif Ahmad Fathanah. Maka majelis hakim yang akan menjatuhkan vonis kepada Luthfi Hasan Ishaaq kelak harus bisa membuktikan seluruh dakwaan berlapis itu, terutama pasal 5 tentang pencucian uang pasif, sekaligus menghukum mereka yang menerima atau menguasai penempatan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau kekayaan yang diduga hasil korupsi.
Vonis Luthfi kelak akan menjadi kunci membuka rangkaian korupsi skandal daging impor ini. Pertama adalah posisi strategis Luthfi sebagai anggota DPR serta pemimpin PKS itu—yang diharapkan bisa melobi Menteri Pertanian Suswono untuk penambahan kuota daging impor—yang menyebabkan Elizabeth Liman mengucurkan uang suap. Kedua, Luthfi merupakan pejabat publik yang dipilih rakyat, sementara Fathanah makelar belaka. Ketiga, jika vonis terhadap Luthfi dapat dijatuhkan dengan memasukkan pasal pencucian uang aktif dan pasif sekaligus, dugaan keterlibatan aktor lain yang selama ini masih menjadi saksi, seperti Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan putranya, Ridwan Hakim, akan bisa ditelusuri lebih jelas dan agresif.
Pembongkaran skandal daging impor ini, dengan demikian, tak berhenti pada kulit belaka, tapi sekaligus masuk ke semua jaringan orang yang terlibat di dalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo