Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI baru datang di PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum. Sebuah babak bersejarah segera ditorehkan. Inilah pertama kalinya akan terjadi perpindahan kepemilikan perusahaan patungan antara pemerintah dan investor asing. Karena itu, lampu sorot wajib kita arahkan pada Inalum agar semua berlangsung fair dan dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat.
Dikenal sebagai "Proyek Asahan", Inalum berawal pada 1976, ketika Republik mulai serius menapak pembangunan. Pemerintah Soeharto mengundang investasi Jepang untuk membangun pabrik pengolahan aluminium. Ada 12 perusahaan Jepang yang kemudian bergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA), dengan kepemilikan saham yang berubah secara bertahap. Awalnya 90 persen saham dimiliki konsorsium dan 10 persen kepunyaan pemerintah. Pada 1978, porsi kepemilikan saham NAA berubah menjadi 75 persen dan akhirnya menciut hingga 58,88 persen pada 1987.
Akhir bulan lalu, Inalum tiba pada tonggak yang sudah disepakati sejak hari pertama berdiri. Seluruh kepemilikan NAA siap dialihkan kepada pemerintah Indonesia, dengan pembayaran sejumlah kompensasi kepada konsorsium. Memang, roda agak seret berputar di sini. Pihak NAA meminta pemerintah membayar US$ 626 juta, sedangkan pemerintah bertahan pada nilai US$ 558 juta. Ada selisih valuasi aset yang cukup lumayan. Itulah sebabnya pemerintah Indonesia dan Jepang kini sedang dalam proses tarik-ulur perundingan dan belum mencapai titik temu.
Inalum memang aset yang sangat berharga. Korporasi ini merupakan usaha di sektor hilir pertambangan yang jarang dimiliki Indonesia. Berbagai investasi pertambangan—emas, tembaga, nikel, dan batu bara—selama ini cuma ditambang dan dijual mentahan. Perusahaan tambang jarang mau berinvestasi membangun smelter atau pabrik pengolahan hasil tambang. Akibatnya, tak ada nilai tambah dan kita cukup berpuas diri meski hanya menjadi pemain komoditas mentah.
Inalum belakangan semakin berkilau. Di sini terdapat pembangkit listrik tenaga air bertenaga 600 megawatt—butuh dana US$ 1 miliar untuk membangun pembangkit baru selevel ini. Pabrik aluminium ini juga tercatat sebagai satu-satunya di Asia Tenggara. Kapasitas produksinya 260 ribu metrik ton olahan aluminium per tahun, yang sebagian besar diekspor. Setelah berpindah kepemilikan, rencananya produksi digenjot sampai 400-an ribu metrik ton dan diutamakan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Lantaran bisnis gurih, wajar jika kue Inalum diincar banyak pihak. Pemerintah daerah serta investor swasta dari dalam dan luar negeri sudah menyatakan niat membeli saham Inalum. Namun kami sependapat dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, yang menekankan agar pemerintah pusat sebaiknya berfokus mengawal pengambilalihan saham sampai tuntas.
Keterlibatan pemerintah daerah pun harus dikelola dengan bijak. Dua kasus divestasi yang pernah terjadi, yakni PT Newmont Minahasa Raya dan PT Kaltim Prima Coal, membuktikan bahwa pemerintah daerah cenderung dijadikan "tunggangan" pemain swasta yang belum tentu kompeten. Karena itu, pemerintah harus tegas, terutama karena "nasionalisasi" Inalum ini akan menjadi model dan preseden di masa mendatang.
Jika semua proses pengambilalihan saham sudah beres, bisa digelar divestasi saham Inalum dengan tender yang transparan. Pihak yang sanggup menawarkan skema paling menguntungkanlah yang layak menjadi partner pemerintah pusat. Pemerintah harus memastikan proyek ini tak jatuh ke tangan korporasi yang tidak bonafide.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo