Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyambung Rantai yang Terputus

Pengambilalihan Inalum dinilai menguntungkan Indonesia. Bisa memenuhi kebutuhan aluminium domestik yang tinggi.

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-CITA PT Aneka Tambang (Antam) membangun smelter alumina di Mempawah, Kalimantan Barat, bakal segera terwujud. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memverifikasi studi kelayakan dan manajemen proyek pabrik pengolah bauksit menjadi alumina milik perusahaan pertambangan pelat merah ini.

"Perkembangan terakhir, tiga-empat perusahaan lolos verifikasi. Malah ada yang sudah groundbreaking," kata Bambang Suharno, Kepala Departemen Metalurgi dan Material Universitas Indonesia, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Bambang adalah akademikus yang diminta Kementerian Energi menjadi anggota tim verifikasi.

Antam merancang pabrik smelter alumina berkapasitas 1,2-1,5 juta ton per tahun. Berdasarkan studi kelayakan awal, pabrik ini membutuhkan modal US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 17 triliun). Untuk itu, Antam berencana membentuk perusahaan patungan dengan mitra strategis.

Sekretaris Perusahaan Antam Tri Hartono mengatakan beberapa perusahaan telah mengajukan proposal. "Ada dari Cina dan Dubai," ujarnya. Pertengahan Juni lalu, pimpinan Russian Aluminium juga datang ke Jakarta. Raksasa aluminium yang berkantor pusat di Moskow itu pernah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Antam untuk membangun smelter di Tayan, Kalimantan Barat, empat tahun lalu. Mereka menyiapkan US$ 2 miliar (sekitar Rp 22,7 triliun) untuk pabrik yang dirancang berkapasitas 1,8 juta ton per tahun itu.

Indonesia memang membutuhkan pabrik alumina. Hingga kini, Indonesia belum memiliki fasilitas pengolah bijih bauksit menjadi alumina. Yang ada hanya smelter pengolah alumina menjadi aluminium, seperti yang dimiliki PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Seluruh bauksit yang berlimpah di Indonesia dijual ke luar negeri. Sebaliknya, Inalum malah mengimpor alumina sebagai bahan baku. "Ada rantai yang terputus," kata Bambang.

Menurut dia, penting bagi Indonesia melengkapi rantai industri aluminium dari hulu ke hilir. Apalagi bisnis hilir telah maju pesat. Kebetulan, sejak 2007, Bambang diminta Kementerian Perindustrian membantu memetakan industri hilir berbasis aluminium. Pemetaan itu akhirnya menjadi salah satu bekal pemerintah untuk memutuskan akuisisi Inalum.

Mantan wakil presiden Jusuf Kalla punya alasan sederhana mengapa Inalum harus diambil alih. "Memanfaatkan listriknya saja sudah menguntungkan." Maka, ia menilai, rugi sekali jika proses pengambilalihan tidak selesai dan harus melalui arbitrase. "Langsung saja. Pada 1 November diambil aset dan sahamnya dengan kompensasi."

Setelah dibayar, ia menambahkan, Indonesia akan mendapat tambahan 600 megawatt. "Bisa dijual ke PLN." Dari penjualan listrik itu akan diperoleh US$ 300 juta per tahun pada harga listrik US$ 8 sen per kilowatt-jam (kWh).

Menurut Kalla, aktivitas smelter bisa dihentikan dulu untuk perbaikan modernisasi selama tiga tahun. Dalam periode itu, gaji pegawai tetap dibayarkan. Kalla menilai pabrik Inalum telah 30 tahun beroperasi sehingga perlu modernisasi alat dan teknologi. "Kalau tidak, mana bisa menang bersaing dengan Rusia?"

Menurut Kalla, beragam keuntungan bisa didapat dengan menguasai Inalum. PLN bisa berhemat karena tidak perlu menghidupkan diesel dalam memenuhi pasokan listrik di Sumatera Utara. Inalum tetap memiliki pendapatan dari penjualan listrik. "Untuk sementara, Inalum jadi tukang jahit saja," katanya. "Kalau ada kontrak, beli aluminium dari Rusia."

n n n

KEBUTUHAN aluminium nasional sangat tinggi dan terus tumbuh. Berdasarkan kajian tahun lalu, Bambang memperkirakan konsumsi dalam negeri sebesar 800 ribu ton setahun, dengan pertumbuhan 10-12 persen. Pada 2025, diprediksi permintaan aluminium untuk industri mencapai 2,7 juta ton.

Ia menyebutkan empat sektor yang paling banyak "memakan" aluminium, yakni transportasi untuk industri otomotif dan properti untuk kusen atau frame kaca bangunan tinggi. Juga untuk peralatan rumah tangga, seperti panci, serta industri kabel, yang belakangan mulai mengganti tembaga dengan aluminium karena lebih ringan dan lebih murah. Tahun ini saja kebutuhan aluminium untuk industri kabel sekitar 150 ribu ton. Dari pabrik Inalum cuma dihasilkan 250 ribu ton per tahun.

Padahal cadangan bauksit nasional masih cukup besar. Berdasarkan data Badan Geologi pada 2012, cadangan terbukti atau terukur sebesar 432 juta ton dengan sumber daya mencapai 971 juta ton. Dari sisi cadangan, Indonesia termasuk 15 besar dunia. Negeri ini juga tercatat sebagai salah satu eksportir bijih bauksit terbesar dunia. Pada 2011, ekspor bijih bauksit Indonesia sebesar 40 juta ton dan pada 2012 sebanyak 30 juta ton.

Jika bauksit mentah itu diolah, bisa dihasilkan alumina separuhnya, yakni 15 juta ton. Alumina inilah yang kemudian diolah menjadi aluminium. Dari 15 juta ton alumina bisa dihasilkan 7,5 juta ton aluminium. Ironis, saban bulan Inalum harus mendatangkan 500 ribu ton alumina dari Australia untuk memproduksi 250 ribu ton aluminium. "Karena tidak ada smelter alumina," Bambang menambahkan.

Belakangan, investor besar ramai-ramai terjun ke bisnis smelter. Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat lebih dari 150 permohonan izin membangun smelter. Ini adalah buntut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batu bara. Ditambah lagi aturan soal kewajiban perusahaan pertambangan komoditas tertentu mengolah dan memurnikan produk tambangnya di dalam negeri. Peningkatan nilai tambah itu mesti diterapkan paling lambat pada 2014.

Menurut Bambang, industri hulu-hilir aluminium memang harus didukung. Nilai strategis ini pula yang membuat pemerintah Indonesia ngotot mengambil alih Inalum. Menteri Keuangan Chatib Basri meyakinkan Inalum akan menumbuhkan industri aluminium domestik, yang terus berkembang. "Ini bukan persoalan jual-beli biasa. Kalau Indonesia tidak mau ambil alih, Jepang mati-matian mau memperpanjang."

Indikasinya ada. Pemerintah Negeri Sakura berniat menempuh perundingan pengambilalihan melalui jalur arbitrase. "Kelihatan sekali sampai mereka mau melihat opsi arbitrase. Berarti sungguh-sungguh melihat ini sebagai sesuatu yang menguntungkan," kata Chatib. Salah satunya sektor otomotif Jepang, yang sangat membutuhkan aluminium yang dihasilkan pabrik Inalum.

Kementerian Perindustrian telah menyusun peta jalan (roadmap). Ke depan kapasitas pabrik Inalum akan dikembangkan dari 250 ribu menjadi 320 ribu ton, kemudian 400 ribu ton. Bahan baku jelas tak jadi soal. Bauksit melimpah. Masalahnya adalah infrastruktur energi. Smelter alumina sangat boros listrik. Kebutuhan listrik untuk membuat 1 ton aluminium empat kali lipat dibanding konsumsi listrik untuk menghasilkan 1 ton baja. "Karakteristik aluminium memang begitu."

Bambang mengusulkan Inalum juga harus mendiversifikasi produk yang saat ini berkualitas 99,9 persen. Sebab, industri otomotif, kabel, dan perangkat rumah tangga memerlukan aluminium dengan spesifikasi lain. Konsumsi aluminium sektor otomotif diperkirakan signifikan. Saat ini satu unit sepeda motor menganĀ­dung 28 kilogram aluminium, termasuk velg. Sedangkan satu unit mobil menggunakan unsur aluminium sebanyak 100-150 kilogram. Angka itu akan meningkat seiring dengan rencana pabrikan mengaluminiumkan tubuh kendaraan.

Perkembangan industri hilir itulah yang membuat Bambang mendorong pemerintah bertekad mengambil alih Inalum. "Kita perlu Inalum II, Inalum III, dan seterusnya."

Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus