Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPUA seperti tidak bisa pergi dari alam pikiran Bambang Darmono. Meski masa tugasnya sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) berakhir lima tahun lalu—sekaligus pembubaran badan itu—dia masih sering ke Timika dan Jayapura, menemani istrinya yang memberikan pelatihan pendidikan politik lewat Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies.
Kabar seputar Bumi Cenderawasih pun tak putus menghampiri Bambang, 67 tahun. Pada 5 September lalu, jenderal purnawirawan bintang tiga itu mendapat pesan yang mengatas-namakan Purom Okiman Wenda, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Isinya meminta warga pendatang meninggalkan Papua. Jika tidak, mereka akan dieksekusi.
Bambang berkeyakinan, jika dia mendapat kabar itu, aparat keamanan pun seharusnya tahu dan mengantisipasi kemungkinan terburuk. Nahas, kerusuhan pecah di Wamena pada 23 September lalu, menewaskan 32 orang dan membuat sekitar 5.000 lainnya terusir dari rumah mereka di ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu. “Kalau bukti itu ada tapi pemerintah tidak melakukan antisipasi, itu bentuk pengabaian,” kata Bambang dalam wawancara khusus dengan Tempo.
Bambang mengatakan akar masalah konflik Papua adalah soal status politik. Berdasarkan pengalamannya mendatangi dan berdialog dengan 200 suku di Papua, dia mendapati kebanyakan warga Papua merasa bukan bagian dari Indonesia. “Masalah rasisme itu hanya trigger,” ujarnya.
Selasa petang, 1 Oktober lalu, Bambang menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Aisha Shaidra, di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Selama lebih dari tiga jam dia tak henti berbicara tentang Papua. Dia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap pemerintah, baik era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Presiden Joko Widodo, yang ia anggap tidak serius menangani Papua.
Apa akar masalah konflik Papua?
Soal status politik. Itu yang selalu disampaikan setiap orang di Papua. Hal itu saya dapati sejak awal masuk ke Papua pada 2010 dan selalu menjadi isu keras di sana. Saya juga membaca buku beken yang ditulis Pendeta Socrates Sofyan Yoman yang memprovokasi masyarakat Papua dengan mengatakan Papua bukan bagian dari Indonesia, proses kooptasi Papua ke Indonesia sebagai pemaksaan dan bagian dari kepentingan Amerika Serikat. Jadi yang harus dijalankan lebih dulu adalah meluruskan sejarah.
Seperti apa sejarah integrasi Papua ke Indonesia?
Kalau membicarakan Papua, kita harus tahu soal ini. Menurut orang Papua, mereka sudah dimerdekakan oleh Belanda pada 1 Desember 1961. Lalu Bung Karno mengeluarkan Trikora pada 19 Desember 1961. Bagi orang Papua, ini menghantam kemerdekaan mereka. Berdasarkan Perjanjian New York 1962, Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian membentuk Otoritas Eksekutif Sementara (UNTEA), yang menerima penyerahan Irian Barat dari Belanda dan menyerahkannya ke Indonesia pada 1963. Hal itu diperkuat dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 2 Agustus 1969.
Banyak pihak menyangsikan hasil Pepera karena diambil dari 1.025 orang yang diseleksi tentara Indonesia, bukan pemungutan suara rakyat....
Mereka boleh saja bilang itu kecurangan, tapi saya sudah baca semua resolusi PBB terkait dengan Perjanjian New York. Tidak disebutkan one man, one vote. Kata-katanya adalah consultation. Sekarang saja kita tidak bisa melakukan one man, one vote di sejumlah daerah di Pegunungan Tengah, apalagi zaman dulu. Itu omong kosong.
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat tidak berupaya meluruskan sejarah itu?
Pada 1 Februari 2012, Pak Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) mengundang sejumlah pendeta Papua ke Istana. Pagi hari sebelum pertemuan, saya dipanggil Presiden. Dia bilang, “Bang, udahlah. Soal sejarah jangan diotak-atik. Itu kan sudah usai.” Saya tidak tahu kenapa Presiden mengatakan itu.
Seberapa besar pengaruh isu rasisme terhadap konflik Papua?
Soal rasisme itu trigger saja. Ada yang menggerakkannya. Ucapan Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) bahwa Benny Wenda dalang di balik kerusuhan Papua dan Papua Barat itu terlambat. Sejak dulu saya sudah bicara soal ini. Satu-satunya peluang menginternasionalkan persoalan Papua adalah isu hak asasi manusia. Mulai diangkat di PBB pada 2018. Masak, kita tidak memiliki kepedulian terhadap hal-hal seperti ini?
(Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuding Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat [ULMWP] Benny Wenda terlibat dalam sejumlah kerusuhan di Papua dan Papua Barat lewat cara diplomatik dan penyebaran informasi keliru. Moeldoko menyampaikan hal itu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 2 September 2019.)
Siapa saja yang Anda curigai sebagai aktor?
Ada dua instrumen yang bermain. Di dalam ada Komite Nasional Papua Barat dan di luar ada United Liberation Movement for West Papua. Gerakan itu menyatu karena faktor politik, yaitu persamaan kepentingan. Enggak mungkin tidak ada informasi yang mengalir di antara mereka. Pada 5 September lalu, saya mendapat pernyataan sikap yang mengatasnamakan Purom Okiman Wenda, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka. Intinya, mereka meminta warga pendatang meninggalkan Papua. Jika tidak, mereka akan menembak. Purom itu saudara Benny, meski bukan saudara kandung.
Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Letnan Jenderal Purnawirawan Bambang Darmono, di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 3 Maret 2014. TEMPO/STR/Seto Wardhana
Bisa saja itu hoaks.
Bisa jadi. Tapi, hoaks atau bukan, harus disikapi secara profesional, dong. Ini mengancam jiwa manusia. Dari surat itu kita juga bisa melihat indikasi kebencian dan ancaman untuk mengusir pendatang, seperti yang kemudian terjadi di Wamena. Kalau bukti itu ada tapi pemerintah tidak melakukan antisipasi, itu bentuk pengabaian. Negara tidak hadir di Papua.
Bukankah tuntutan Benny Wenda adalah referendum?
Mau dia minta referendum sampai berbuih-buih, internasional kagak ada yang dengerin. Legalitas apa yang dipakai? Bagi saya, Pepera 1969 adalah babak akhir proses dekolonisasi Indonesia dari Belanda, yang seharusnya selesai pada 17 Agustus 1945. Secara hukum, prinsip uti possidetis juris menjelaskan negara yang merdeka dari suatu kolonialisme akan mewarisi batas wilayah negara itu. Indonesia dulu disebut Hindia Belanda, yang jelas petanya. Kalau ada orang Papua menolak, itu yang membuat gambar bukan orang Indonesia, orang Belanda, konstitusi Belanda 1921 mengatakan wilayah teritorial Belanda terdiri atas wilayah Kerajaan Belanda di Eropa ditambah Hindia Belanda, Suriname, dan sejumlah pulau di Karibia. Artinya, secara hukum internasional, yang mewarisi Hindia Belanda adalah Indonesia. Maka mereka mencoba masuk lewat isu hak asasi manusia. Ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan menjadi tragedi kemanusiaan, intervensi internasional tidak bisa ditahan.
Gerakan perlawanan itu bertemu dengan kesenjangan di masyarakat.
Saya melihat gap terlalu besar. Pendatang masuk ke Papua dengan kemampuan kerja, sementara kita harus akui saudara-saudara Papua kita tidak memiliki kemampuan itu. Orang di sebagian besar wilayah Indonesia adalah orang yang mengelola alam, sementara orang Papua mayoritas masih bergantung pada alam. Mereka biasa bangun tidur, menombak ikan di sungai, makan. Sekarang sungai menjadi keruh karena dieksploitasi. Marah, dong, mereka. Mereka punya filosofi “tanah adalah ibu dan sungai air susu ibu”. Maka mereka memelihara alam baik-baik. Jakarta harus punya pemahaman seperti itu. Kalau tidak, membangun seribu infrastruktur pun tidak akan berguna.
Termasuk membangun Jalan Trans Papua?
Sewaktu ke Papua, saya termasuk orang yang menutup mata melihat jalan itu. Yang perlu dibangun adalah jalan di pegunungan. Kita bisa mencontoh Selandia Baru. Di sana tidak ada highway, cuma jalan-jalan antarkota yang sempit. Bagus untuk dicontoh di Papua karena penduduknya sama-sama sedikit.
Mengapa harus jalan kecil?
Karena itu yang dibutuhkan. Misalnya di Pegunungan Jayawijaya yang sekarang menjadi 13 kabupaten, Puncak Jaya, Oksibil, Yahukimo, Nduga, dan lain-lain. Ibu kota-ibu kota kabupaten itu menjadi sentra ekonomi baru. Harus dihubungkan, dong. Maka UP4B membangun jalan untuk menghubungkannya. Tidak usah besar-besar. Cukup pengerasan jalan tanah. Saya meminta bantuan pasukan zeni Angkatan Darat dan melibatkan warga setempat. Makanya waktu itu fine-fine saja. Saat kami selesai pada 2014, sudah hampir semuanya terhubung. Yang belum hanya Nduga karena terhambat ketiadaan jembatan di titik yang kemarin menjadi malapetaka itu (pembunuhan 19 pekerja pembangunan jembatan, bagian dari Trans Papua, di Nduga, Ahad, 2 Desember 2018).
Bukankah jalan nasional bisa mendorong ekonomi lebih cepat?
Siapa yang mau lewat? Ujung-ujungnya, orang Papua akan mengatakan jalan dibuat untuk mencuri hasil alam mereka. Isu lain yang bakal muncul adalah jalan untuk mobilisasi pasukan. Jakarta selalu membuat apa yang Jakarta mau, bukan apa yang Papua mau.
Presiden Jokowi menang telak di Papua dan Papua Barat dalam dua kali pemilihan. Bisakah faktor keterpilihan itu menjadi modal meredakan konflik?
Mau menang berapa pun suara, tidak ada hubungannya. Dia tidak akan didengar. Rakyat suka dia. Tapi, kalau untuk mendengar imbauannya, tidak. Pemilihan umum tidak lepas dari dorongan para elite. Di wilayah yang masyarakatnya sangat bergantung pada pemimpin, omongan pemimpin itu yang menjadi penentu. Tapi ada faktor kedua yang lebih menentukan kemenangan Jokowi di Papua, yaitu rakyat Papua tidak suka Prabowo. Saat Jokowi pertama kali berkampanye di sana pada 2014, saya sampaikan ke beliau, sudah memegang 70 persen suara karena orang Papua tidak suka Prabowo.
Karena latar belakang militer Prabowo Subianto?
Logikanya begitu. Prabowo lama di Papua. Setelah tidak menjadi tentara, dia tidak ke sana lagi. Ada masalah-masalahlah, ya. Saya tidak mau masuk ruang itu. Saya hanya menyampaikan ke Pak Jokowi, “Kalau sudah terpilih, tolong pahami orang Papua.”
Sekarang Jokowi memahami Papua?
Secara pribadi, ya. Tapi, dari aspek kebijakan, ada yang tidak menyentuh persoalan. Sebab, Pak Jokowi hanya melihat persoalan dari aspek ekonomi. Dia mau membangun ini, membangun itu. Belakangan mau mendatangkan investor Cina. Buat orang Papua, bukan itu yang mereka maui, tapi soal status politik.
Bagaimana dengan kebijakan bahan bakar satu harga?
Salah satu masalah terbesar di Papua adalah bahan bakar yang mahal. Waktu saya di sana, Premium Rp 75 ribu per liter. Kalau mendung menggelayut sepekan, bisa menjadi Rp 100 ribu. Maka, ketika Presiden Jokowi menerapkan kebijakan bahan bakar minyak satu harga, saya sangat mengapresiasi.
Apakah pemerintah sebelumnya memiliki pemahaman lebih baik soal Papua?
Kebijakan Pak Yudhoyono lebih baik daripada Pak Jokowi. Pak Yudhoyono punya konsep yang jelas untuk menangani akar masalah Papua. Dia mencoba lewat Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, meski gagal. Istilahnya New Deal Policy for Papua. Intinya, pembangunan terintegrasi. Menghilangkan pendekatan keamanan, masuk ke pendekatan kesejahteraan. Tapi yang dimaui orang Papua bukan itu. Mereka mau penyelesaian soal politik tersebut, baru bicara soal-soal lain.
Bentuk konsep jelas itu seperti apa?
Setelah beliau terpilih kembali pada 2009, evaluasi menyatakan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tidak berjalan karena tidak dilakukan pengawasan dan pengendalian. Alasannya baru saya dapati setelah saya di Papua. Orang Jakarta datang cuma sampai hotel di Jayapura atau Manokwari, panggil kepala-kepala dinas, minta laporan, selesai. Kenyataannya, tidak ada yang selesai. Pak Yudhoyono lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat serta Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kami betul-betul di lapangan. Berdasarkan kegagalan sebelumnya, saya tidak pernah mengandalkan data dari pusat. Di Papua, angka-angka itu omong kosong. Kami bergerak berdasarkan realitas.
Orang Papua sangat vokal. Kalau mereka bicara, saya dengarkan saja. Saya persilakan semua bicara. Kalau sudah selesai, saya bertanya, “Apakah saya perlu menjawab?” Kalau mereka bilang tidak, saya sudahi. Dari 252 suku, saya sudah menemui sebagian besar. Dari situ saya mendapati bahwa akar masalahnya adalah orang Papua merasa bukan bagian dari Indonesia.
Anda bekerja mulai 2012?
Ya. Peraturan presiden baru keluar akhir 2011. Kami menjalankan dua pendekatan secara simultan: sosial-politik-budaya dan ekonomi. Pendekatan sosial, politik, dan budaya dijalankan dengan menjalin komunikasi konstruktif untuk menemukan akar masalah di Papua. Hampir setiap pekan saya menemui suku-suku di pelosok Papua. Orang Papua sangat vokal. Kalau mereka bicara, saya dengarkan saja. Saya persilakan semua bicara. Kalau sudah selesai, saya bertanya, “Apakah saya perlu menjawab?” Kalau mereka bilang tidak, saya sudahi. Dari 252 suku, saya sudah menemui sebagian besar. Dari situ saya mendapati bahwa akar masalahnya adalah orang Papua merasa bukan bagian dari Indonesia.
Mengapa Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat tidak dilanjutkan?
Pak Yudhoyono berpesan, UP4B berakhir di masa jabatannya. Di situ saya melihat dia setengah hati, meski benar secara konseptual. Kalau merasa unit ini bagus, tidak perlu dihentikan, biar nanti menjadi tanggung jawab presiden selanjutnya.
(Andi Widjajanto, Sekretaris Kabinet pada 2014-2015, mengatakan pemerintah tidak memperpanjang masa tugas UP4B karena tidak menginginkan unit ad hoc. Fungsi UP4B diintegrasikan ke kementerian dan lembaga.)
Anda pernah menyarankan pembentukan kementerian yang mengurusi Papua. Apa dasarnya?
Kenapa UP4B bisa memahami soal Papua? Karena fokus. Mengurus Papua membutuhkan fokus sehingga bisa menemukan titik dan format yang tepat. Kalau sekarang, saya harus katakan pemerintah mengurusnya secara sambilan. Selama tiga tahun di Papua, saya tidak ada pikiran selain Papua. Cuma sesekali nonton siaran langsung Manchester United, he-he-he....
Tidak menonton Persipura Jayapura?
He-he-he.... Nonton Persipura itu wajib bagi setiap orang di Papua. Saya nonton juga, walaupun tidak begitu suka, lebih untuk memberikan empati.
Mengurus Papua tidak cukup lewat unit seperti UP4B?
Sulit berkoordinasi dengan para menteri.
Apa saran Anda untuk menyelesaikan konflik di Papua?
Setiap kali bicara soal Papua, tolong pahami perbedaan cara berpikir bahwa mereka masih bergantung pada alam. Kita harus masuk ke cara berpikir mereka. Lalu pahami sejarah orang Papua yang tidak mengakui masuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketimpangan sejarah itu harus diluruskan, baru bisa bicara soal pembangunan. Pembangunan Papua yang bagus adalah yang membuka akses terhadap hak asasi manusia. Ketika saya bicara HAM, jangan berpikir soal dar-der-dor, tapi hak yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Jangan sekadar membuat sesuatu tapi tidak membuka akses hidup bagi masyarakat Papua. Membangun Papua jangan disamakan dengan membangun Jakarta. Saya kecewa melihat mal dibangun di Papua. Yang datang hanya warga pendatang. Akhirnya membuat gap makin kokoh.
Tempat dan tanggal lahir: Blitar, Jawa Timur, 4 Mei 1952
Pangkat: Letnan Jenderal Purnawirawan
Pendidikan, di antaranya: Akademi Angkatan Bersenjata (1974), Sekolah Komando Angkatan Darat (1991), Joint Service Staff College, Australia (1997), Hukum Hak Asasi Manusia dan Humaniter Internasional, San Remo, Italia (1999)
Karier, di antaranya: Panglima Komando Operasi Militer Aceh (2003-2004), Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (2008-2010), Kepala UP4B (2011-2014)
Penghargaan, di antaranya: Bintang Mahaputra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo