Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTA Sarajevo jauh dari bayang-bayang muram pemberitaan semasa perang 1992-1995. Ibu kota Bosnia-Herzegovina itu kini ramai, berdenyut, dan indah. Selain itu, karena sejarahnya yang panjang, hampir setiap tempat di kota tersebut punya cerita.
Pilih satu jalan, katakan Obala Kulina Bana yang merentang di sisi utara Sungai Miljacka di sepanjang area kota tua. Mula-mula di sana kita akan menjumpai Vijecnica, gedung balai kota yang dibangun pada 1896 menjelang akhir pendudukan kerajaan Austria-Hungaria di Bosnia-Herzegovina. Meski terinspirasi arsitektur Moor yang berkembang saat Islam menguasai Semenanjung Iberia—seperti Alhambra di Granada, Spanyol—interior gedung itu ternyata dihiasi pula oleh corak Ortodoks, Katolik, dan Yahudi, misalnya bintang David pada tegel di tengah lantai dasar.
“Berbaurnya arsitektur dari berbagai kultur dan agama membuktikan bahwa kami selama ini hidup bersama, bukan sekadar berdampingan,” kata Ensar Eminovic, anggota staf ahli Wali Kota Sarajevo, tatkala mengantar saya dan beberapa teman dari Jakarta melihat-lihat pada akhir Februari lalu. Gedung yang juga dimanfaatkan sebagai perpustakaan nasional itu rusak parah saat perang dan baru selesai dipugar pada 2014.
Vijecnica punya kaitan penting dengan Perang Dunia I. Di gedung inilah Putra Mahkota Austria-Hungaria, Pangeran Franz Ferdinand, dan istrinya, Putri Sophie, dijamu makan malam sebelum tewas. Ruangan tempat mereka beristirahat sebelum meninggalkan gedung masih awet di lantai dua.
Seratusan meter dari sana, searah dengan aliran Miljacka, terdapat Latinska Cuprija, jembatan tempat Franz Ferdinand dan istrinya ditembak oleh Gavrilo Princip pada 28 Juni 1914. Seperti dalam pelajaran sejarah dunia, seusai pembunuhan itu Austria meminta bantuan Jerman untuk menyerang Serbia, yang didukung Rusia. Pada Agustus tahun itu, Perang Dunia I pecah.
Belok kanan dari Latinska Cuprija, di pojok Jalan Zelenih Beret, berdiri museum yang merekam sejarah kota selama 1878-1918. Melewati museum itu, beberapa puluh meter ke belakang, kita akan sampai di Bascarsija, pasar tua maskot Sarajevo yang didirikan pada abad ke-15 era Ottoman.
Dulu Bascarsija merupakan pusat perdagangan. Pedagang berkumpul di jalan-jalan sesuai dengan namanya. Ada jalan pembuat kancing (Kazazi), pandai besi (Kovaci), perhiasan (Kujundziluk), dan perajin kulit (Saraci). Sekarang tempat itu berubah menjadi area pelesiran dengan toko kerajinan dan suvenir serta kafe berbaris mengisi jalanan sempit. Persis di tengah pasar, tempat para pengunjung biasa berkumpul, berdiri Sebilj, pancuran air dari kayu. Menurut mitos, siapa pun yang minum di situ pasti akan datang lagi ke Sarajevo.
Tentu saja, seperti bekas luka yang menghitam di kulit, jejak perang saudara belum hilang. Bangunan rusak atau terbakar, rumah dengan tembok penuh bekas peluru dan mortir, pabrik tua yang telantar ditutupi ilalang tinggi, hingga pekuburan massal tersebar di beberapa bagian kota, seolah-olah sengaja dibiarkan untuk peringatan.
Banyak pula memorial dan museum dibangun dan kini menjadi atraksi wisata perang yang digemari turis. Sekitar satu setengah kilometer di selatan Bascarsija, di Taman Veliki, terdapat prasasti yang mencatat 521 nama anak korban perang. Dekat dari situ, kita bisa melihat Holiday Inn, yang telah berganti nama menjadi Hotel Holiday, tempat inap wartawan peliput perang. Warnanya masih tetap kuning.
Kita juga bisa tiba-tiba menemukan tanda seperti percikan darah berwarna merah di tengah jalan. Orang Sarajevo menyebutnya Sarajevske ruze atau mawar Sarajevo. Polanya menandai permukaan yang bolong terkena mortir yang kemudian digenangi darah korban. Sekitar 120 ribu mortir jatuh di Sarajevo selama perang saudara.
LIMA hari kami berkeliling dari kota ke kota hingga Sarajevo, terlihat jelas negeri itu amat religius. Tapi, pada saat yang sama, mereka sangat sekuler dan toleran.
Apalagi di Sarajevo. Bar, klub malam, dan kafe berserakan. Toko-toko kelontong bebas menjual minum beralkohol, dari bir sampai wiski. Spa dan tempat pijat menjamur. Malam sebelum kembali ke Jakarta, pundak saya sempat diurut di Herbal Spa, rumah spa dan pijat milik pengusaha Kuwait di kota itu.
Karena itu, rasanya sangat absurd membayangkan pertikaian etnis pernah terjadi di sana. Selain orang-orangnya, sejarah dan bangunannya jelas memperlihatkan kultur multietnis yang amat kuat. Barangkali Sarajevo satu-satunya di dunia yang memiliki empat rumah ibadah utama dari empat agama dalam satu kompleks.
Di kota tua, masjid utama Gazi Husrev-beg, yang dibangun pada abad ke-16, berdekatan dengan Katedral Katolik Hati Suci Yesus peninggalan era Austria-Hungaria; dengan Ka-tedral Ortodoks Hari Kelahiran Maria Bunda Yesus, yang merupakan gereja pertama di Sarajevo; dan dengan sinagoge Ashkenazi, satu-satunya rumah ibadah umat Yahudi yang masih aktif di kota itu.
Namun turis seperti saya sering kali sulit menangkap yang sebenarnya. Beberapa penelitian dan ulasan media menyatakan ketegangan etnis justru meningkat seusai perang. Bukannya menyatukan, kesepakatan Dayton yang membagi-bagi negeri itu atas wilayah-wilayah etnis dipandang malah melanggengkan segregasi.
Saya bertemu dengan seorang penjual cendera mata sekaligus pemandu wisata dengan tarif sukarela saat berjalan-jalan di Bascarsija. Usianya 60-an tahun, berdirinya tidak rata, dan kalau melangkah agak pincang. Menurut dia, tulang pantat kanannya tertembak saat perang.
Dia berusaha meyakinkan saya bahwa mereka menyimpan sebanyak mungkin kenangan perang agar tragedi serupa tak berulang. “Kami seperti orang serumpun yang terobsesi satu sama lain, bukan karena persamaannya, tapi atas hal-hal yang membedakan. Padahal kami sama saja. Coba lihat, bisakah Anda membedakan mana yang Bosniak, Serbia, Kroat?” ujarnya.
Gedung dengan bekas peluru di Sarajevo. TEMPO/Philipus Parera
Memang. Dengan mata telanjang, tampang orang Bosnia-Herzegovina sama saja: putih, besar, tinggi—laki-lakinya rata-rata 180-190 sentimeter. Bahkan Amir Dzedic, wartawan stasiun televisi pemerintah yang mengantar kami, tingginya 207 cm. Mustahil membedakan etnis mereka. Tidak seperti orang Indonesia yang dengan mudah dapat dipilah mana Jawa, Flores, Papua, dan Bali hanya dari warna kulit, bentuk rambut, perawakan, dan hidung.
Di dalam mobil, ketika menuju hotel, saya bertanya kepada Amir apakah dia bisa membedakan orang Bos-niak, Serbia, dan Kroat dari jauh. Dia menggeleng.
BEBERAPA jam sebelum meninggalkan Bosnia-Herzegovina, saya mengunjungi Monumen ICAR di pojok sebuah taman kecil tak terawat di dekat Museum Sejarah Bosnia-Herzegovina di tengah Kota Sarajevo. Pada batu pualam setinggi satu meter yang menjadi tatakannya tertera kata-kata dalam bahasa setempat. Artinya: “Sebuah Monumen untuk Masyarakat Internasional”, lalu di bawahnya, “Ucapan Terima Kasih dari Penduduk Sarajevo”.
Dibuat oleh seniman lokal, Nebojsa Seric Shoba, monumen itu merupakan replika daging sapi kaleng ICAR yang digelontorkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk warga Kota Sarajevo selama perang. Cat keemasannya sudah mengelupas. Penuh coretan sana-sini. Meski demikian, tulisan berwarna biru di sekelilingnya masih terbaca jelas, di antaranya: “Best Before Date Printed on the Bottom”.
Mereka yang mengenal sejarah Perang Bosnia tahu betul ransum berlabel “bantuan kemanusiaan” itu sudah puluhan tahun kedaluwarsa. Ada yang bahkan diproduksi sejak masa Perang Vietnam. Sebagian berisi daging babi, padahal penduduk Sarajevo mayoritas muslim.
Saya tidak tahu apakah ini sekadar olok-olok atau tanda pemberian maaf yang jenaka. Makna simbol semacam ini bisa sangat personal. Barangkali penjual cendera mata di Bascarsija benar, monumen perang mereka dirikan pertama-tama bukan untuk para pelancong, tapi buat mereka sendiri: semacam peringatan, sekaligus pernyataan, bahwa mereka tahu bagaimana membuat hari esok yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo