Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Karkono Partokusumo: "Soeharto Tidak Bisa Menerapkan Filsafat Jawa"

ADA catatan sejarah yang sekilas tampak kontradiktif dengan predikat Haji Karkono Partokusumo, 85 tahun, yang dianggap sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan RI. Dia pernah menyelundupkan opium pada zaman perang kemerdekaan. Opium adalah barang yang haram diperdagangkan bebas. Toh, Karkono justru dinilai berjasa karena memperdagangkan opium. Maklum, penyelundupan opium itu untuk menggalang dana perjuangan kemerdekaan. Kebenaran hukum tampaknya terpiuh oleh ruang dan waktu.


25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah mirip mafia itu hanyalah salah satu warna dari perjalanan panjang lelaki kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 23 November 1915, ini. Ia hidup di lima zaman: prakemerdekaan (Belanda), Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Lebih banyak belajar secara otodidak, Karkono dikenal sebagai tokoh kebudayaan Jawa dan seniman. Ia juga sempat menjadi wartawan. Selain itu, bidang ekonomi dan politik pun dimasukinya. Latar pendidikannya sendiri biasa-biasa saja: Neutrale Holands Inlandse Jongensschool Solo (1931), Gouvernements MULO Solo (1933), dan Taman Guru Taman Siswa Yogyakarta (1935).

Di panggung politik, ia pernah menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia Cabang Surakarta, pada 1946. Karena itu, ia pernah diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) Daerah Istimewa Yogyakarta (1951-1956), sekaligus Wakil Ketua Dewan Ekonomi Konsulat Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Konstituante Bandung. Tapi panggung politik terpaksa ditinggalkannya pada 1967, sebagai protes atas kebijakan politik Soeharto yang menekankan pembangunan bidang ekonomi.

Dalam dunia pers, Karkono pernah menjadi koresponden surat kabar Utusan Indonesia, koran Sedya Tama, dan majalah Penyebar Semangat—keduanya berbahasa Jawa. Ia juga pernah menjadi redaktur dan pemimpin redaksi beberapa media, antara lain Asia Raya, Jakarta. Tapi jalan Karkono di bidang ini berkelok. Ia, misalnya, pernah divonis penjara atau denda 100 gulden oleh Pengadilan Surakarta, pada 1936, karena tulisannya yang terlalu keras. Walau denda itu diberesi oleh media tempat ia bekerja, Sri Mangkunegara VII memintanya meninggalkan wilayah Mangkunegaran Solo.

Nama Karkono menjadi perhatian publik ketika ia bersama Slamet Djabarudi, wartawan Pelopor Yogya, menerbitkan buku Sum Kuning pada 1970. Buku yang mengungkap kasus pemerkosaan terhadap seorang gadis penjual telur itu, yang menyeret anak pejabat, dilarang pemerintah.

Dalam panggung kesenian, nama samarannya, Kamajaya, juga sempat berkibar. Ia pendiri teater keliling Dardanela. Sebagai dramawan, ia menulis sejumlah naskah drama dan lirik untuk ilustrasi musik. Ia pernah mengajar di kampus teater Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), Yogyakarta. Karya tulisnya—sekitar 41 buah—berupa buku, artikel, dan cerita fiksi, antara lain Kagunan Djawi, Solo di Waktu Malam, Saijah Adinda, dan Sum Kuning. Dua yang terakhir itu pernah difilmkan. Buku monumentalnya antara lain transliterasi Serat Centhini (filsafat budaya Jawa) dan Almanak Dewi Sri (ensiklopedia pengetahuan Jawa). Ada enam penghargaan seni yang diperolehnya. Salah satunya hadiah sastra Yayasan Kebudayaan "Rancage" Yogya pada 1950.

Sebagai ahli kebudayaan Jawa, Karkono pernah menjadi Ketua Yayasan Bahasa dan Kesusastraan Jawa di Yogya (1957-1958) dan tercatat sebagai salah satu pendiri Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan "Panunggalan"/Lembaga Javanologi Yogyakarta pada 1984. Lembaga itu bertujuan menggali unsur-unsur budaya Jawa yang masih relevan. Kini, di usia senjanya, Karkono masih aktif menulis buku. Wajahnya tampak masih segar meski penyakit parkinson yang menderanya sejak 5 tahun lalu membuat Karkono lebih sering tinggal di rumahnya yang tenang, di kawasan Umbulharjo, Yogya. Menikah dengan Sri Murtiningsih, Karkono memiliki seorang anak.

Wartawan TEMPO L.N. Idayanie mewawancarai Karkono panjang lebar dalam beberapa kesempatan, Juni lalu. Petikannya:


Anda lebih dikenal sebagai ahli kebudayaan Jawa. Padahal, bukankah dulu Anda aktif di bidang politik?

Sejak zaman Belanda, waktu itu masih berumur 17 tahun, saya sudah menjadi Ketua Indonesia Muda Cabang Surakarta. Saat berumur 21 tahun, saya masuk Partai Indonesia Raya (Parindra). Sampai Pak Harto berkuasa pun saya masih memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) di Yogya. Karena itu, saya diakui sebagai perintis kemerdekaan, sehingga walaupun saya bukan pegawai negeri, saya mendapatkan pensiun berupa tunjangan pemerintah.

Kenapa Anda mundur dari dunia politik?

Pada permulaan 1967, Pak Harto mengumumkan politiknya yang memprioritaskan masalah ekonomi. Sejak saat itu, saya tidak bisa lagi mengikutinya dan mengundurkan diri dari politik. Kalau prioritasnya ekonomi, yang akan menikmati kemerdekaan dan kekayaan hanya golongan atas, sehingga tidak akan ada golongan menengah. Ternyata benar juga, kan?

Kalau bukan ekonomi yang dijadikan prioritas, menurut Anda, apa yang harus dibenahi lebih dulu?

Politik dan ekonomi tidak bisa ditinggalkan, harus dilakukan bersama-sama. Kalau hanya ekonomi, nanti orang bisa mengorganisasi penyelundupan. Kan, sulit jadinya.

Bukankah Anda sendiri pernah menjadi penyelundup opium?

Ya, itu terjadi pada 1946. Waktu itu, pemerintah Indonesia—masih di Yogya—tidak punya duit untuk membiayai perjuangan. Pemerintah mengalami masa yang sulit sehingga sangat memerlukan uang untuk membiayai kedutaan-kedutaan di luar negeri. Pada waktu itu, Indonesia mulai mempunyai kedutaan di Inggris, India, Singapura, dan Bangkok, tapi tidak punya duit untuk membiayainya. Sementara itu, pemerintah mempunyai opium peninggalan Belanda. Jumlahnya 22 ton. Barang itulah yang kemudian diselundupkan ke Singapura.

Jadi, penyelundupan itu setahu pemerintah?

Ya. Pada waktu itu, saya menjadi anggota PNI barisan banteng. Atas restu pemerintah, saya, seorang pegawai negeri bernama Tonny Wen, dan Subeno, Kepala Kantor Candu di Yogya, ditunjuk menyelundupkan candu tersebut. Tapi, risikonya, kalau ketahuan, tidak boleh membawa-bawa nama pemerintah Indonesia. Semua harus ditanggung sendiri. Itu pengalaman yang luar biasa.

Bagaimana pengalaman pertama Anda menjadi penyelundup?

Saya dan teman-teman berangkat dari Pantai Perigi, Kediri, dengan speedboat yang hanya berbobot 80 ton, membawa candu seberat 1,5 ton. Selain membawa candu, kami membawa gula. Dalam perjalanan laut itu, karena Selat Bali dijaga patroli Belanda, kami lewat Selat Lombok. Di Lautan Hindia, ternyata ada patroli Belanda. Kami mematikan semua lampu dan mesin speedboat, sehingga selama satu minggu kami hanya mengapung hingga sampai di Singapura. Kalau sampai ketahuan, kami bisa ditembak, habislah. Sesampai di Singapura, saya ditangkap karena paspor RI saya sudah tidak berlaku. Di sana, kami diterima oleh organisasi pedagang Cina yang bisa mengatur semuanya, sehingga akhirnya saya bisa dilepas dengan tebusan 50 dolar Singapura. Tapi, setelah itu, kami kayak burung di udara, menjadi orang bebas, yang kalau ditembak hilang tanpa nama.

Apa yang Anda lakukan setelah itu?

Teman yang dua itu tetap tinggal di Singapura dan saya kembali ke Indonesia untuk mengatur penyelundupan lebih lanjut dengan kapal terbang. Saya berusaha minta bantuan kedutaan, tapi tidak bisa karena usaha saya ilegal. Akhirnya, saya ditolong sekelompok marinir asal Manado. Mereka sanggup menyelundupkan saya ke Jakarta. Sesampai di Jakarta, saya kebingungan memikirkan cara agar bisa keluar dari pelabuhan dengan selamat.

Bagaimana akhirnya Anda bisa keluar dari pelabuhan?

Pada waktu itu, saya dititipi 50 pucuk surat rahasia dari kedutaan untuk pemerintah RI. Setelah satu hari bingung, saya mendapat ilham. Saya mencari koran bekas dari Singapura dan surat-surat itu saya masukkan ke dalam lipatan koran. Enggak tahu kenapa, ketika saya bersama seorang marinir melewati tentara Belanda yang berada di pelabuhan, saya sama sekali tidak diperiksa. Mungkin saya dikira marinir yang sedang berpakaian preman. Semua surat itu kemudian bisa saya sampaikan ke perwakilan RI di Jakarta.

Apakah penyelundupan yang Anda lakukan selalu menegangkan? Kabarnya, Anda pernah akan ditangkap di Bangkok?

Selama menjadi penyelundup, beberapa kali saya memang hampir terbunuh, tapi Tuhan belum mengizinkan. Tentang peristiwa di Bangkok, itu terjadi dalam sebuah perjalanan keluar dari Singapura. Suatu waktu, saya pernah harus melalui Bangkok. Sesampai saya di bandara, ada yang membisiki bahwa saya akan ditangkap aparat di Bangkok. Kemudian, saya tinggal beberapa hari di hotel hingga ada utusan dari Jakarta: seorang Inggris yang menetralisasi berita-berita yang menyatakan pemerintah Indonesia menyelundupkan candu. Waktu itu, saya sudah berencana melarikan diri ke Australia, tapi saya diminta pulang ke Indonesia. Akhirnya, saya menyewa kapal terbang dan turun di Bukittinggi.

Apa yang Anda dapatkan dari usaha yang mempertaruhkan nyawa itu?

Semua itu untuk membiayai perjuangan. Saya pulang ke Yogya melarat enggak punya apa-apa. Untuk usaha, saya cari sendiri. (Karkono sempat diangkat oleh Kementerian Keuangan RI menjadi staf Koordinasi Keuangan di Asia Tenggara yang berkedudukan di Singapura. Ia kembali ke Yogya pada 1949.)

Anda tidak pernah ditawari menjadi duta besar, misalnya?

Pada 1949, ketika RI kembali, semua pegawai kembali ke Jakarta. Waktu itu, saya juga akan dibawa ke Jakarta. Tapi saya tidak mau.

Kenapa?

Enggak ngerti, ya. Tapi saya punya perhitungan lain. Saya lebih suka tinggal di Yogya, walau sesungguhnya, kalau saya mau, saya bisa minta kedudukan apa saja. Saya tidak ingin begitu. Saya berjuang ini ikhlas, tidak mengharap imbalan.

Lalu, selama masa perjuangan itu, apa pengalaman yang paling mengesankan?

Yang amat mengesankan ya menyelundupkan candu itu tadi. Pengalaman politik? Menarik tapi tidak sampai toh nyowo (bertaruh nyawa). Contohnya peristiwa 1965. Ketika itu, saya mengetuai organisasi seniman di Yogya. Para seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI), meminta saya membuka sebuah acara menyangkut pembangunan gedung kebudayaan. Tapi saya tidak mau. Akhirnya, saya selamat. Kalau saya jadi membuka acara itu, mungkin saya "dijadikan" PKI.

Anda ini hidup dalam empat zaman dan punya banyak pengalaman menarik selama zaman perjuangan. Apa Anda juga punya pengalaman menarik dengan Soeharto?

Soeharto pernah menulis buku budaya Jawa. Dia mengumpulkan kata-kata sakti Jawa yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan Inggris. Buku itu dicetak puluhan ribu eksemplar. Suatu hari, saya menerima telepon dari Majalah TEMPO untuk dimintai kritik terhadap buku itu. Lalu, saya menyampaikan kritik saya. Buku itu tidak lengkap dan banyak salahnya, antara lain salah kutip, bahkan sumber-sumbernya tidak disebut. Rupanya, Soeharto marah dan memanggil Harmoko (Menteri Penerangan waktu itu).

Lalu, apa yang terjadi?

Setelah itu, suatu hari Harmoko memanggil saya di Solo.Saya berkata kepada Harmoko bahwa saya akan mengoreksi buku itu hingga hasilnya baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Saya juga minta agar Harmoko memberi tahu Pak Harto bahwa saya tidak akan minta honorarium. Meskipun saya ini melarat, saya tidak mau. Juga tidak usah diumumkan bahwa karya itu saya koreksi. Selesai dikoreksi, buku itu saya serahkan ke Harmoko. Tapi dia minta supaya saya memberikannya langsung ke Siti Hardijanti Rukmana, anak Soeharto.

Apa kesan Anda terhadap kejadian itu?

Bagi saya, itu pengalaman yang cukup mendebarkan. Bagaimana tidak? Pada masa itu, kalau kita menentang Soeharto, bisa repot. Tapi ternyata kemudian saya mendapat bantuan dana dari Soeharto untuk menerbitkan Serat Centhini. Dana berupa Bantuan Presiden itu sekitar Rp 50 juta. Saya menerjemahkan Serat Centhini itu selama 17 tahun dan menghabiskan dana Rp 130 juta.

Apa tujuan Anda melatinkan Centhini?

Bila Centhini masih dalam aksara Jawa, orang tidak akan membacanya. Jadi, transliterasi itu bertujuan agar ia dibaca orang. Lebih jauh maksudnya agar orang mengerti makna dari kebudayaan kita pada masa lalu. Kalau tidak mengerti yang kuno-kuno, bagaimana kita ini? Masa, kita tidak mengetahui akar sejarah kita? Jangan hanya ikut-ikutan mengadakan selamatan tanpa mengetahui makna atau filsafatnya.

Apa inti ajarannya?

Centhini meliputi segala hidup lahir-batin manusia Jawa pada waktu itu. Jadi, isinya macam-macam ajaran Jawa, termasuk hubungannya dengan Islam. Ada ajaran filsafat, agama, dan mistisisme. Juga tentang kekebalan. Segala macam kehidupan orang Jawa pada permulaan abad ke-19 digambarkan di situ. Jadi, intinya, buku itu memberikan keterangan bahwa dulu itu ada begini-begitu. Sekarang terserah kita, mana yang perlu diambil. Contohnya ajaran berpuasa atau bertapa dan membisu sembari berkeliling benteng keraton (misalnya Keraton Yogyakarta) pada malam satu Sura. Tradisi itu sekarang ini masih dilakukan orang. Itu sesungguhnya cara orang zaman dulu berkonsentrasi kepada Tuhan. Intinya sebetulnya pada konsentrasi itu, bukan keliling bentengnya.

Filsafat Jawa sering ditonjolkan ketika Soeharto berkuasa. Apa catatan Anda tentang hal itu?

Soeharto memang mengenal, tapi tidak bisa menerapkan filsafat Jawa. Kalau dia mengenal filfasat Jawa, tentunya juga mengenal katresnan atau kecintaan (kepada istri), kawelasan atau kesayangan (kepada anak), dan kawekasan yang ditujukan kepada Tuhan untuk mendapat jalan yang baik. Orang yang sudah uzur akan memikirkan kesempurnaan menjelang masuk ke alam baka. Kalau menyadari tiga hal itu, mestinya Soeharto kini berterus terang saja kepada pemerintah yang berkuasa. Ia sebaiknya mengaku dan menyerahkan sebagian kekayaannya kepada pemerintah.

Apakah, menurut Anda, Soeharto telah memanipulasi idiom-idiom Jawa?

Ya, memang bisa dikatakan begitu, meski tidak sepenuhnya. Ia Jawa tidak, Indonesia juga tidak. Dia hanya mengambil filsafatnya seperti "raja berkuasa tidak boleh dibantah." Dengan filsafat itu, dia menggunakan timnya untuk menyentralisasi kekuasaan Keluarga Cendana. Jadinya pemerintah mengarah pada diktator dengan baju Republik Indonesia. Budaya Jawa, dalam pandangan masyarakat umum, akhirnya menjadi agak merosot karena yang terlihat di permukaan adalah budaya pemerintah yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto. Pemerintah Presiden Soeharto itu dianggap sebagai pemerintah feodalis Jawa. Padahal, yang ditampilkan Soeharto sebenarnya bukan kebudayaan Jawa, melainkan orang-orang yang melakukan feodalisme Jawa. Pemerintah Jawa itu memang tidak ada yang demokrasi. Pemerintah Jawa adalah absolut monarki.

Jika begitu, apakah tidak ada sisi positif dari budaya Jawa yang bisa diterapkan dalam pemerintahan?

Ada yang bisa, misalnya ratu yang bersifat adil. Itu berarti, biarpun saudaranya sendiri, kalau punya kesalahan, tetap dihukum. Ada peribahasa yang mengatakan, kulitnya sendiri kalau cacat dibeset (dikelupas). Itu bahasa keadilan Jawa. Karena itu, saya heran dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang sudah menyatakan akan memberi maaf, padahal Soeharto belum minta maaf. Ia memang bukan Jawa. Mungkin itu gaya humanisme Gus Dur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum