Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Herd Immunity Sudah Tidak Relevan

Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, mengatakan sistem PPKM bertingkat dengan level 1-4 efektif mengendalikan laju penularan virus corona. Benarkah pandemi Covid-19 bisa dikendalikan pada Oktober atau November 2021.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ahli epidemiologi Iwan Ariawan dan tim FKM UI rutin diajak rapat oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Luhut Pandjaitan untuk membahas kebijakan penanganan pandemi Covid-19.

  • Menurut Iwan, hasil pemodelan menunjukkan pandemi bisa dikendalikan pada Oktober atau November dengan dua syarat, yaitu rasio tes-lacak dan tingkat vaksinasi tahap dua yang tinggi.

  • Iwan mengatakan target herd immunity semakin sulit tercapai dengan adanya varian delta.

SUDAH dua bulan ini Iwan Ariawan dan koleganya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) rutin mengikuti rapat virtual mingguan dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Agenda pertemuan setiap Jumat atau Sabtu itu mengevaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali. “Biasanya rapat internal dulu untuk mengetahui level PPKM. Begitu datanya ada, lantas dikomunikasikan ke semua bupati, wali kota, dan gubernur,” tutur Iwan, 56 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 12 Agustus lalu.

Sejak kembali diterapkan pada awal Juli lalu, PPKM darurat yang dilanjutkan dengan PPKM level 4 telah menunjukkan hasil positif. Tidak ada lagi rumah sakit rujukan Covid-19 dengan tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) di atas 80 persen. Dari data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 18 Agustus lalu, 30 provinsi mencatatkan BOR di bawah 60 persen. Meskipun angka kasus aktif Covid-19 yang terdeteksi masih tinggi, tidak terlihat lagi antrean pasien di instalasi gawat darurat rumah sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahli epidemiologi FKM UI itu mengatakan keputusan pemerintah memberlakukan kembali PPKM tidak lepas dari masukan para ahli. Tim epidemiolog UI, misalnya, telah memperingatkan potensi terjadinya lonjakan angka kasus Covid-19 yang terbaca sejak sebelum Lebaran. “Sebetulnya kami sudah memberikan warning waktu libur Idul Fitri, ‘Ini pergerakan dan kerumunannya mesti dicegah’,” kata anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 itu. 

Berbeda dengan model pembatasan sosial sebelumnya, PPKM kali ini mengadopsi sistem Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan memiliki indikator yang jelas. Menurut Iwan, PPKM akan terus diterapkan di setiap daerah dengan pemeringkatan yang berbeda bergantung pada keadaan di lapangan.

Dalam perbincangan melalui konferensi video dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, Iwan Ariawan menceritakan perubahan strategi pemerintah dalam menangani pandemi, kontroversi penghapusan data kematian, hingga proyeksi berakhirnya wabah dari hasil pemodelan. Iwan mengatakan pandemi tak mustahil dikendalikan asalkan laju vaksinasi tahap kedua serta rasio tes-lacak kontak erat telah memadai. Hanya, menurut dia, keinginan mencapai herd immunity (kekebalan komunal) semakin sulit tercapai dengan tingkat reinfeksi yang cukup tinggi karena varian delta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benarkah PPKM darurat efektif menekan angka penyebaran kasus Covid-19?

Dari pantauan terakhir memang di Jakarta kasusnya menurun jauh dibanding awal penerapan PPKM darurat, sebelum menjadi PPKM level 1-4. Angkanya turun karena kebanyakan kasus di Jakarta, sehingga Jawa-Bali juga turun. Yang menjadi catatan, saya sudah sampaikan juga ke Menko Marves (Luhut Pandjaitan) dan Menteri Kesehatan, yaitu luar Jawa-Bali trennya justru naik. Ini yang mesti hati-hati.

Sebelum ada kebijakan PPKM darurat, bagaimana Anda dan tim FKM UI meyakinkan pemerintah bahwa pembatasan sosial yang lebih ketat perlu segera diberlakukan?

Awalnya saat PSBB (pembatasan sosial berskala besar) tahun lalu. Kami ditantang para ekonom yang mengatakan apakah PSBB ada efeknya selain merusak ekonomi. Waktu itu kami melakukan analisis. Dari situ kelihatan, kalau dilakukan pembatasan mobilitas, saat itu namanya PSBB, kecepatan transmisinya turun. Itu pembuktian pertama yang kami lakukan. Sejak saat itu kami mengamati sepanjang 2020. Polanya sudah terlihat. Makanya, sebetulnya, kami sudah memberikan warning waktu libur Idul Fitri. Ini pergerakan dan kerumunannya mesti dicegah.

Bagaimana Anda mengetahui pola tersebut?

Universitas Indonesia bekerja sama dengan Facebook. Kami mendapatkan data pergerakan masyarakat dari Facebook's Data for Good. Datanya lebih lengkap daripada data yang gratis karena data yang kami terima sampelnya lebih besar. Kami bisa mengetahui pergerakan warga dari mana ke mana. Dari situ kami bisa melihat bahwa setiap ada pergerakan meningkat pesat, terutama menjelang liburan, dua minggu kemudian angka kasusnya naik.

Apa saja yang dianalisis dari data Facebook itu?

Dari analisis sampel pengguna Facebook, ketahuan posisi orang-orang di mana saja. Saya, misalnya, bisa mengetahui kenapa kasus Covid-19 di Bali naik. Kasus di Bali melonjak sejak ada anjuran work from Bali. Setelah ada anjuran itu, mobilitas naik, kasusnya naik. Waktu itu kami sudah mengingatkan, “Hati-hati kebijakan seperti ini, nanti kasusnya naik di Bali.” Dan terbukti. Untuk pembatasan mobilitas sebetulnya enggak bisa diberi waktu. Kalau diberi waktu, ya, orang-orang mudik duluan.

Bagaimana seharusnya?

Harus diumumkan sekarang dan besok berlaku. Seperti kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak). Jadi orang-orang enggak sempat menimbun.

Ketika Anda dan tim memperingatkan pemerintah soal potensi lonjakan angka kasus sebelum libur Lebaran itu, apakah  sudah ada usul soal PPKM darurat?

Ketika itu kami meminta segera diterapkan PPKM, PSBB, atau apa pun namanya, tapi enggak dilakukan. Juni masih tenang-tenang saja. Tiba-tiba Juli angka kasusnya naik. Itu sebetulnya sudah diprediksi. Pemerintah akhirnya menerapkan PPKM darurat, tapi sebetulnya sudah agak terlambat. PPKM darurat ada efeknya. Hanya, butuh waktu lebih lama untuk menurunkan angka kasus yang sudah tinggi itu.

Apakah pemodelan yang dilakukan tim FKM UI tidak memperhitungkan potensi penyebaran kasus di luar Jawa-Bali?

Kami memang fokusnya di Jawa-Bali karena datanya jauh lebih lengkap daripada data luar Jawa-Bali. Kami sudah meminta ke Kementerian Kesehatan untuk diberikan akses ke datanya NAR (New-all Record). Tapi proses administrasinya belum beres. Kami sampaikan ke Kementerian Kesehatan, kalau kami diberikan datanya, akan kami analisis per Jawa-Bali ataupun nanti per provinsi tertentu. Hasilnya kami kembalikan juga ke Kementerian Kesehatan untuk kebijakan mereka.

Sejak kapan Anda dan tim FKM UI memberikan masukan kepada pemerintah?

Kami mempunyai tim pandemi FKM UI. Di dalamnya ada Pak Pandu (Riono) dan Mas (Muhammad) Farid. Tim ini independen, bukan atas permintaan siapa pun. Kami melakukan pemodelan dan pemantauan sejak awal pandemi, Maret 2020. Kami atas inisiatif sendiri memantau kasus Covid setiap minggu. Awalnya sebagai academic exercise saja karena kami tertarik. Lalu hasilnya dipakai Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kantor Staf Presiden. Waktu itu kami dikontrak sebagai tim ahli yang memantau pandemi. Kemudian kami berikan juga hasil kajiannya ke kantor Gubernur DKI Jakarta, Kementerian Kesehatan, dan Kemenko Marves.

Apakah pemerintah menyerap hasil kajian tim epidemiolog dalam kebijakannya?

Dipakai. Itu juga salah satu yang dipakai Pak Luhut untuk roadmap penanganan pandemi di Jawa-Bali, termasuk penerapan PPKM dan soal vaksinasi mesti dinaikkan. Berdasarkan pemodelan, dugaannya sekitar Oktober atau November wabahnya bisa terkendali.

Dengan angka kasus positif yang masih tinggi, bagaimana pandemi dapat dikendalikan dalam dua-tiga bulan mendatang?

Pemodelan tergantung asumsinya. Terakhir yang kami coba uji paling tidak untuk Jawa-Bali ditargetkan terkendali pada akhir Oktober atau November tahun ini. Tapi itu bisa terjadi kalau rasio tracing-nya 1 : 15 dan cakupan vaksinasi dosis kedua 50 persen. Kalau itu enggak tercapai, ya, mundur lagi.

Apakah vaksinasi 50 persen dosis kedua memungkinkan dicapai dalam waktu dekat?

Menurut peta jalannya Kementerian Kesehatan, mungkin dilakukan. Tapi vaksinasi tantangannya banyak. Menurut Kementerian Kesehatan, tenaganya bisa disiapkan dan jumlahnya memadai. Tapi yang paling susah sebetulnya logistik karena semua vaksin impor dan berebutan dengan negara-negara lain.

Bagaimana dengan rasio tes-lacak?

Pak Luhut menargetkan akhir bulan ini bisa tercapai. Itu dipantau terus. Beliau menanyakan semua gubernur, pangdam (panglima komando daerah militer), kepala kepolisian resor, sudah berapa rasionya.

Berapa rasio tes-lacak di Indonesia saat ini?

Kalau dilihat di aplikasi Silacak belum ada perkembangan. Dari laporan gubernur dan pangdam ada yang mengatakan sudah 1 : 5 atau 1 : 6. Hanya tidak terdata di Silacak. Jadi kita enggak punya buktinya.

Apa sebenarnya kendala peningkatan angka testing dan tracing?

Dari segi tracing, kalau kasusnya sudah banyak seperti sekarang, memang lebih sulit karena banyak yang harus dilacak. Sebenarnya sejak dipimpin Pak Luhut tracing sangat diperhatikan. Saya sudah ngomong urusan tracing satu tahun lebih tapi enggak ada yang memperhatikan. Kita lihat saja rasio contact tracing di Indonesia 1 : 4 dari April 2020 sampai bulan lalu. Padahal seharusnya lebih tinggi dari itu.

Bukankah pemerintah sudah mengerahkan polisi dan bintara pembina desa untuk membantu pelacakan kontak erat?

Itu baru belakangan setelah dipimpin Pak Luhut. Artinya, dari segi sumber daya manusia sekarang sudah lumayan dipenuhi selain tenaga pusat kesehatan masyarakat dan dinas kesehatan. Masalah lain adalah pencatatannya. Kalau kita mau bilang rasio 1 : 15, WHO ataupun akademikus akan bertanya, “Datanya mana?” Kan enggak bisa kalau cuma dari laporan gubernur atau pangdam. Makanya saya bilang aplikasi Silacak harus diisi.

Pemerintah mengevaluasi data kematian sebagai salah satu indikator penanganan Covid-19 karena dianggap tidak akurat. Apa yang sebenarnya terjadi?

Data kematian sedang dibereskan karena ternyata banyak kasus kematian yang rapel. Dilaporkan Agustus, tapi ada data kematian dari bulan-bulan sebelumnya. Semua di-input karena dikejar Kementerian Kesehatan yang sedang membereskan data. Bahkan ada kabupaten mencatatkan data kematian Januari baru dilaporkan sekarang. Akibatnya, angka kematian menumpuk di Agustus. Bisa jadi bulan-bulan yang kita lihat dulu rendah sebetulnya sudah tinggi, tapi belum dilaporkan.

Seberapa penting akurasi data kematian dalam penentuan kebijakan penanganan pandemi?

Jika data kematian dihapus akan berbahaya karena kita enggak bisa memantau kualitas penanganan pandemi. Angka kematian tinggi bisa berarti dua hal, yaitu angka kasusnya memang masih tinggi atau angka kasusnya sudah turun tapi angka kematiannya masih tinggi. Artinya, ada masalah dalam pengamatan di tempat-tempat isolasi atau perawatan di rumah sakit.

Bagaimana perbaikan data kematian yang dilakukan?

Perbaikan data kematian akan berlangsung sekitar dua minggu. Setelah itu akan dipakai lagi. Saya mengusulkan korban meninggal dicatat tanggal kematiannya. Jadi nanti kalau kami buat grafik bukan berdasarkan tanggal dilaporkannya kematian, melainkan tanggal terjadinya kematian. Itu yang lebih benar.

Seberapa besar Luhut Pandjaitan menyerap masukan dari orang-orang yang mempunyai otoritas kesehatan untuk mengambil keputusan?

Di Kemenko Marves ada beberapa ahli yang diminta Pak Luhut untuk memberikan pendapat. Kalau keputusannya penting, biasanya kami diminta pendapat duluan. Kami hanya rapat dengan Pak Luhut dan stafnya. Pendapat para ahli didiskusikan di situ. Baru setelah itu rapat besar disampaikan ke para gubernur, bupati, dan wali kota. Waktu rapat biasanya Menteri Kesehatan selalu ada. Didiskusikan juga dari segi kesehatannya, peraturannya, dan kemampuannya di bidang kesehatan.

Ahli Epidemiologi Iwan Ariawan bekerja dari kediamannya di Tangerang, Banten, 16 Agustus 2021. TEMPO/STR/Nurdiansah

Mungkinkah kepentingan kesehatan dan ekonomi berjalan beriringan?

Menurut saya enggak bisa. Kita harus beresin kesehatannya dulu. Kalau mau gampang membereskan pandemi ini, ya sudah PPKM level 4 saja sampai tahun depan. Jumlah kasusnya pasti turun, kok. Cuma ekonominya berantakan. Makanya harus ada pemeringkatan lewat PPKM level 1-4. Tapi dari rapat-rapat dengan Pak Luhut yang saya ikuti, sudah terlihat lebih berat ke kesehatannya daripada ekonomi. Pemerintah sudah memahami, paling enggak di timnya Pak Luhut, bahwa ketika kesehatannya dibereskan, ekonominya akan ikut setelah itu.

Apakah pemerintah akan terus menerapkan PPKM?

PPKM pasti diperpanjang. Pasti berlangsung terus. Cuma levelnya naik-turun per daerah sesuai dengan indikator. Ini konsepnya beda. Kalau PSBB, PPKM, dan PPKM mikro yang dulu dibuat sementara, indikatornya enggak jelas kapan diperpanjang apa enggak.

Seperti apa konsep PPKM bertingkat yang diberlakukan sekarang?

Ini sebetulnya adopsi dari indikatornya WHO, yaitu public health and social measures. Indikatornya jelas menentukan PPKM level 1, 2, 3, dan 4. Saya menyampaikan ke Pak Luhut dan Menteri Kesehatan, indikatornya dibuat terbuka agar semua pihak bisa melihat. Sekarang sudah ada di situs https://vaksin.kemkes.go.id/#/sckab. Seluruh daerah di Indonesia bisa dicek dan setiap minggu diperbarui Kementerian Kesehatan. Jadi indikator yang ada sekarang lebih obyektif.

Apa saja indikatornya?

Ada dua komponen yang dinilai, yaitu transmisi di komunitas dan respons dari daerah tersebut. Ada level transmisi, yaitu 1-4, menurut kasus konfirmasi, perawatan, dan data kematian. Lalu respons dilihat dari positivity rate, tracing, dan bed occupancy rate. Lalu keduanya digabung, namanya asesmen situasi, dan keluar levelnya PPKM.

Sejauh mana varian delta mengubah pendekatan penanganan pandemi di seluruh dunia?

Pada virus corona varian original, yang kita sebut varian Wuhan, satu orang yang positif menularkan rata-rata ke dua-tiga orang lain. Varian delta bisa menularkan ke lima-delapan orang. Jadi dua-tiga kali lipat dibanding varian awal. Memang menularnya lebih cepat. Penelitian terbaru juga menyebutkan kemungkinan terjadinya kasus Covid-19 yang parah dan meninggal akibat varian delta lebih tinggi. Masalahnya, efektivitas vaksinnya juga turun. Sewaktu awal dikembangkan masih memakai varian yang awal. Para peneliti belum membuat vaksin baru untuk varian delta.

Dengan tingkat reinfeksi yang cukup tinggi, termasuk pada orang-orang yang sudah divaksin penuh, apakah herd immunity masih bisa tercapai?

Herd immunity sudah enggak relevan untuk diterapkan. Herd immunity artinya masyarakat yang kebal sudah banyak sehingga virusnya enggak bisa menyebar lagi. Ketika tercapai herd immunity, artinya kita hidup normal seperti sebelum pandemi. Kita enggak usah memakai masker, enggak usah banyak pengetesan. Itu enggak akan tercapai dengan Covid-19 karena, pertama, vaksin yang ada saat ini lebih untuk mencegah terjadinya Covid-19 berat dan kematian, bukan mencegah penularan. Kedua, efektivitas vaksin berubah begitu ada variant of concerns baru.

Lalu apa solusinya?

Pemerintah mengganti konsepnya. Sekarang enggak lagi mengejar herd immunity, melainkan mengendalikan wabah.

Apa bedanya?

Kalau mengendalikan wabah artinya suatu saat kita bisa beraktivitas dengan lebih longgar, tapi harus tetap menerapkan prokes (protokol kesehatan). Kita masih harus pakai masker selama bertahun-tahun, harus melakukan banyak pengetesan. Tapi aktivitas sosial-ekonomi sudah bisa berlangsung kalau wabahnya sudah terkendali.

Sampai kapan situasi normal seperti sebelum masa pandemi akan tercapai?

Sampai kita menemukan vaksin yang efektif untuk mencegah penularan atau obat yang sangat efektif untuk Covid-19.


IWAN ARIAWAN | Tempat dan tanggal lahir: Tangerang, 21 Oktober 1964 | Pendidikan: Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1989); Master of Science Epidemiologi dan Biostatistik dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat (1995) | Karier: Anggota Staf Pengajar Departemen Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (sejak 1990), Peneliti Senior di Pusat Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (sejak 2000), Direktur Reconsta Utama Integra, Anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Konsultan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Pemantauan dan Pemodelan Pandemi Covid-19 (Maret-Desember 2020), Konsultan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta Kantor Staf Presiden untuk Pemantauan Pandemi Covid-19, Konsultan Kementerian Kesehatan untuk Studi Efektivitas Vaksin Covid-19 (sejak Juni 2021).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus