Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari: Kami Kecolongan

OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap hakim dan panitera pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, awal September lalu, ikut mencoreng Komisi Yudisial.

2 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari: Kami Kecolongan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap hakim dan panitera pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, awal September lalu, ikut mencoreng Komisi Yudisial. Sebab, selain mengusulkan hakim agung, lembaga negara yang terbentuk sebelas tahun lalu itu bertugas mengawasi hakim.

Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari pun mengaku kecolongan. "Dua tahun menjabat, dua kali hakim kena OTT," ujar Aidul, 49 tahun. Sebelum hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Dewi Suryana, dicokok KPK karena suap, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba, terjerat tuduhan yang sama tahun lalu.

Mengawasi hakim, yang jumlahnya lebih dari 7.800 orang dan tersebar di segala penjuru Indonesia, bukan perkara mudah. Menurut Aidul, pengawasan langsung tidak memungkinkan. Komisi Yudisial hanya bisa mengandalkan ketua pengadilan tinggi untuk mengawasi para hakim di wilayah kerja mereka.

Jumat dua pekan lalu, Aidul menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, Maya Ayu, dan Reza Maulana di kantor Komisi Yudisial di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Dia menjabarkan hasil pemantauannya terhadap banyak hakim yang bekerja di kondisi penuh keterbatasan, dari tak tersedianya rumah dinas hingga penghasilan yang tidak sebanding dengan jauhnya tempat penugasan. "Saya tidak ingin bikin excuse, tapi ini memang harus jadi perhatian," katanya.

l l l

Apakah penangkapan di Bengkulu menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap hakim?

Komisi Yudisial ikut bertanggung jawab. Bagaimanapun, kami diberi kewenangan konstitusi untuk menegakkan dan menjaga kehormatan hakim. Tapi kami bukan satu-satunya yang bertanggung jawab. Sebab, pembinaan hakim secara keseluruhan ada di Mahkamah Agung. Komisi Yudisial pada pengawasan etika hakim saja.
Apa saja yang termasuk kode etik hakim?
Ada sepuluh kriteria. Terbagi dalam kode etik murni, termasuk perilaku buruk, seperti mabuk dan berselingkuh. Ada juga teknis yudisial, yaitu yang berkaitan dengan putusan, misalnya salah menulis nama. Sering terjadi salah copy-paste. Meski itu pekerjaan panitera, hakim harus tahu juga.
Berapa banyak pelanggaran tersebut?
Tahun ini ada 870 laporan, yang kena sanksi 36 kasus. Kalau dikalikan tiga, sesuai dengan jumlah majelis, hakim yang kena sanksi sekitar seratus.
Sanksinya apa?
Tergantung tingkat kesalahan, sesuai dengan Peraturan Bersama Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim. Misalnya di kasus Bengkulu itu. Berdasarkan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi, ada kemungkinan kasus ini diawali dari komunikasi hakim di luar pengadilan. Komunikasi seperti itu melanggar kode etik. Jika terjadi suap, masuk ranah pidana.
Dari 870 laporan, ada yang mengarah pada suap?
Ada satu orang, sudah kami berhentikan.
Ada yang menyebut hakim yang kena sanksi sebagai fenomena gunung es. Anda sependapat?
Kalau lihat statistik, kurvanya normal saja. Ada yang perilakunya sangat buruk, ada yang sangat baik. Tapi mayoritas biasa-biasa. Hakim yang kena sanksi sekitar seratus orang dari 7.800-an hakim se-Indonesia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, prevalensi pelanggarannya kurang-lebih sama, sekitar 10 persen.
Apa hasil pengawasan terhadap Dewi Suryana, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu?
Pernah ada laporan ke kami soal Saudari Suryana terkait dengan kasus profesionalisme pada 2014. Saya lupa detailnya. Waktu itu dia masih bertugas di Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat. Sudah kami periksa, tapi tidak terbukti. Kemudian dia pindah tugas ke Bengkulu. Ya, kami bisa disebut kecolongan.
Jika ada yang mencurigakan, mengapa tidak melapor ke KPK atau polisi?
Kami melakukan penegakan kode etik dulu. Misalnya, untuk memberhentikan hakim, harus dilakukan melalui majelis kehormatan hakim dan diputuskan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Baru serahkan ke polisi. KY (Komisi Yudisial) memiliki penanganan yang berbeda dengan KPK. Kami terikat prinsip penghargaan pada profesi hakim. Kami juga mengusung aspek kerahasiaan. Jangan sampai pemeriksaan menjatuhkan martabat hakim.
Ada contoh kasus?
Saya tidak mau menyebut nama. Tapi kami menangkap tangan seorang hakim di Lampung terkait dengan narkotik. Setelah selesaikan soal kode etik, kami serahkan kasus pidananya ke kepolisian. Kami pertimbangkan asas praduga tak bersalah, sehingga tidak angkat ke publik.
Bagaimana bisa menimbulkan efek jera kalau pengusutannya diam-diam?
Efek jera akan muncul di sanksi. Itu akan berpengaruh pada karier dia. Tidak bisa mengajukan diri sebagai hakim agung. Itu berat. Sanksi paling berat yang pernah kami keluarkan adalah pemberhentian dengan tidak hormat.
Bukankah dengan diekspos ke publik, hakim jadi berpikir ulang sebelum melanggar?
Menurut saya, jangan diekspos sebelum jelas penetapan tersangka. Apalagi baru penangkapan. Contohnya hakim di Lampung itu. Jika pengadilan membuktikan dia bersalah, baru kami berhentikan. Kalau sudah kami berhentikan tapi ternyata tak bersalah kan repot.
Tapi rekam jejak KPK menunjukkan mereka punya bukti kuat sebelum bertindak.
Buktinya di Bengkulu kemarin ada juga seorang hakim ad hoc berinisial HA yang awalnya ikut ditangkap. Tersebar kabar dua hakim kena OTT. Kemudian hakim ad hoc itu dipulangkan karena bukti permulaan belum cukup. Lalu rehabilitasi namanya bagaimana? Seharusnya KPK bertanggung jawab.
Apa yang sebaiknya dilakukan KPK?
Problemnya diekspos. Permintaan KY, KPK harus berhati-hati dalam mengumumkan hasil operasinya. Khususnya yang menyangkut hakim, karena menyangkut nama baik dan reputasi hakim. Bisa menimbulkan stigma di masyarakat. Kami tak ragu terhadap KPK, tapi prinsip KY memang agak beda. Kami melihat penghargaan pada profesi hakim sebagai hal yang sangat penting.
Selain melalui laporan, bagaimana komisi ini mengawasi hakim?
Kami memberi pelatihan, meningkatkan integritas dan kapasitas hakim. Kami bekerja sama dengan kepala pengadilan tinggi karena mereka yang membawahkan pengadilan negeri. Kepala pengadilan tinggi yang menjadi ujung tombak kami untuk mengawasi hakim di daerah.
Komisi tidak turun ke lapangan?
Beberapa waktu lalu, kami ke Samarinda. Pertemuan hanya bisa dilakukan dengan tiga pengadilan negeri, yaitu Tenggarong, Samarinda, dan Balikpapan. Tiga wilayah lain tidak terjangkau karena jauh, kendaraan susah. Ya, mau gimana lagi?
Komisi diberi kewenangan menyadap. Apa hasilnya?
Kami punya kewenangan itu sejak 2016, tapi dengan bantuan polisi. Hasilnya, ya, ada. Kami tangkap tiga orang yang menawarkan jasa memenangkan kasus di MA (Mahkamah Agung) dengan mengatasnamakan orang MA. Kami dapatkan itu dari alat pengintaian. Tak secanggih punya KPK. Hanya bisa menentukan titik percakapan telepon. Ketiga orang yang ditangkap di sebuah hotel di Jakarta Pusat itu ternyata tidak ada kaitan sama sekali dengan aparat peradilan. Mereka murni penipu. Ada juga kasus serupa di Bandung, sudah bayar Rp 250 juta. Ternyata tidak ada nama hakim dan panitera yang disebutkan penipu. Modusnya banyak sekali.
Contoh lain?
Saat seleksi hakim agung, Agustus lalu, ada orang mengaku atas nama saya meminta Rp 20 juta kepada calon hakim agung. Laporan agak terlambat sehingga tidak bisa kami telusuri. Teleponnya keburu dimatikan. Calon hakim agungnya berpikir, "Masak, jadi hakim agung tarifnya cuma Rp 20 juta? Ha-ha-ha...." Dari situ, KY tidak bisa berasumsi korupsi dilakukan orang dalam pengadilan. Harus dilihat kasus per kasus.
Mengapa badan peradilan kerap dimanfaatkan untuk penipuan dan korupsi?
Pada prinsipnya orang yang beperkara selalu mencari cara melepaskan diri dari jerat hukum. Tapi kejadian seperti ini bukan hanya milik badan peradilan. Terjadi di hampir semua lembaga pemerintah, bahkan kampus. Modus yang sama digunakan penipu, menggunakan nama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk menipu dosen.
Ini pengalaman pribadi sebagai dosen?
Saya sendiri pernah ditawari, tapi enggak mempan. Kolega saya kena Rp 25 juta. Biasanya untuk menggelar seminar atau mendapatkan gelar.
Ada pendapat yang menyatakan suap tak lepas dari rendahnya gaji hakim. Anda setuju?
Gaji hakim memang kecil sekali, Rp 4 juta. Tapi tunjangannya sudah ideal. Tunjangan jabatan rendah, misalnya hakim pratama di pengadilan kelas II, Rp 8,5 juta. Jadi paling tidak bisa bawa pulang Rp 12,5 juta per bulan. Kira-kira sama dengan pendapatan advokat. Kalau di pengadilan tinggi bisa sampai Rp 45 juta. Problemnya, begitu tidak menjabat, penghasilannya terjun bebas, kembali ke Rp 4 juta. Maka banyak yang terdorong melakukan pelanggaran di akhir masa jabatan. Bukan husnul khatimah, malah su'ul khatimah, akhir yang buruk. Kalau sudah pensiun, bukan lagi kewenangan kami.
Berapa perbandingan hakim yang menjabat dan tidak?
Ada 7.800-an hakim. Dihitung dari 800-an pengadilan, dikali dua atau tiga hakim per pengadilan, artinya lebih banyak yang non-struktural.
Jadi kalau tidak menjabat hakim harus siap hidup susah?
Jangan bayangkan hakim dengan tunjangan besar hidupnya senang. Memang ada asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, tapi untuk cek kesehatan harus keluar uang sendiri. Padahal banyak yang matanya sudah bermasalah. Mereka juga menabung untuk masa tidak menjabat. Kehidupannya tidak beda dengan mahasiswa. Tidak usah jauh-jauh. Hakim di Pengadilan Jakarta Barat ngekos di permukiman di seberang pengadilan yang gedungnya megah itu. Hakim Pengadilan Negeri Bandung setiap hari naik angkot sepuluh kilometer dari kos mereka di Buah Batu. Bagaimana menjamin keamanannya?
Seberapa rawan keselamatan hakim?
Sepanjang semester pertama tahun ini, ada sembilan penyerangan hakim, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ada yang dipukul, ditusuk pisau, sampai disodok tiang bendera. Tak terhitung yang diintimidasi secara verbal, tertulis, dan dikuntit. Itu semua harus dihitung untuk menjaga integritas hakim.
Ada masalah lain?
Wilayah penugasan. Hakim dari Jawa bisa ditempatkan di Tahuna, Sulawesi Utara, yang lebih dekat ke Filipina ketimbang ke Manado. Mahalnya tiket perjalanan membuat banyak hakim harus menjalani hubungan jarak jauh lebih dari setahun. Muncul banyak kasus hakim berselingkuh. Seusai pelatihan di Jakarta, para hakim mengatakan idealisme mereka sulit dipertahankan di daerah penugasan. Saya tidak ingin bikin excuse, tapi ini memang harus jadi perhatian.
Bagaimana cara mengatasinya?
Teknologi cukup membantu kami. Ada Sistem Informasi Pengadilan untuk mengawasi kinerja hakim. Tidak bisa mengandalkan pemeriksaan fisik. Tapi agak sulit mengajak para hakim sepuh mengoptimalkan teknologi.
Daerah terpencil juga bisa mengandalkan Sistem Informasi Pengadilan?
Laporan banyak muncul dari kota besar. Wilayah terpencil ada mekanisme hukum yang unik. Misalnya di Toraja. Tidak semua kasus dibawa ke pengadilan. Mereka selesaikan di pengadilan adat. Perbandingannya, tahun lalu, 60 kasus masuk pengadilan adat dan hanya 10 di pengadilan negeri. Itu harus didorong. Sebab, penegakan hukum bukan semata-mata menegakkan aturan formal, tapi memberikan keadilan kepada masyarakat.
Sebelumnya, Komisi Yudisial kerap tidak sejalan dengan Mahkamah Agung. Sekarang bagaimana?
Pertukaran informasi sudah berjalan. Dulu memang ada kecenderungan saling menutupi.
Komisi Yudisial tidak bekerja sama dengan KPK?
Saat KPK menangkap Janner Purba (mantan Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu) tahun lalu, saya berdiskusi dengan Pak Agus Rahardjo, Ketua KPK, mengajak koordinasi. Tapi sulit karena tidak disepakati mana batas kode etik dan pro justicia atau perundang-undangan. Misalnya, KPK menganggap seseorang yang menjanjikan sesuatu bagi hakim masuk delik pidana. Bagi kami, itu pelanggaran kode etik komunikasi di luar persidangan.
Pernah mengusut kasus yang sama?
Dalam kasus Janner Purba, yang kemudian terbukti menerima suap, kami sedang mendeteksi dan KPK masuk di tengah jalan. Saya merasa KPK tidak berkoordinasi dengan kami.
Mahkamah Agung dan KPK sepertinya lancar bekerja sama dalam operasi tangkap tangan hakim Bengkulu....
Saya melepaskan diri dari siapa yang berjasa melaporkan temuan. Ini kan tugas bersama. Kami punya kelemahan dengan kapasitas kami. MA juga punya keterbatasan. Kalau KPK sekali melakukan OTT hakim, kami bisa mengklaim 36 kali memberikan sanksi hanya dalam satu semester 2017. Tapi kan problemnya bukan itu. Kami melakukan tugas masing-masing.
l l l
Ada perhatian khusus terhadap sidang yang menyita perhatian publik, seperti kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)?
Kami sudah memantau sejak sidang pertama e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiarto. Terkait dengan hilangnya nama Setya Novanto dari putusan, sedang kami gali. Belum ketemu ujungnya karena kami sedang mengkonstruksi putusan dan prosesnya. Karena menyangkut kasus besar, kami prioritaskan.
Pengawasan lewat apa?
Macam-macam. Petugas kami juga pakai alat perekam. Untuk pembuktian, tak bisa hanya pantauan pandangan mata, tapi juga suara atau gambar. Misalnya, hakim dilarang memberi kesan mengistimewakan salah satu pihak, contohnya tersenyum ke satu pihak, ke lain pihak cemberut. Pembuktian ini hanya bisa diperoleh lewat gambar.
Apa hasil penyelidikan dugaan pertemuan Setya dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali?
Sedang kami selidiki. Dugaan itu berawal dari sidang disertasi Adies Kadir, politikus Partai Golkar, di Universitas 17 Agustus, Surabaya, Juli lalu. Pak Setya diundang sebagai penguji. Saya sebenarnya diundang juga, tapi ada kegiatan lain. Kalau bertemu secara terbuka di sidang, ya, tak jadi masalah. Kami sedang mencari apakah ada pertemuan lain.
Mungkinkah Setya yang sarjana akuntansi menguji sidang S-3 politik?
Itu harus ditanyakan ke universitasnya. Mungkin dari kapasitasnya sebagai ketua partai.
Perlukah pemantauan, misalnya, sampai ke rumah hakim praperadilan?
Enggaklah. Karena KY sudah memantau kasus ini, hakim jadi hati-hati. Pada beberapa kasus sebelumnya, biasanya mereka langsung sadar dan jadinya lempeng. Ada yang berterima kasih karena mempersempit kemungkinan ruang gerak untuk aneh-aneh. Ada juga hakim yang memprotes, mereka jadi grogi karena dipantau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus