Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pebisnis dan pemimpin perusahaan di seluruh dunia dituntut cakap saat memasuki era digital. "Hanya pemimpin dengan kemampuan memprediksi terbaik yang dapat tetap lincah bergerak dan terus belajar," ujar President of theInternational Institute for Management Development(IMD) Switzerland, Jean-Francois Manzoni.
IMD adalah salah satu sekolah bisnis bergengsi dunia untuk pendidikan eksekutif. Sekolah ini khusus menyiapkan desain dan program pengembangan kepemimpinan untuk perusahaan-perusahaan di Asia. IMD berdiri sejak 25 tahun silam dan telah beroperasi di lebih dari 30 negara. Berikut ini petikan wawancara Ghoida Rahmah dari Tempo dengan Manzoni, dua pekan lalu.
Bagaimana cara IMD meraih kesuksesan peringkat pertama dalam open program worldwide yang dinobatkan Financial Times?
IMD pada awalnya adalah merger dari dua corporate university, yaitu Alcan Aluminium dan Nestle. Keduanya dulu merupakan sekolah yang andal tapi skalanya kecil di Eropa. Kedua manajemen memutuskan merger dan mendirikan sekolah berskala dunia. Kualitasnya tak kalah bagus dari sekolah bisnis Amerika. Pencapaian itu dengan cepat dapat diraih karena kami menawarkan konsep dan program pendidikan yang dekat dengan praktik dibanding teori.
Apa yang membedakan IMD dengan sekolah bisnis lain?
Kami memiliki porsi sekitar 15 persen untuk program panjang, seperti program MBA dan PhD. Sebanyak 85 persen sisanya program pendidikan untuk pengembangan pemimpin atau para eksekutif perusahaan, sekolah lain kebalikannya. Di tahap ini, kami ingin terus melampaui capaian kami sebelumnya, meningkatkan tingkat kompetisi kami.
Bagaimana strategi IMD bisa unggul dibanding sekolah bisnis yang sudah lama seperti Harvard Business School?
Kami menggunakan strategi yang jelas, apa yang harus dilakukan, berfokus pada sumber daya kami, hingga kedisiplinan. Semuanya sejalan dengan tagline kami: pembelajaran nyata akan membuahkan hasil yang nyata pula.
Apa yang ditawarkan IMD kepada mitra, klien, atau siswa agar tertarik bergabung?
Kami tidak hanya menawarkan dampak untuk satu orang atau individu. Kami ingin mereka bisa meneruskan dampak itu ke pekerjaan mereka sehingga menjadi organizational impact. Kami bukan seperti konsultan yang langsung memberi tahu apa yang harus dilakukan. Kami membantu mereka menemukan jawabannya sendiri.
Bagaimana profil alumni IMD?
Rata-rata usia alumni MBA 30 tahun dan program eksekutif sekitar 40 tahun. Yang pasti, kami memiliki range dan background yang sangat luas untuk alumni. Kami tidak punya alumni usia 20 tahun. Hingga saat ini total kami sudah punya 110 ribu alumni, 10 ribu di antaranya dari program panjang seperti MBA. Di tempat ini, seseorang yang mengikuti program dalam tiga hari atau seminggu sudah bisa disebut alumni.
Program apa yang menjadi signature atau terunik?
Yang menjadi IMD signature adalah program bertajuk Orchestrating Winning Performance (OWP) karena program ini menggabungkan versi dari hampir seluruh fakultas yang ada. Di dalamnya terbagi lagi, ada High Leadership Program dan Foundation Business Leadership. Sehingga ini begitu menarik perhatian setiap tahun, bahkan kami memiliki daftar tunggu (waiting list) hingga beberapa tahun ke depan.
Apa pesan Anda kepada CEO milenial yang banyak memimpin perusahaan start-up?
Perlu diingat, mengelola perusahaan sangat berbeda dengan start-up. Ritmenya berbeda. Jadi, tugas yang terpenting adalah bagaimana mereka belajar membangun perusahaan tanpa kehilangan kecepatan dan spirit start-up. Tantangannya, bagaimana mereka harus menangani pertumbuhan yang begitu cepat dengan lincah dan tetap berdaya saing.
Siapa CEO atau pemimpin perusahaan yang sukses menangani transformasi bisnis digital?
Ada beberapa perusahaan yang sukses menangani transformasi ini, di antaranya General Electric dan DBS Bank. Mereka memiliki kemampuan forward looking yang sangat baik.
Apa tantangan yang harus dihadapi CEO muda atau CEO milenial?
Kondisi saat ini lebih menantang dibanding CEO zaman dulu. Pertama, bagaimana terus-menerus beradaptasi menciptakan strategi atau membuat produk dan jasa yang lebih maju. Kedua, bagaimana membesarkan perusahaan dan memberikan skala yang tepat, membangun fondasi dan struktur kuat, serta tim yang solid tapi tanpa kehilangan kecepatan mereka. Ketiga adalah tantangan personal CEO itu sendiri.
Ketika bisnis sudah mulai bertumbuh, mereka tak lagi menjadi satu-satunya pemegang keputusan. Mereka harus memainkan dan memperbesar peran. Mungkin mereka sangat hebat dan ahli menciptakan hal kecil dan membawanya tumbuh besar, tapi apakah mereka juga cukup hebat untuk memperbesarnya lagi.
Bill Gates, misalnya, mundur dari posisinya sebagai CEO Microsoft. Dia mengatakan, saya bagus sebagai CEO dulu sampai saat ini, tapi tidak untuk masa yang akan datang.
Pada saat bisnis berkembang, pemimpin harus selalu mengubah cara pandang dalam pengelolaannya. Beberapa orang berubah tapi banyak orang tidak berubah. Contoh lain adalah Steve Jobs. Walaupun dia sudah tidak ada, Apple tetap melanjutkan penemuan produk barunya. Mereka punya tim yang hebat. Steve merekrut orang dalam timnya dan ingin orang itu dapat bekerja lebih baik daripada dia. Saat ini dia bukan seseorang yang mengambil keputusan, tapi dialah yang menginspirasi bisnis itu. GHOIDA RAHMAH
Jean-Francois Manzoni
Kewarganegaraan: Kanada dan Prancis
Lahir: 15 Mei 1961
Pendidikan:
-l'Ecole des Hautes Etudes Commerciales de Montreal
-McGill University, Master of Business Administration
-Harvard Business School, Program Doktor (Phd)
Karier
-Professor of Leadership and Organizational Development (2004-2010)
-Director Global Leadership Centre of INSEAD (2011-2013)
-IMD President dan Nestle Professor (Januari 2017-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo