Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kini Idealisme Dikalahkan Uang

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK menggantikan mendiang Taufiq Kiemas sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sidarto Danusubroto melengkapi kiprahnya dalam perjalanan Indonesia pasca-kemerdekaan. Pada masa Orde Baru, dia malang-melintang di korps kepolisian, hingga akhirnya pensiun pada 1991 ketika menjabat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat berpangkat mayor jenderal. Sekitar dua setengah dasawarsa sebelumnya, Sidarto, yang masih perwira menengah, adalah ajudan terakhir Presiden Sukarno.

Tugas sebagai ajudan presiden hanya dilakoni selama tiga bulan. Sebab, Bung Karno, yang telah dicopot kekuasaannya oleh sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, harus angkat kaki dari Istana Negara pada Mei 1967 dan pindah ke Wisma Yaso.

Selama sepuluh bulan berikutnya, Sidarto bertugas mengawal bekas presiden itu di Wisma Yaso. Di rumah yang kini menjadi Museum Satria Mandala itu, fungsi Sidarto berubah. "Ketika di Istana Negara, saya hanya disuruh menyiapkan atau mengambil ini-itu oleh Bung Karno," katanya. "Tapi, di Wisma Yaso, saya harus juga menjadi teman ngobrol."

Meski megah, Wisma Yaso bak penjara bagi Sukarno. Pemerintah baru yang dipimpin Pejabat Presiden Mayor Jenderal Soeharto menetapkan status tahanan kota terhadap Bung Karno atas tudingan terlibat dalam peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Sidarto menjadi saksi ketika kondisi Sang Proklamator memburuk setelah statusnya diperketat menjadi tahanan rumah. "Dia jadi sering diam," ujarnya.

Jumat dua pekan lalu, Sidarto mengenang masa-masa bersama Sukarno ketika menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya di rumahnya di Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan. Pada usia 77 tahun—menjadikannya anggota Dewan Perwakilan Rakyat tertua pada periode ini—Sidarto tampak tetap bugar. "Saya tak pernah absen berenang setiap pagi," katanya. Baginya, masih ada tugas besar yang menunggu untuk dikerjakan: mengembalikan Indonesia yang menghargai kemajemukan dan mengedepankan negara ketimbang uang.

Anda menjadi ajudan Sukarno ketika dia merayakan hari kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Wisma Yaso. Apa yang Anda ingat ketika itu?

Saat itu, menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1967, Bung Karno tinggal di Wisma Yaso dengan status tahanan kota. Di Istana Negara, panitia persiapan perayaan kemerdekaan kebingungan karena bendera pusaka Merah Putih tak ditemukan. Rupanya Bung Karno menyimpan bendera itu.

Bagaimana bisa?

Saya tidak tahu persis bagaimana bendera pusaka bisa dibawa Bung Karno. Pokoknya saat itu Bung Karno meminta empat kepala staf angkatan bersenjata datang ke rumah untuk mengambilnya. Yang hadir Panglima Angkatan Laut Laksamana Muljadi dan Panglima Angkatan Kepolisian Sucipto Yudodiharjo. Sedangkan Angkatan Darat dan Udara diwakilkan. Ternyata, selain untuk mengambil bendera, Bung Karno memanggil keempatnya untuk menyampaikan protes kepada Soeharto.

Protes atas apa?

Protes mengapa dia diperlakukan seperti tahanan. Sebab, menurut Bung Karno, Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) bukan transfer of authority atau pengalihan kekuasaan kepada Soeharto. Waktu itu Bung Karno tidak menjelaskan, tapi belakangan kita tahu ada kesaksian bahwa Supersemar yang naskah aslinya tak ditemukan itu hanya perintah agar Pak Harto mengambil tindakan pengamanan.

Lalu bendera itu benar ada di tangan Bung Karno?

Tidak di rumah, tapi disimpan di Monas. Saya ikut dengan rombongan bersama Bung Karno ke Monas. Di sana Bung Karno menyerahkan bendera pusaka sambil sekali lagi bertanya, "Kok, isi Supersemar jadi begini?"

Apa jawaban dari para kepala staf angkatan bersenjata?

Mereka menjawab akan menyampaikan pesan Bung Karno kepada Pak Harto. Tapi tak ada tanggapan, karena ternyata Bung Karno terus dikucilkan di Wisma Yaso hingga meninggal.

Bagaimana kondisi rumah Yaso pada saat itu?

Tidak terawat. Tikus wira-wiri. Tapi Bung Karno cuek saja. Maklum, dia juga tak tegaan kepada binatang. Pernah suatu waktu Bung Karno melihat seekor serangga terjerat di sarang laba-laba. Dia melepaskannya.

Anda tinggal di situ juga?

Tidak. Saya tinggal di perumahan polisi yang sekarang menjadi Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan.

Bagaimana kondisi kesehatan Bung Karno waktu itu?

Pada masa-masa awal di rumah Yaso, Bung Karno masih sehat, mungkin karena statusnya baru tahanan kota. Saya sering menemaninya jogging di halaman rumah. Dia juga masih bisa ke luar rumah, meskipun kalau ke luar kota saya harus minta izin kepada Panglima Kodam Jaya.

Biasanya ke mana?

Paling sering ke Bogor. Untuk ke sana pun saya harus mengajukan entry permit kepada Panglima Kodam Siliwangi. Bung Karno sering mendatangi sebuah warung yang terletak di antara Bogor dan Sukabumi karena dari situ dia bisa melihat tiga gunung sekaligus, yakni Gunung Salak, Gede, dan Pangrango. Dia happy, sangat happy.

Bukankah sejak kekuasaannya beralih ke Soeharto, Bung Karno tak punya penghasilan. Dari mana Bung Karno memperoleh uang?

Bung Karno memang sempat tak punya uang sama sekali dan menyuruh saya meminjam ke beberapa orang. Tapi waktu itu tidak ada yang berani membantu Bung Karno. Lalu saya diminta agar mendatangi Pak Tukimin, mantan pengurus rumah tangga Istana, yang kemudian memberikan US$ 10 ribu. Saya bingung bagaimana membawa kembali uang sebanyak itu karena untuk keluar-masuk Wisma Yaso diperiksa penjaga sangat ketat.

Bagaimana akhirnya uang itu diterima Bung Karno?

Saya masukkan ke kaleng biskuit yang dibawa masuk Mbak Mega (Megawati). Mbak Mega masih kecil, jadi tidak diperiksa.

Untuk apa saja uang itu?

Untuk bayar tukang kebun dan sebagainya. Bung Karno juga sering meminta saya menyewa film yang sedang diputar di luar. Seperti layar tancap. Saya minta ke Wakil Sekretariat Negara, dipenuhi, layarnya dipasang di Wisma Yaso.

Lima tahun lalu kami mewawancarai Putu Sugianitri, mantan ajudan keluarga Bung Karno. Dia bercerita duitnya sering terpakai untuk belanja.

Saya tidak tahu cerita itu. Nitri memang bertugas mengasuh anak-anak Bung Karno. Sebenarnya, ketika menjadi presiden, Bung Karno bisa saja memanfaatkan jabatannya untuk memupuk kekayaan. Karena pada masa itu banyak sekali pengusaha yang antre mendapat hak pengusahaan hutan (HPH) dari dia. Tapi, nyatanya, no single HPH yang dia terbitkan.

Kok, Anda tahu?

Bung Karno bercerita kepada saya. Suatu hari dia mengajak saya jalan ke Senayan, meninjau kompleks olahraga yang sekarang menjadi Gelora Bung Karno. Dia bilang banyak yang minta hak menebang pohon, tapi ditolak. Bahkan, rencana dia, sepanjang Jalan Sudirman harus menjadi hutan kota seperti di Paris, London, dan New York.

Jalan Sudirman, Jakarta, yang sekarang penuh gedung perkantoran dan pusat belanja itu?

Ya, dari yang kini menjadi Senayan City, Ratu Plaza, sampai gedung DPR itu dulu adalah hutan. Kecuali kompleks parlemen yang ketika itu dibangun untuk penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Kata Bung Karno, yang boleh dibangun di daerah itu hanya kompleks olahraga. Dia benar-benar sudah berpikir jauh ke depan.

Kapan Bung Karno mulai tampak sakit-sakitan?

Pada waktu itu, meski kondisi fisiknya mulai menurun, semangat Bung Karno tak pernah surut. Suatu hari dia berpesan kepada saya, "Darto, jiwa, ide, ideologi, semangat tak dapat dibunuh." Tapi semua berubah menjelang akhir 1967, ketika dia berstatus tahanan rumah, tidak boleh ke mana-mana. Dia jadi sering diam. Mungkin karena dia ekstrovert, senang ngobrol dan bergaul, sehingga terpukul ketika semua kebiasaan itu direnggut. Apalagi keluarganya juga tidak diperbolehkan berkunjung. Kesehatannya menurun drastis. Wajahnya mulai bengkak-bengkak.

Lalu apa yang Anda lakukan?

Saya melapor ke Kapolri bahwa Bung Karno lebih membutuhkan perawatan medis ketimbang ajudan. Pada Maret 1968, saya ditarik ke kesatuan. Tapi ternyata saya harus menjalani pemeriksaan oleh tim pemeriksa pusat. Saya dituduh bagian dari Barisan Sukarno yang ingin menyelamatkan kekuasaan Bung Karno.

Siapa saja yang diperiksa?

Banyak. Semua orang dekat Bung Karno dan mantan ajudan presiden, termasuk mantan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko, diperiksa. Belakangan, kesaksian Bambang yang dikutip banyak buku dijadikan alat oleh pemerintah Soeharto untuk mengaitkan Bung Karno dengan peristiwa G-30-S/PKI.

Jadi, Anda tak mengetahui ketika Bung Karno juga diinterogasi di Wisma Yaso karena tudingan menjadi dalang G-30-S/PKI?

Tidak. Saya sudah kembali ke kesatuan.

Anda juga sudah tak lagi menjadi ajudan ketika tim dokter datang memeriksa kesehatan Bung Karno?

Ya. Tapi, setelah Bung Karno wafat pada 1970, dokter Kartono Mohamad—mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia—menemukan bahwa perawatan medis terhadap Bung Karno di Wisma Yaso sangat tidak layak. Berbeda sekali dengan kualitas perawatan tim dokter ketika Soeharto sakit.

Meski sempat dianggap pro-Sukarno, Anda tetap bisa menjadi seorang jenderal polisi pada pemerintahan Orde Baru. Bagaimana bisa?

Setelah empat tahun menjalani pemeriksaan, nama saya akhirnya dipulihkan. Selama tujuh tahun saya tak naik pangkat. Ada yang bilang karier saya diatur mentok di pangkat kolonel. Hingga Pak Anton Sudjarwo, mantan Kepala Korps Brigade Mobil, diangkat menjadi Kepala Kepolisian RI. Dia dulu juga pernah diperiksa dan ditahan dua tahun karena terlibat dalam Barisan Sukarno. Berkat dia, saya akhirnya menjadi jenderal.

Anda kemudian menjadi kepala kepolisian di beberapa daerah. Bagaimana rasanya menjadi anak buah Soeharto yang menurut Anda berbuat kejam kepada Bung Karno?

Biasa saja. Asalkan Anda tahu, kepolisian pada waktu itu powerless. Yang berkuasa adalah Pangdam (TNI). Ketika baru menjadi Kapolda Sumatera Bagian Selatan, saya pernah bertanya kepada Kepala Unit Reserse Kriminal berkas kasus pembalakan liar. Ternyata tidak ada. Saya tanya kenapa, dijawab bahwa itu bukan wilayah hukum kepolisian. Kalau saya masuk bakal cepat dicopot. Begitu juga untuk urusan menindak praktek perjudian.

Sekarang Anda menjadi Ketua MPR. Apa yang akan Anda kerjakan?

Ada tugas besar yang sudah lama menjadi keprihatinan saya, yaitu semakin tergerusnya empat pilar kebangsaan. Ada yang menggugat Pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 dan semboyan Bhineka Tunggal Ika juga dilanggar dengan diusirnya warga Syiah di Sampang, penyerangan terhadap muslim Ahmadiyah, dan penolakan pendirian gereja di Bogor. Kalau seperti ini terus, kelak akan ada cerita bahwa di sini dulu pernah ada Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa yang bisa dilakukan MPR? Sedangkan selama ini lembaga tersebut boleh dikata tak punya peran. Masa jabatan Anda juga hanya kurang dari setahun.

Ini memang pekerjaan berat. MPR tak bisa sendirian. Saya akan betul-betul berusaha, misalnya mendekati sekolah dan perguruan tinggi agar nilai-nilai luhur yang dibangun oleh founding father kita kembali masuk ke dunia pendidikan.

Apakah Anda ingin tetap berpolitik setelah masa jabatan berakhir?

Saya tak mencalonkan lagi dalam pemilihan anggota DPR periode mendatang. Saya akan mencalonkan diri di Dewan Perwakilan Daerah. Saya sudah capek, prihatin, melihat selama ini idealisme selalu kalah oleh uang. Makanya saya berharap, dalam pemilu tahun depan, masyarakat tak memilih karena uang. Kalau tidak, kualitas DPR akan sama saja seperti sekarang ini.

Sidarto Danusubroto
Tempat dan Tanggal Lahir: Pandeglang, Banten, 11 Juni 1936 Pendidikan Umum: l Ujian Negara Sarjana Hukum (1965) l SMAN VI, Yogyakarta (1955) l SMPN 1, Yogyakarta (1952) l Sekolah Rakyat Pujokusuman, Yogyakarta (1949) Pendidikan Kepolisian: l Sekolah Staf dan Komando Gabungan (1977) l Sekolah Staf dan Komando Kepolisian (1969-1970) l Instructor School, US Naval Training School, Norfolk, Amerika Serikat (1965) l Akademi Kepolisian, Washington, DC, Amerika Serikat (1964) l Special Army Warfare School, Fort Bragg, Amerika Serikat (1964) l Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta (1962) Karier: l Ketua MPR RI (Juli 2013-sekarang) l Anggota DPR RI (1999-sekarang) l Kepala Polda Jawa Barat (1988-1991) l Kepala Polda Sumatera Bagian Selatan (1986-1988) l Wakil Kepala Polda Jawa Barat (1985-1986) l Kepala Staf Komapta Polri (1982-1985) l Kepala Interpol (1976-1982) l Kepala Dinas Penerangan Polri (1975-1976) l Kepala Polres Tangerang (1974-1975) l Ajudan Presiden RI (1967-1968)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus