Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

'Helen Keller' yang Compang-camping

Film Jose Poernomo yang bersumber dari kisah Helen Keller, perempuan buta-tuli Amerika pertama yang menjadi sarjana. Mengabaikan konstruksi cerita.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Moga Bunda Disayang Allah
Produser: Rocky Soraya, Ram Soraya
Sutradara: Jose Poernomo
Penulis: Riheam Junianti, Tere Liye
Pemeran: Fedi Nuril, Shandy Aulia, Chantika Zahra, Alya Rohali, Donny Damara, Iang Darmawan

Pagi itu Karang (Fedi Nuril) datang dengan gagahnya ke rumah Tuan HK (Donny Damara), orang kaya raya yang rumahnya seperti istana. Karang datang dengan dagu terangkat dan berkacamata hitam. Lagaknya seperti orang paling penting di dunia. Sepatunya berdetak-detak di lantai ketika dipersilakan bergabung dengan Tuan HK yang sedang sarapan bersama keluarganya: Bunda HK (Alya Rohali) serta Melati (Chantika Zahra), putri tunggal HK yang buta, tuli, dan bisu.

Karang menatap tajam Melati, yang sibuk mengaduk-aduk bubur di piring dengan tangannya. Adukannya kacau, hingga bubur tumpah ke mana-mana. Usaha Salmah, pembantunya, untuk menolong Melati makan gagal. Melati mengamuk dan bubur pun berhamburan. "Apakah ia selalu makan seperti ini? Tidak ada bedanya dengan seekor binatang saat makan?" kata Karang dingin.

Pada menit-menit berikutnya dalam film Moga Bunda Disayang Allah ini kita akan menyaksikan bagaimana Karang melatih Melati untuk mengenal dunia dan menjadi manusia. Metode Karang kasar. Melati dipaksa makan dengan sendok. Bila Melati melempar sendok, dia diseret ke tangga dan dihukum tidak makan sepanjang hari. Entah metode macam apa ini, tapi begitulah yang terjadi, dan kedua orang tua Melati hanya bisa bengong.

Film sepanjang dua jam yang disutradarai Jose Poernomo, yang namanya melambung sejak membuat film horor Jelangkung, ini adalah adaptasi di atas adaptasi. Film ini diangkat dari novel laris Tere Liye, yang merupakan adaptasi bebas atas film The Miracle Worker (1962). Film Miracle diangkat dari The Story of My Life, otobiografi Helen Keller (1880-1968), perempuan buta-tuli Amerika Serikat pertama yang menjadi sarjana. Dalam bukunya, Keller mengisahkan bagaimana dia dilatih Anne Sullivan, guru khusus tunanetra yang pernah buta pada masa mudanya.

Meski terjadi pengadaptasian berlapis, adegan-adegan utama dalam film Jose masih jelas mengacu pada Miracle. Adegan terkenal dalam Miracle tampak di sana, seperti adegan sarapan pagi, ketika Sullivan memaksa Keller makan dengan garpu, dan adegan pompa air, ketika Keller untuk pertama kalinya mengenal hubungan antara benda (air) dan kata "water", yang dikenalkan Sullivan lewat abjad jari. Dalam Moga Bunda, adegan pompa air berubah jadi adegan Melati mandi hujan dan bermain dengan air di pancuran air di halaman rumahnya.

Jose tampak lebih banyak menggali sisi drama dari kisah ini. Karang digambarkan sebagai seorang pemuda yang mencintai anak-anak, tapi merasa frustrasi ketika gagal menyelamatkan anak-anak yang ia bawa berwisata. Di tengah laut, kapal mereka dihantam badai, dan 18 anak itu tewas. Adegan kapal yang diombang-ambingkan badai adalah adegan paling menarik dalam film ini. Jose juga setia pada novel Tere, yang menyisipkan hubungan asmara antara Karang dan dokter Kinasih (Shandy Aulia).

Jose menyuguhkan gambar-gambar yang cantik, seperti tetesan hujan yang jatuh di lantai. Tapi konstruksi ceritanya lemah, sehingga film ini jadi seperti kisah Keller yang compang-camping. Sosok Karang kurang jelas, tapi pasti dia tak pernah punya pendidikan dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Padahal melatih anak cacat butuh metode tersendiri. Itulah yang ditampilkan dengan cemerlang oleh Anne Bancroft, pemeran Sullivan dalam Miracle, hingga diganjar Oscar sebagai aktris utama terbaik. Sullivan memang harus "bertarung" melawan Keller yang suka mengamuk, tapi dengan telaten dia mengajarinya nama-nama dengan menghubungkan benda yang bisa disentuh Keller dengan kata lewat abjad jari, yang kini biasa dipakai para penyandang tunawicara.

Bandingkan dengan Karang, yang mengajar sambil berteriak-teriak, padahal Melati jelas tuli. Dalam adegan Melati mandi hujan, Karang mengguratkan huruf-huruf pada lengan Melati, sesuatu yang sebelumnya tidak dia ajarkan, tapi Melati tiba-tiba tahu dan berusaha menyebutnya dengan terbata.

Dengan segala kelemahan itu, film ini jadinya hanya menempatkan kisah Melati di belakang sosok Karang yang egoistis, yang kemudian merasa frustrasi, hingga membiarkan cambangnya tumbuh liar. Sayang, cambang palsu itu pun terlalu lebat dan tak tampak alami di muka mulus Fedi Nuril.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus