Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek: Yang Antivaksin Jangan Egois

DIFTERI seperti bangkit dari kubur. Sempat dinyatakan nyaris lenyap dari Indonesia pada 1990-an, penyakit yang menyerang saluran napas bagian atas ini tiba-tiba muncul kembali.

17 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek: Yang Antivaksin Jangan Egois

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIFTERI seperti bangkit dari kubur. Sempat dinyatakan nyaris lenyap dari Indonesia pada 1990-an, penyakit yang menyerang saluran napas bagian atas ini tiba-tiba muncul kembali. Sejak Januari hingga pertengahan pekan lalu, tercatat 714 orang di 25 provinsi terserang Corynebacterium diphtheriae-bakteri penyebab difteri. Sebanyak 38 orang di antaranya meninggal. Sebelas provinsi telah melaporkan kejadian luar biasa (KLB) difteri.

Awal pekan lalu, Kementerian Kesehatan menggelar outbreak response immunization (ORI) atau tindakan vaksinasi setelah merebaknya suatu penyakit di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, tiga provinsi dengan pasien aktif tertinggi. Vaksinasi menyasar 7,9 juta anak, mulai usia 1 sampai 19 tahun.

Meski mematikan, penyakit ini bisa ditangkal lewat imunisasi. Namun Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mendapati banyak orang tua tidak mau anaknya diimunisasi. "Kami menduga kembalinya difteri karena banyak gerakan antivaksin," ujar Nila, 68 tahun. Dari total pasien, dua pertiganya sama sekali tidak memiliki tingkat imunitas terhadap difteri.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini meminta masyarakat menyadari bahaya di balik sikap antivaksin tersebut. "Kalau dia terkena penyakit, lalu menularkan ke orang lain, bagaimana?" kata Nila.

Kamis sore pekan lalu, Nila menerima wartawan Tempo Nur Alfiyah, Angelina Anjar, dan Reza Maulana di kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan. Nila didampingi sejumlah bawahannya, di antaranya Sekretaris Jenderal Untung Suseno Sutarjo dan Direktur Pengawasan dan Karantina Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi, yang beberapa kali membantu menjawab pertanyaan.

1 1 1

Mengapa difteri kembali merebak?

Kami menduga karena tingginya gerakan antivaksin. Dua pertiga pasien dari semua kasus, tingkat imunitas difterinya nol. Contohnya, saat saya mengunjungi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin pekan lalu, dari 33 kasus, 22 di antaranya anak-anak. Usia mereka rata-rata empat tahun, artinya lahir pada 2013. Itu saat kasus difteri turun setelah sempat muncul pada 2009. Ada orang tua yang memang tidak mau anaknya diimunisasi, tapi ada juga yang tidak disiplin. Vaksinasinya bolong-bolong.
Apa akibatnya?
Itu menyebabkan terjadinya kesenjangan kekebalan atau immunity gap dalam populasi. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri yang tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap. Akhir-akhir ini sering ditemukan ada penolakan terhadap imunisasi. Hal inilah yang membuat capaian cakupan imunisasi rendah.
Ada pemetaan soal penyebab imunitas nol tersebut?
Belum. Secara acak, saya bertanya kepada salah satu ibu pasien di RS Sulianti Saroso. Dia bilang anaknya tidak divaksinasi. Alasannya, takut. Tapi tidak bisa jelaskan takut apa.
Kapan kasus pertama difteri terbaru terdeteksi?
Sejak Januari, difteri sudah muncul dan beberapa daerah sudah mengatasinya. Salah satunya Malang, Jawa Timur. Mereka sudah melaksanakan ORI. Gorontalo dan Kalimantan Barat juga sudah mengatasinya. Jadi 714 pasien itu dan 11 provinsi berstatus kejadian luar biasa adalah jumlah kumulatif. Sebagian besar sudah teratasi. Suatu wilayah dinyatakan kejadian luar biasa difteri jika ditemukan satu saja kasus difteri klinis.
Lalu mengapa baru ramai sekarang?
Sekarang melonjak lagi. Namanya penduduk, tingkat mobilisasinya tinggi. Penderita bisa saja tidak merasa sakit, lalu bepergian, dan jadi carrier, pembawa bakteri ke orang lain.
Adakah perbedaan antara difteri tahun ini dan yang terdahulu?
Jane: Sekarang orang yang sudah dewasa atau sudah tua juga bisa terkena. Yang kami temukan, paling tua berusia 59 tahun.
Mengapa orang dewasa bisa terkena difteri?
Imunisasi difteri tidak memberikan kekebalan seumur hidup sehingga pemberian imunisasi ulangan tetap dibutuhkan. Seseorang yang pernah menderita penyakit difteri juga tetap harus diberi imunisasi karena penyakit difteri tidak memberikan kekebalan bagi penderitanya.
Bagaimana perkembangan terakhir kasus difteri?
Sebanyak 26 provinsi melaporkan kasus difteri sejak Januari sampai Selasa lalu. Kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Aceh. Namun, dengan dilaksanakannya ORI, sebanyak 66 kabupaten dan kota sudah tidak melaporkan kasus baru sejak Oktober. Saat ini, kasus difteri masih ada di sekitar 50 kabupaten dan kota di 11 provinsi. Di Jawa Timur ada 14 kabupaten, di Sumatera Barat ada 1 kabupaten, di Sumatera Selatan ada 1 kabupaten, dan sebagainya.
Mengapa ORI tidak digelar di Jawa Timur?
Karena ORI sudah dilaksanakan di sana. Yang belum adalah tiga provinsi ini, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Di semua titik yang mengalami KLB, pemerintah daerahnya pasti melakukan ORI. Itu prosedur operasi standar kami. Lagi pula, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, orang banyak keluar-masuk. Di daerah yang padat sekali penduduknya seperti DKI Jakarta, transportasi dan pergerakan orang sangat mudah. Jadi kami tidak mau ambil risiko.
Stok vaksin ORI mencukupi?
Tersedia. Sudah kami hitung, totalnya 1,2 juta vial (botol). Vaksin itu akan diberikan untuk 7,9 juta anak di tiga provinsi tadi.
Tersedia sampai tahun depan?
Belum. Kebutuhan vaksin untuk pelaksanaan ORI secara keseluruhan sampai 2018 adalah 5,2 juta vial vaksin DPT-HB-Hib (difteri, pertusis, tetanus-hepatitis B-haemofilus influenza tipe B) untuk anak usia 1 sampai kurang dari 5 tahun, 1,3 juta vial vaksin DT untuk anak usia 5 sampai kurang dari 7 tahun, dan 7,5 juta vial vaksin Td untuk anak usia 7 sampai 19 tahun. Jadi, untuk tahun depan, Bio Farma akan membuat lagi. Kami sudah mengatakan kepada mereka untuk memproduksi lebih cepat karena sedang banyak kasus difteri. Untung: Sekarang yang kami gunakan adalah stok vaksin cadangan. Kami perkirakan habis akhir Desember. Kami sudah menggelar tender pra-daftar isian pelaksanaan anggaran untuk tahun depan. Jadi Januari sudah ada stok vaksinnya.
Berapa biayanya?
Biaya penyediaan vaksin dan logistik lebih dari Rp 600 miliar. Jane: Vaksin untuk anak usia 1 sampai kurang dari 5 tahun, harga satu botol isi lima dosis sekitar Rp 25 ribu. Vaksin untuk anak usia 5 sampai kurang dari 7 tahun, harga satu botol isi sepuluh dosis tidak sampai Rp 20 ribu. Kalau vaksin untuk anak usia 7 sampai 19 tahun, harga satu botol isi sepuluh dosis sekitar Rp 17.500. Itu harga di e-katalog pengadaan barang dan jasa pemerintah. Di luar, misalnya, orang dewasa ingin diimunisasi, biayanya sekitar Rp 75 ribu.
Orang dewasa juga perlu divaksinasi?
Kalau Anda punya risiko terkena difteri, misalnya bekerja di rumah sakit dan mengurusi anak dengan difteri, lebih baik Anda diimunisasi. Tapi, kalau bergaulnya lebih sering di mal, ya, tidak usah. Sistem kekebalan tubuh anak belum sempurna. Anak-anak berusia 1-4 tahun memiliki tingkat imunitas 66 persen, anak usia 5-9 tahun 70 persen, dan terus meningkat. Ke depan, kami merencanakan imunisasi untuk orang dewasa. Kekebalan yang dihasilkan dari vaksin difteri bisa menurun, maka masyarakat sebaiknya diimunisasi setiap sepuluh tahun. Tapi pembiayaannya mandiri. Tahapannya sama dengan anak-anak. Berulang tiga kali. Setelah imunisasi pertama, diulang sebulan kemudian, lalu enam bulan setelahnya.
Anda sudah divaksinasi difteri?
Belum. Vaksin difteri baru ditemukan pada 1977 sehingga yang lahir sebelumnya belum dapat. Tapi saya akan melakukan imunisasi karena sering ke rumah-rumah sakit. Kadang kita juga lupa sudah mendapat vaksin suatu penyakit atau belum, seperti waktu anak saya mau sekolah di Amerika Serikat. Kalau ragu, sebaiknya divaksinasi ulang saja. Tidak ada efek sampingnya.
Bagaimana dengan penanganan pasien difteri?
Selain memberikan antibiotik untuk mengatasi kumannya, kami memberikan anti-diphtheria serum (ADS) untuk mengobati pasien. Dengan pengobatan itu, dari 714 kasus, yang meninggal 38 orang atau 5,4 persen. Angka ini di bawah ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyatakan bahwa kematian lebih dari 10 persen menunjukkan kegagalan sistem kesehatan negara itu. Jadi kita masih oke. Tapi tetap tidak boleh dong ada orang yang meninggal.
Apa tindakan pencegahan yang harus dilakukan?
Kami minta masyarakat menjaga kebersihan, terutama yang tinggal di daerah padat atau daerah-daerah yang berisiko. Kita harus waspada. Cuci tangan, pakai masker kalau batuk. Tolong jangan menularkan. Yang sakit pakai masker, yang dekat dengan orang sakit juga pakai masker untuk menghindari terkena percikan ludahnya. Masyarakat tidak boleh memberikan dampak kepada orang lain. Kalau sakit, sudah tahu batuk, curiga difteri, batuk seenaknya. Kan, bisa mengenai orang lain.
Kementerian meminta bantuan WHO untuk menyediakan ADS?
Untung: Iya. Saat ini difteri juga ditetapkan sebagai KLB di Bangladesh, Thailand, dan Myanmar. Karena itu, kami meminta produksi ADS ditingkatkan. ADS hanya dibuat di luar negeri. Karena hal itu juga, kami meminta Bio Farma memproduksinya supaya kita tidak bergantung pada luar negeri. Kemarin, Bio Farma menyampaikan bahwa mereka akan menyumbangkan 700 dosis ADS kepada kami.
Kapan kasus difteri ditargetkan teratasi?
Sampai tidak ada kasus lagi. Sebenarnya bisa cepat karena kami melakukannya di sekolah-sekolah. Pada dasarnya ORI di wilayah dan kelompok usia yang tepat dengan cakupan yang tinggi dan merata dapat memutus rantai penularan penyakit. Sampai Rabu pekan lalu, 179 ribu anak usia 1-19 tahun sudah mengikuti ORI atau 2,3 persen dari target. Setelah KLB dapat dikendalikan, selanjutnya harus dilakukan perbaikan pada cakupan dan kualitas pelayanan imunisasi rutin difteri bagi bayi, anak usia di bawah dua tahun, serta anak usia sekolah dasar di semua wilayah di Indonesia. Agar kasus ini tidak terjadi lagi, kita sebagai orang tua bertanggung jawab. Berilah anak-anak kita imunisasi.
Bagaimana Kementerian menghadapi gerakan antivaksin?
Saya memperlihatkan keadaan seperti sekarang. Dampaknya tidak kecil. Kami melaksanakan ORI dengan biaya besar. Kalau yang sakit, harus dirawat, beli obat-obatan, bapaknya tidak kerja. Kalau meninggal, mesti dikubur, panggil ustad, dan sebagainya. Ingatlah kasus MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus) di Korea Selatan dua tahun lalu. Wabah itu berasal hanya dari satu orang. Mereka menghabiskan Rp 70 triliun.
Orang yang antivaksin menganggap imunisasi adalah pilihan pribadi....
Kalau orang yang tidak diimunisasi itu kena penyakit, lalu menularkan ke orang lain, bagaimana?
Mereka beranggapan orang yang sudah diimunisasi tidak akan tertular. Jadi biarlah mereka menanggung risiko sendiri. Tanggapan Anda?
Negara harus tetap melindungi mereka. Cakupan imunisasi yang diperlukan dalam suatu kelompok adalah 95 persen. Lima persen yang tidak imunisasi akan terkena imbas lewat herd immunity, kekebalan kelompok. Kuman akan "terkunci" di antara sembilan orang yang imun. Tapi, kalau tidak sampai 95 persen, kemudian kumannya datang, kena.
Benarkah tudingan yang menyebutkan vaksin tidak halal dan bisa menimbulkan autisme?
Jane: Itu hoax.
Pernahkah Kementerian berbicara dengan kelompok antivaksin?
Sudah. Makanya saya minta maaf saja. Tolong dong, jangan egois. Jangan memikirkan diri sendiri. Setiap negara berhak mewajibkan vaksinasi. Contohnya, setiap anggota jemaah haji dan umrah harus disuntik vaksin meningitis sebelum masuk Arab Saudi. Jangan coba-coba bercanda dengan ketentuan itu. Kalau ketahuan ada pendatang dengan meningitis, semua anggota jemaah dari negara itu bisa dilarang masuk.
Apakah penampik vaksin melanggar hukum?
Kalau sampai terjadi wabah dan tetap menolak, mereka bisa dipidana. Itu ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Aturan ini sudah lama sekali. Revisi undang-undang ini sudah masuk Program Legislasi Nasional dan akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun depan.
Sejumlah negara mensyaratkan imunisasi masuk sekolah. Mengapa mekanisme itu tidak diberlakukan di Indonesia?
Kami maunya memang demikian. Tiap tahun kami mencetak empat juta buku Kesehatan Ibu dan Anak, yang menginformasikan riwayat imunisasi anak. Saat akan memasukkan anak ke pendidikan anak usia dini, buku itu seharusnya ditunjukkan sebagai syarat. Kalau belum, harus diimunisasi. Tapi apakah itu dilakukan? (Menggeleng-geleng.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus