Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNCUL dengan membawa majalah Tempo edisi tiga pekan lalu yang bergambar sampul wajah Surya Paloh, Jaksa Agung H.M. Prasetyo berujar, "Saya dizalimi," sembari membantingnya ke meja. Komentar Prasetyo itu berkaitan dengan berita tentang kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial dan hibah Provinsi Sumatera Utara yang menyerempet namanya. Kisah korupsi bansos itulah yang menjadi laporan utama di majalah yang dibawanya.
Prasetyo gerah terhadap pemberitaan mengenai dugaan uang yang mengalir ke Kejaksaan Agung. Lebih jauh dia merasa kasus bansos ini adalah salah satu upaya untuk mendongkelnya dari jabatan Jaksa Agung. Bersama Maruli Hutagalung, yang ketika itu menjabat direktur penyidikan, Prasetyo dituduh menerima uang dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, yang tengah terbelit kasus bansos di Kejaksaan Agung.
Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, tersangka Gatot Pujo Nugroho bersaksi memberikan Rp 500 juta kepada orang kejaksaan untuk mengamankan kasusnya. Uang itu diberikan istrinya, Evy Susanti, kepada Maruli lewat pengacara O.C. Kaligis. Gatot, yang kemudian menjadi terdakwa pada kasus penyuapan hakim pengadilan tata usaha, juga menuding Prasetyo mempolitisasi kasusnya. Tapi hal itu dibantah Prasetyo. "Tidak ada unsur politik di sini," kata Prasetyo, yang baru saja genap setahun menjadi Jaksa Agung sejak 20 November 2014.
Selama sekitar dua jam, Prasetyo menerima wartawan Tempo Anton Aprianto, Tito Sianipar, dan Istman Musaharun bersama videografer Rosito dan fotografer Subekti, Rabu pekan lalu. Wawancara dilakukan di ruang kerjanya yang hampir seluas lapangan badminton. Di salah satu sudut terdapat akuarium besar yang dihuni ikan arwana selebar bet pingpong. Turut menemani Prasetyo adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, Jaksa Agung Muda Intelijen Adi Toegarisman, dan Maruli Hutagalung, yang dua pekan lalu dipromosikan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Selain menjawab tentang korupsi bansos, Prasetyo menjawab tentang penanganan kasus-kasus lain di Kejaksaan Agung. Di antaranya kasus Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, penarikan jaksa Yudi Kristiana dari KPK, polemik Tim Satuan Khusus Penuntasan dan Penanganan Kasus Korupsi, penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang masih belum ada yang dilimpahkan ke pengadilan, serta kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam proses perpanjangan izin PT Freeport Indonesia.
Anda marah atas pemberitaan tentang bansos Sumatera Utara. Kenapa?
Soal pemberitaan Evy Susanti (istri Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho) yang menyiapkan US$ 20 ribu buat saya. Menyiapkan itu tendensius sekali. Semestinya teman-teman wartawan lebih hati-hati. Lagi pula murah banget nilainya Prasetyo segitu.
Sebenarnya bagaimana kronologi kasus bansos Sumatera Utara sampai harus diambil alih Kejaksaan Agung?
Kasus ini sudah lama ditangani (Kejaksaan Tinggi) Sumatera Utara. Sekian lama tidak ada kemajuan. Ketika Gubernur dipastikan terlibat, kasus ini kami tangani. Sebab, biasanya ada ewuh-pakewuh (oleh jaksa di daerah) kalau menangani kepala daerah. Tapi kemudian ada tuduhan bahwa kasus ini diamankan dan sebagainya. Saya berani jamin perkara ini jalan terus.
Kenapa butuh waktu cukup lama bagi Kejaksaan untuk memproses kasus ini?
Jangan dibandingkan dengan KPK yang menangani operasi tangkap tangan. Ketika Kejaksaan Agung melihat ada kasus lama tidak berjalan, kami tangani. Setiap penanganan perkara pasti ada laporannya ke sini. Saya juga mencampuri urusan ini.
Berdasarkan kesaksian, Anda dan Maruli Hutagalung disebut menerima uang dari Gatot melalui Evy. Tanggapan Anda?
Silakan buka saja. KPK itu tidak perlu diajari. Kalau ada bukti, pasti mereka buka. Yang namanya Evy itu saya kenal pun tidak. Hanya lihat gambarnya di TV. Kalau mereka bicara uang, itu urusan mereka. Masalahnya, omongan kami tidak pernah dipercaya.
Konon uang itu diserahkan melalui O.C. Kaligis.
Tanyakan ke Kaligis. Dia yang bisa menjawab itu. Jangan tanya ke kami. Kaligis tidak pernah satu kali pun menginjakkan kaki ke sini. Enggak akan berani mereka datang ke sini. Mereka tahu saya seperti apa. Saya sangat berseberangan dengan Kaligis.
Kenapa Maruli Hutagalung, yang disebut menerima Rp 300 juta, dipromosikan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur?
Maruli itu sudah saya minta diperiksa JAM (Jaksa Agung Muda) Pengawasan, meskipun saya yakin dia tidak (menerima uang). Hanya agar publik lega. Hasilnya tidak terbukti. Kemudian disebut Maruli diamankan ke Jawa Timur. Padahal secara logika, kalau dia di sana (Jawa Timur), berarti kan tidak bisa mengamankan kasus yang dituduhkan. Masalahnya, banyak orang tidak memakai logika ini.
Apakah pernah mengklarifikasi tuduhan menerima duit itu ke KPK?
Kami tidak pernah tanya. Gimana sih, wong tidak ada buktinya. Itu kan fitnah saja. Orang dalam posisi terjepit bisa ngomong macam-macam. Ini ada indikasi corruptors fight back. Media jangan sampai menjadi alat mereka.
Ada indikasi lain soal corruptors fight back itu?
Kami menangani beberapa kasus yang mengusik kenikmatan mereka selama ini. Ada Gatot, Dahlan Iskan, dan sebagainya.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai NasDem Patrice Rio Capella disebutkan sebagai orang yang bisa melobi Anda. Sedekat apa hubungan Anda?
Ya, kami memang dekat karena pernah sama-sama satu partai. Tapi bukan berarti kami satu pemikiran. Dua orang yang dekat sekalipun belum tentu sama pemikirannya.
Dengan Ketua Partai NasDem Surya Paloh masih sering ketemu?
Ya, iyalah, kenapa tidak? Dalam acara resepsi diundang, seperti ke Kompas dulu.
Ketika Rio ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Anda dipanggil Presiden ke Istana. Apa yang dibahas?
Ada banyak hal yang dibicarakan, termasuk perkembangan perkara. Beliau memberikan arahan agar kerja yang baik. Saya ini kan pembantu presiden.
(Catatan: Rio Capella ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi dalam proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah badan usaha milik daerah di Provinsi Sumatera Utara.Penetapan tersangka tersebut merupakan pengembangan penyidikan kasus Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti.)
Kasus ini kental nuansa politiknya karena Anda pernah di NasDem. Tanggapan Anda?
Siapa sih Jaksa Agung yang tidak punya latar belakang politik? Saya sudah diberhentikan dari NasDem. Lagi pula semua jabatan publik itu politis.
Sudah benar-benar memutus koneksi dengan NasDem dan Surya Paloh?
Bukan berarti harus seperti orang bermusuhan, dong.
Anda merasa kasus bansos ini upaya mendongkel Anda dari jabatan Jaksa Agung?
Iya, saya merasakan itu. Sekarang Gatot sudah tersangka. Dia melakukan segala cara (untuk mendongkel saya). Dia yang menyebut kasus ini politis.
Gatot menyeret pula Wakil Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, yang juga kader NasDem, dalam kasus bansos di Kejaksaan.
Silakan diproses. Kenapa tidak? Sudah saya buktikan kok, siapa pun kami proses. Itu komitmen kami. Kalau memang benar, ada bukti dan fakta dia terlibat. Kalau tidak, jangan dipaksakan, dong.
Bagaimana Anda membuktikan Kejaksaan Agung bebas intervensi politik?
Sudah saya tunjukkan dengan kerja. Ada pengurus teras NasDem yang kami masukkan ke penjara, yaitu bekas Gubernur Sulawesi Tengah H.B. Paliudju. Selain itu, ada Bupati Lombok Barat.
Soal kasus pimpinan KPK (nonaktif), Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, sudah sampai mana?
Ada dua keinginan berbeda. Satu minta kasusnya lanjut terus, yang lain minta kasusnya dihentikan. Sekarang jaksa masih mengecek apakah memenuhi syarat untuk bisa dilanjutkan. Hanya jaksa yang punya hak menghentikan perkara. Tapi jangan sekarang, belum waktunya. Takut nanti menimbulkan hiruk-pikuk.
Anda pribadi sependapatkah bahwa ada kriminalisasi dalam kasus ini?
Nanti saya baca dulu laporannya. Belum sejauh itu. (Berkasnya) sudah P-21, tapi masih harus dilihat lagi. Saya tidak bisa ngomong kriminalisasi atau bukan. Kriminalisasi itu kalau tidak ada masalahnya dan kemudian diperkarakan.
Pernah membicarakan kasus ini dengan Presiden?
Pak Presiden tidak pernah mencampuri urusan ini.
Sudah ada perkembangan kasus aset Yayasan Supersemar?
Coba tanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pelaksanaan putusan perdata itu di pengadilan negeri. Kami baru mendapat surat kuasa Presiden untuk mendesak pelaksanaan eksekusi. Mereka akan mempertemukan pemohon dan termohon, yakni Supersemar dan keluarga Soeharto. Harapannya, mereka sukarela memenuhi kewajibannya Rp 4,4 triliun.
Kalau gagal?
Ya, nanti lihat di pengadilan seperti apa.
Rencana penarikan jaksa Yudi Kristiana dari KPK mendapat tentangan. Pendapat Anda?
Yudi dibutuhkan di sini dan (penarikan) itu diputuskan dalam rapat pimpinan. Bukan putusan Jaksa Agung atau orang per orang, melainkan pimpinan. Beliau kan punya latar belakang pendidikan yang tinggi sehingga disimpulkan cocok mengisi di Litbang. Dia seorang doktor, akademikus, saya rasa tepat untuk mentransfer ilmu dan pengalamannya ke jaksa lain.
Kapan akan ditarik?
Saya minta dia selesaikan dulu perkara di KPK. Dia akan dipromosikan agar berkarier di tempatnya sendiri. Seperti Warih (Sadono) dulu, yang kami promosikan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Juga Chatarina Girsang, dia kami jadikan staf ahli di Kementerian Pendidikan Nasional.
Ketika Yudi juga ikut seleksi pimpinan KPK, apakah Anda setuju?
Lha, dia sudah ikut di sana. Kalau kami diamkan berarti kami setuju, ha-ha-ha...
Tapi Anda tidak memberi rekomendasi?
Dia malah tidak pernah meminta rekomendasi kemari.
Bagaimana tanggapan Anda tentang International Peoples' Tribunal di Den Haag?
Itu kan pengadilan semu. Karena pengadilan tidak resmi, kenapa harus kami turuti? Kami memperhatikan apa yang mereka ucapkan dan sampaikan selama persidangan. Tapi bukan berarti itu mengikat kami.
(Catatan: Prasetyo cepat menukas pertanyaan tersebut. Salah satu rekomendasi International Peoples' Tribunal adalah sudah saatnya pemerintah mengakui tragedi yang terjadi, meminta maaf atas kerusakan yang ditimbulkan, dan menginvestigasi pelaku yang masih hidup.)
Sikap Kejaksaan Agung sendiri atas tragedi 1965 seperti apa?
Kami tetap mendukung rekonsiliasi. Itu yang paling efektif untuk kasus-kasus lama seperti 1965. Presiden Jokowi juga sependapat. Isi poin rekonsiliasi itu membenarkan bahwa terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi. Lalu ungkap kebenarannya. Tapi, untuk kasus 1965, siapa minta maaf kepada siapa tidak gampang menentukan. Sebab, korban bukan hanya PKI, tapi juga warga lain. Jenderal juga jadi korban.
Hasil di Den Haag akan dijadikan masukan bagi Kejaksaan Agung?
Tidak terikatlah. Kami punya pemikiran sendiri. Rekonsiliasi itu menurut saya yang paling tepat.
Kapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk?
Tunggu saja. Kami masih melihat situasi. Masih ada pro dan kontra. Kami tidak ada niat untuk tidak melanjutkannya. Kalau syarat terpenuhi, pasti lanjut.
Kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM belum ada yang maju hingga pengadilan. Kenapa?
Karena berbagai unsur pembuktian belum terpenuhi. Untuk kasus-kasus itu berlaku tahapan prapenuntutan, diteliti dulu oleh kejaksaan. Kemudian ditentukan apakah memenuhi syarat untuk dilimpahkan. Kalau tidak, ya, dikembalikan.
Bukankah laporan dan rekomendasi Komnas HAM cukup lengkap?
Coba buktikan. Lihatlah berkasnya. Kalau memang lengkap, pasti lanjut. Beberapa cuma asumsi.
Kasus pelanggaran berat hak asasi ini akan menjadi utang kejaksaan....
Iya, perkara hak asasi manusia memang tidak ada kedaluwarsanya. Sampai kapan pun bisa dituntut. Apa kita menghendaki seperti itu? Janganlah mempertahankan luka-luka lama yang seharusnya bisa sembuh. Kami mengusulkan semua kasus ditangani secara rekonsiliasi. Itu win-win solution.
Benarkah ada keengganan Kejaksaan Agung melanjutkan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi karena keterlibatan militer di sana?
Oh, enggak. Hanya masalah bukti yang kurang saja. Itu kewenangan Komnas HAM.
Ihwal kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di perpanjangan kontrak Freeport, bagaimana sikap Anda?
Sebenarnya ada hal yang lebih penting dibanding unsur pencatutan nama itu, yaitu unsur korupsinya. Hal itu masih dipelajari. Di situ kan ada unsur permufakatan. Tapi kami perlu hati-hati. Yang pasti sedang kami dalami dan telaah. Saya juga sudah berkomunikasi dengan KPK. Saya mencoba mengontak (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) Sudirman Said juga, tapi dia sedang ke luar negeri. Saya perlu bicara langsung dengannya tentang hal ini. Transkrip yang beredar sebenarnya sudah memberi petunjuk.
Koordinasi dengan KPK, maksudnya bagaimana?
Saya mengajak KPK untuk menangani perkara ini bersama-sama karena saya pernah menyampaikan soal pembentukan satgas gabungan. Dalam perkara-perkara tertentu memang lebih efektif kalau kerja sama.
Saya baru bicara dengan satu pemimpin KPK. Ia bilang akan dibawa ke rapat pimpinan karena mereka harus kolektif kolegial. Jangan dikira kami diam itu berarti tidak bekerja, lho. Saya tidak melihat masalah ini dari pencatutan namanya, tapi ada hal yang lebih mendasar, yaitu permufakatannya itu.
Kami dengar ini sangat politis dan berkaitan dengan konflik di kabinet?
Ah, itu hanya upaya membelokkan isu. Saya rasa tidak begitu. Kita perlu hati-hati sebelum beranggapan seperti itu. Untuk kasus ini, saya mendengar bahwa mereka akan menyewa pengacara yang katanya tidak pernah kalah itu.
Ada tunggakan kasus lain di Kejaksaan Agung, yakni PT Jakarta Propertindo. Setelah menetapkan tiga tersangka, apa kelanjutannya?
Masih dipelajari. Itu lebih banyak perdatanya.
Kasus Hambalang yang merupakan pelimpahan dari KPK juga belum ada perkembangan.
Kami bekerja dalam senyap. Untuk apa mengejar pencitraan?
Setahun menjadi Jaksa Agung, menurut Anda kinerja Anda baik?
Jangan tanya saya. Tidak bagus menilai diri sendiri. Tapi sekarang kami sudah cukup terbuka. Kami juga bikin Satgassus (Tim Satuan Khusus Penuntasan dan Penanganan Kasus Korupsi) itu untuk memberantas korupsi. Sekarang korupsi sudah menggurita, tidak hanya di pemerintahan.
Tapi kinerja Tim Satgassus juga dipertanyakan.
Mereka bekerja hingga ke daerah. Ada beberapa kasus besar yang mereka tangani, tapi kalah di praperadilan. Kami jalan terus. Soal kasus pengadaan mobil listrik pun akan berlanjut.
Ada target tertentu dari Tim Satgassus?
Menangani kasus tidak boleh pakai target. Kesannya mencari-cari. Kami pakai bukti dan fakta saja. Kami tidak mengambil tindakan yang menyebabkan kegaduhan. Kami beroperasi secara senyap saja.
Kekalahan di praperadilan kasus Dahlan Iskan dan PT Victoria Securities membuat Kejaksaan Agung disorot negatif. Tanggapan Anda?
Kami kalah dua kali disebut kejaksaan bodoh dan tidak sungguh-sungguh. Tapi, ketika KPK tiga kali dikalahkan, kenapa tidak diberitakan? Kenapa perlakuannya beda? Tidak fair, dong. Saya malah bertanya-tanya kenapa kami bisa kalah. Tanya hakim juga, dong. Semua putusan praperadilan itu tidak ada yang pertimbangan hukumnya sama. Saya pernah bilang, praperadilan sekarang tampaknya menjadi komoditas.
Untuk kasus Victoria, akan memanggil Setya Novanto juga?
Kami lihat nanti seperti apa. JAM Pidana Khusus nanti yang akan menentukan. Dia yang memimpin.
Muhammad Prasetyo Tempat dan tanggal lahir: Tuban, Jawa Timur, 9 Mei 1947 Pendidikan: Sarjana Hukum Universitas Lampung (1971), Sekolah Menengah Atas Negeri Bojonegoro, Jawa Timur (1965) Karier: Jaksa Agung Republik Indonesia (sejak 2014), Terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah 2 Partai NasDem (2014), Anggota Mahkamah Partai NasDem (2013), Anggota Dewan Pertimbangan Pimpinan Pusat Organisasi Masyarakat Nasional Demokrat (2011), Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung (2005-2006), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (2005-2006), Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (2003-2005), Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (1999-2000), Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (1998), Kepala Kejaksaan Negeri Kediri (1994-1995), Kepala Kejaksaan Negeri Kotabumi (1990-1992) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo